Beranda / Pendekar / MENANTU SETENGAH DEWA / Boleh Tidur Bersama?

Share

Boleh Tidur Bersama?

Penulis: Hare Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-03 18:10:38

"Kenapa tidak besok saja, Ibu?"

"Jangan membantah! Kalau saya maunya sekarang, ya sekarang! Bukan besok!" jawab Nyonya Farah kesal kepada Hakya.

Karena tidak ingin membantah ibu mertuanya dengan penolakan yang diberikan olehnya, akhirnya Hakya maju menuju ke halaman depan. Hakya memilih sudut yang paling gelap, kemudian dia duduk bersila dengan kedua tangannya diletakkan di depan dada.

"Hyiiiaat!"

Dengan sekali tarikan nafas, Hakya mengeluarkan jurus tenaga anginnya dan kemudian seluruh halaman depan itu bersih dari semua sampah, sampah-sampah itu terkumpul di tempat sampah dan terpisah sesuai dengan jenisnya.

"Ini kecil sekali, Ibu. Tapi, aku ingin melihat wajah istriku lebih lama kalau aku duduk di depannya. Tapi, apa boleh buat kalau memang semua pekerjaan ini harus diselesaikan sekarang," ujar Hakya sambil menepukkan kedua tangannya.

Hakya seolah-olah sedang membersihkan tubuhnya dari debu-debu yang menempel karena dia membersihkan halaman tersebut. Dia tersenyum senang dan kemudian dia mendekatkan ke arah tempat sampah tersebut yang biasanya sampah-sampah itu akan dibakar.

Beberapa detik kemudian Hakya tampak memandang dengan tajam ke arah kotak sampah tersebut.

"Api!"

Mulut Hakya berteriak menyebutkan api, dan tiba-tiba tanpa diduga api menyala membakar sampah yang sudah berada di tempatnya.

Kembali lagi Hakya tersenyum melihat pemandangan tersebut, karena ternyata benar bahwa dia saat ini memiliki kekuatan api. Dia bisa menciptakan api dan juga bisa mengendalikan api, Hakya begitu senang karena ternyata usaha yang dilakukannya selama 2 tahun ini menghasilkan jurus yang begitu hebat.

"Terima kasih Dewa Api, engkau telah mempercayakan kekuatan ini kepadaku," ujar Hakya sambil menatap pada api yang sedang melahap sampah-sampah tersebut.

'Aku telah memberikan kamu kekuatan tentang api tersebut, kamu menguasai api. Kamu bisa menciptakan api dan mengendalikan api. Namun, jika kamu menyalahgunakan kemampuan kamu untuk sebuah kejahatan maka seluruh kekuatan yang kamu miliki akan hilang!'

Tiba-tiba sebuah suara yang berasal dari gumpalan api tersebut mengagetkan Hakya, dan hal itu hanya Hakya yang mampu mendengarnya.

Ternyata dewa api datang memberikan peringatan kepada Hakya, di balik api yang sedang membakar sampah tersebut dia mengingatkan Hakya untuk tidak menyalahgunakan kemampuannya. Walaupun dia yakin Hakya tidak akan pernah melakukan hal itu.

"Terima kasih Dewa, akan aku ingat semua peringatan yang Engkau berikan. Aku tidak akan menyalahgunakan kekuatan ini aku, hanya menggunakan kemampuanku untuk hal-hal yang baik. Seperti membakar sampah ini. Bukankah itu baik?" tanya Hakya sambil tersenyum menatap kobaran api yang mulai mengecil karena sampah-sampah yang akan dilahap itu semakin habis.

Dewa api tidak lagi menjawab sepertinya dia sudah pergi meninggalkan Hakya, dewa api tahu bagaimana maksudnya Hakya. Bahkan apinya digunakan untuk membakar sampah, namun selagi hal itu tidak menyalahi kemampuannya maka dewa api tidak akan mengambil kembali kekuatan yang telah didapatkan Hakya dengan susah payah tersebut.

Hakya mendapati kekuatan tersebut dengan usaha yang begitu keras, dia bahkan rela hidup tanpa kekuatan selama dua tahun. Bahkan dia tidak mampu menyentuh istrinya sendiri, karena larangan dari dewa api yang tidak memberikan izin kepada Hakya untuk menyentuh perempuan selama dia menjalani ritual memperdalam ilmu penguasaan api.

Hakya hidup bertahun-tahun di dalam hinaan mertuanya, dijadikan pembantu gratisan di rumah mertuanya tersebut. Dan bahkan dia hanya memiliki waktu istirahat hanya 2 jam di dalam 24 jam. Semua itu dijalani Hakya dengan ikhlas, juga karena dia mulai mencintai Kanaya. Walaupun hingga saat ini dia belum bisa memastikan apakah Kanaya mencintanya atau tidak.

"Dewa, tadinya aku sempat berpikir buruk kepada engkau, karena sudah 2 tahun aku menjalani ritual yang harus dijalani namun kekuatan itu tidak kunjung datang. Ah ternyata engkau ingin melihat batas kesabaranku," ujar Hakya yang masih menatap tapi tersebut.

Hakya masih berharap Dewa masih berada di dalam api yang masih menyala itu, karena jujur Hakya membutuhkan Dewa yang mau mendengar semua keluh kesahnya.

'Itulah tamaknya manusia. Padahal dia tahu dia harus menjalani prosesi ritual di hari terakhir, tapi sudah tidak sabar ingin memiliki kekuatan. Dasar anak gendeng,' jawab Dewa yang kali ini benar-benar pergi meninggalkan Hakya yang tampak tersenyum.

"Akhirnya aku bisa memiliki kekuatan ini, dan saat ini aku yakin tidak akan ada seorangpun yang bisa mengalahkan aku. Kekuatan api ini adalah ilmu terakhir yang harus aku pelajari dari para dewa, karena ilmu api adalah ilmu yang terakhir diberikan. Itu artinya saat ini musuhku tidak akan bisa mengalahkan aku, hahaha," ujar Haky sambil tertawa.

"Hei! Apa yang kau lakukan di sana? Kau malah berbicara kepada api! Dasar kau benar-benar gila!" teriak Nyonya Farah dari kejauhan ketika melihat Hakya berdiri di depan api.

Hakya tergagap mendengar teriakan dari mertuanya itu. Ia tidak menyangka ternyata mertuanya masih memperhatikan pekerjaannya.

Sementara itu Kanaya dan Nyonya Farah tampak membelalakkan matanya ketika dia melihat semua halaman rumah sudah bersih, dan Hakya sudah membakar semua sampah-sampah tersebut, sehingga saat ini yang terlihat hanyalah halaman yang bersih dan kinclong.

Kanaya tampak tidak percaya, dia bingung apa yang dilakukan oleh Hakya hari ini, karena semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya bisa selesai sangat cepat. Dan sangat tidak masuk akal semuanya hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja.

Kanaya ingin sekali bertanya kepada Hakya, apa yang dilakukan oleh lelaki tersebut dengan sampah-sampah itu. Namun karena yang merasa sungkan dan juga mengantuk, sehingga dia berniat akan menyelidiki bagaimana cara Hakya bekerja tersebut.

"Hai Kanaya istriku, apakah pekerjaan kamu sudah selesai?" tanya Hakya sambil tersenyum mendekat kepada Kanaya.

"Sudah, tinggal mengunci pintu saja," jawab Kanaya pelan.

"Kuncikan semua pintu dan pastikan tidak ada yang terbuka, agar tidak ada peluang maling masuk!" teriak Nyonya Farah kepada Hakya dan kemudian melenggang pergi meninggalkan Hakya dan Kanaya dengan membawa tas berisi uang.

Haknya hanya mengangguk dan menuruti, apa yang diperintahkan oleh ibu mertuanya itu.

"Bolehkah aku tidur di kamar kamu?" tanya Hakya kepada Kanaya ketika mereka sudah sampai di rumah. Hal itu membuat Kanaya membelalakkan matanya.

"Sebagai kenang-kenangan bahwa kita pernah tidur di kamar yang sama, aku akan tidur di lantai kalau kamu tidak mengajak aki tidur di ranjang yang sama," lanjut Hakya lagi memelas.

"Boleh," jawab Kanaya pelan kepada Hakya sambil mengangguk.

Hakya begitu senang ketika mendengar Kanaya menyetujui permintaannya, karena dia tahu jika nanti umur pernikahan mereka pas 2 tahun, keluarga Kanaya pasti akan memaksa Kanaya menceraikan Hakya.

"Tidurlah disini," tawar Kanaya ketika Hakya akan membentangkan selimut tipis di lantai sebagai alas untuk tidur.

Dalam hati Hakya tersenyum dan sangat senang saat mendapat tawaran tidur di ranjang yang sama oleh Kanaya.

Tiba di tengah malam saat keduanya sedang tidur, tiba-tiba Hakya terbangun dan melihat Kanaya yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Wajah Kanaya yanh begitu teduh.

Dorongan di dalam tubuh Hakya terus memintanya untuk mendekat kepada istrinya tersebut.

Hakya mendekatkan wajahnya ke bibir Kanaya yang tampak begitu merah dan juga begitu manis.

"Aku mencintai kamu, Kanaya."

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Akhir yang Bahagia

    "Astaga Zanaya! Kamu bisa duduk diam, gak?!" bentak Kanaya kepada Zanaya yang mencecar Kafka dengan pertanyaan, padahal Kafka baru saja sadar."Kenapa? Kamu gak khawatir sama ayah? Kamu mau ayah mati di tangan suami kamu ini?" tanya Zanaya lagi."Za-Naya…," panggil Kafka lemah.Mendengar suara Kafka membuat Farah dan Zanaya hanya terdiam menutup mulutnya. Mereka tidak percaya kalau Kafka bisa berbicara.Selama ini Kafka jangankan memanggil nama anak dan istrinya, mengeluarkan suara sedikit saja tidak bisa."Iya ayah, ayah bisa bicara lagi?" tanya Zanaya kemudian.Kafka mengangguk dan menatap ke arah Kanaya dan Hakya secara beegantian."Terima kasih, Hakya," ujar Kafka dengan suara yang pelan. Karena tubuhnya masih sangat lemah."Iya ayah, ayah jangan banyak gerak dulu," jawab Hakya."Sayang, kamu sudah siap kan sup hangat yang tadi aku minta buatkan? Kalau sudah tolong suapin ayah makan dengan nasi yang lembut ya," ujar Hakya kepada Kanaya.Kanaya menganggukkan kepalanya dan segera men

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Prasangka Buruk

    "Hakya, apa yang terjadi dengannya?" tanya Farah khawatir saat melihat Kafka terkulai lemah tidak berdaya.Hakya yang masih tampak terengah-engah memeriksa semua nadi Kafka. Dia tidak bisa membayangkan kalau Kafka akan meninggal saat semua ikatannya terlepas."Ayah, hanya pingsan. Mungkin karena terlalu lama menahan sakit. Terus saja kompres kepala ayah," ujar Hakya kemudian setelah memastikan nadi Kafka masih berdenyut normal."Apa kamu yakin?" tanya Farah yanh seolah tidak percaya, karena dia melihat Kafka tidak menunjukkan pergerakan sama sekali."Iya bu, ayah terlalu lelah menahan sakitnya. Karena seperti yang Hakya katakan ini, ini terasa sangat sakit dan rasa nyawa sudah di ujung kepala. Tapi, sebentar lagi ayah akan sadar," jawab Hakya yang tampak menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.Farah hanya mengangguk, dia memberikan kepercayaan kepada Hakya. Dan berharap kalau Kafka akan segera sadar."Tapi, apakah semua berhasil kamu lepaskan, Hakya?" tanya Farah lagi."Iya bu. Sem

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Delapan Jam Kesakitan

    “Ini sangat sakit,” lanjut Hakya.Kafka tampak mengangguk, dan Hakya meminta izin kepada Farah. Karena dia takut kalau nanti akan disangka membunuh Kafka. Karena rasa sakit yang ditimbulkan itu adalah sangat luar biasa seperti nyawa akan terlepas dari tubuh saking sakitnya.“Lakukan, Hakya,” jawab Farah kemudian sambil mengangguk.“Tapi, ini sangat sakit bu. Kalau ibu tidak sanggup melihat ayah kesakitan, ibu bisa tunggu di luar saja,” ujar Hakya kemudian.“Tapi, kamu yakin ini bisa lepas?” tanya Farah penasaran.“Iya. Semua yang dipasang oleh Ratu Ilmu Hitam itu harus perlahan-lahan di lepaskan, dan itu membutuhkan waktu yang lama tergantung cara mengikatnya. Selama proses itu ayah akan merasa sangat kesakitan, bahkan bisa jadi muntah ataupun membuang kotoran tanpa di sengaja saking sakitnya,” jelas Hakya.“Ibu akan disini saja,” jawab Farah.Hakya hanya mengangguk.“Bisa dipastikan Zanaya tidak masuk kesini ya bu, nanti dia salah sangka dan membuat semuanya tidak berhasil,” ujar Hak

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Keadaan Ayah Mertua yang Sekarat Akibat Ilmu Hitam

    Hakya dan Kanaya tampak menunduk dan berusaha meraih tangan Farah, dan tidak ada penolakan dari Farah.“Maafkan kami, ibu,” ujar Hakya kemudian diikuti juga oleh Kanaya yang meminta maaf.Sementara itu Hanaya yang berada di dalam gendongan Kanaya hanya terdiam, dia bingung melihat kedua orang tuanya yang tampak sedang serius meminta maaf. “Hanaya, ini nenek. Kamu salim tangannya,” ujar Hakya kepada Hanaya dan meminta Kanaya menurunkan Hanaya dari gendongannya.Farah menatap wajah Hanaya dengan pancaran mata harus, namun dia masih belum menjawab apapun.“Ne-nek,” ujar Hanaya dengan suara yang terbata-bata mengeja dengan benar. Sepertinya dia masih sangat penasaran dengan Farah sehingga dia menarik-narik tangan Farah membuat neneknya itu tersadar.“Cucu nenek…,” ujar Farah kemudian yang langsung memeluk Hanaya dengan erat dan airmata jatuh saat menciumi wajah lembut Hanaya.Hanaya hanya mengangguk dan berusaha melepaskan pelukan Farah, karena memang dia belum mengenal siapa Farah yang

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Tiba Di Tujuan

    “Hei cantik sini,” panggil ibu-ibu penjual dengan ramah saat melihat Hanaya menunjuk ke lapak jualannya.Hakya dan Kanaya hanya bisa terdiam melihat tempat yang ditujukan oleh Hanaya. Ternyata dia menuju ke penjual roti basah. Mungkin bau roti basah itu memancing Hanaya untuk berjalan menuju ke arah sana.“Hanaya mau roti?” tanya Kanaya lembut.“Iya,” jawab Hanaya sambil menganggukkan kepalanya.Hakya juga ikutan mendekat, dan pandangannya bertemu dengan penjual roti basah itu.“Wah, ini Hakya?” tanya penjual itu kepada Hakya dengan sangat antusias.Hakya menganggukkan kepalanya, dia tidak menyangka kalau ternyata bau roti basah buatan ibu itu yang membuat Hanaya berjalan memasuki pasar itu. “Wah si cantik ini pasti anaknya yang menyukai roti basah?” tanya ibu itu lagi.“Iya bu, kemarin dia senang banget saat makan roti basah yang masih hangat, bahkan ini dia berjalan dengan sendirinya,” jawab Kanaya sambil tersenyum dan memesan beberapa roti itu untuk Hanaya.“Ini kalian mau kemana?

  • MENANTU SETENGAH DEWA   Hanaya, Anak yang Luar Biasa

    “Kami berangkat, ya,” ujar Hakya kepada beberapa muridnya itu.“Guru, apakah yakin tidak perlu kami kawal? Setidaknya kami bisa membantu membawa barang-barang dan juga bergantian menggendong Hanaya,” tawar Hofat kepada Hakya dan Kanaya yang sudah bersiap untuk turun dengan membawa barang yang cukup banyak dan juga sepertinya dalam perjalanan itu Hanaya juga akan lebih banyak minta gendong.Hakya menggeleng sambil tersenyum, karena dia tidak mau Kafka akan menganggapnya lelaki pengecut, datang ke rumah mertuanya dengan membawa pasukan. Jadi Hakya akan datang hanya bersama Kanaya dan Hanaya saja.“Benaran gapapa kok, kalian tetap saja disini. Rawat ladang kita dengan baik, kalau memang sampai waktunya panen dan kami belum kembali kalian harus memanennya dan menjualnya di pasar,” pesan Hakya kepada semuanya.“Dan ingat kalian berdua adalah ketuanya dan bertanggung jawab dalam segala hal. Jangan sampai ada yang kelaparan,” ujar Hakya kepada Hofat dan Jirat.Keduanya mengangguk, ada rasa b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status