Perlahan Aeera membuka kelopak mata, dia mengintip situasi dan kondisi. Kemudian setelah itu membuka mata secara keseluruhan–setelah memastikan jika dirinya aman. "Akting-mu lumayan," komentar seorang dengan suara bariton, membuat Aeera reflek menoleh ke sumber suara tersebut. Aeera membelalakkan kaget, dia buru-buru duduk–merapikan pakaian kemudian memutar tubuh untuk menghadap Alarich. "Aku sungguh pingsan, Pak," ucap Aeera dengan nada rendah. "Cih." Alarich berdecis remeh, "bulu matamu tak berhenti bergerak."Aeera menatap horor ke arah Alarich, lalu dia mengerjab beberapa kali–menjauhkan pandangan dari Alarich, menunduk karena malu dengan kelakuannya sendiri. Berpura-pura pingsan hanya demi menghindari masalah tadi. Yah, itu yang Aeera lakukan. "A--aku memang pingsang. Aku lemas karena belum makan sia …-" Ucapan Aeera terhenti ketika menyadari jika bekalnya tak ada bersamanya, "kotak bekalku mana?" ucapnya kemudian, mencari kotak bekal di pangkuan serta sekitar sofa tempat ia
"Aku nggak habis thinking sama kamu, Aeera." Shila menggelengkan kepala beberapa kali, menatap sahabatnya dengan raut muka penat dan lelah. Sudah berulang kali dia menasehati, tetapi Aeera selalu menolak mendengar. "Harusnya kamu bersyukur menikah dengan Pak Karl Alarich Adam. Dia pria yang luar biasa tampan, hot dan charming. Di luaran sana-- banyak perempuan yang berkhayal bisa menjadi istri Pak Alarich. Termasuk aku sejujurnya, cause he's so handsome and sexy. Oh my God!" pekik Shila di akhir kalimat. Orang tuanya berkecimpung di dunia bisnis, jadi Shila sangat mengenal pria bak dewa Yunani tersebut. "Cik, mau handsome kek, mau headshot kek, headset kek, genset kek atau apa pun itu … aku nggak peduli. Dia buruk di mataku, dan aku tidak menyukai pria buruk," celutuk Aeera santai, mengenakan sneakers yang ia pinjam dari Shila. Ting'Tiba-tiba notifikasi handphone Aeera berbunyi, dia menoleh sekejap lalu menatap ke arah sahabatnya. "Bisa antarin aku ke depan nggak, Pak Bian–keperca
"Bian, pasti Karl yang menyuruhmu untuk mencari gadis manisku ini kan?" Nenek tersebut menoleh ke arah Bian, menaik turunkan asli–masih memperlihatkan raut muka bahagia. Bian menggaruk tengkuk, senyum-senyum salah tingkah pada nenek dari tuannya tersebut. "Nona …-"Sebelum Bian menjelaskan, Ruqayah Adam (ibu dari ayah Alarich)–Nenek Alarich tersebut langsung memeluk lengan Aeera, menariknya untuk menemui sang cucu. Tepat di depan Alarich, Ruqayah dan Aeera yang sudah memucat berhenti melangkah. Jaraknya cukup dekat dari posisi Alarich berdiri. 'Kenapa nasibku se sial ini sih? Padahal aku hanya ingin bercerai dengan baik-baik. Gitu ajah nggak bisa.' batin Aeera, menatap berang bercampur takut-takut pada sang suami yang telah melayangkan tatapan tajam padanya. "Karl, ini bidadari penolong Nenek," ucap Ruqayah senang dan penuh perasaan kagum. Nadanya lembut, sangat hangat di pendengaran. Dari cara bicaranya, itu membuktikan jika dia sangat menyayangi sang cucu. Alarich menaikkan seb
"To--tolong jangan apa-apakan aku, Pak. Kasihanilah aku, Pak."Ting' Tiba-tiba saja lampu menyala. Aeera seketika plonga-plogo menoleh ke sana kemari dengan mimik kaget bercampur waspada. Dia berada di kamar siapa? Sentuhan klasik sangat kental dalam kamar ini. Anehnya, dia tak menyadari kapan Alarich mendudukkannya di atas ranjang serba putih ini. "Perhatikan aku, Darling," ucap Alarich tiba-tiba, mencondongkan tubuh ke arah Aeera. Dia meraih dagu perempuan itu lalu mengangkatnya–memaksa Aeera untuk mendongak padanya, "malam ini, kau harus menerima hukumanmu." Aeera menggelengkan kepala secara panik. "Aku salah apa, Pak?!" protesnya. "Kau masih bertanya?" Alarich menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis yang terlihat tampan tetapi mengerikan secara bersamaan. "Kesalahan terbesar bagimu adalah berpikir jika kau bisa bebas dariku, Aeera," tambah Alarich, membuka jas yang ia pasangkan tadi di tubuh istrinya. Dengan santai, dia melempar jas– begitu saja ke lantai. Setel
"Ini paling ku benci!" tambah Ruqayah, menatap Aeera dan Alarich dengan raut muka serius. Dari suasana yang hangat, tiba-tiba saja berubah menjadi suasana menegangkan dan mendebarkan. 'Perasaan-- aku menjawab dengan sopan dan ramah, tetapi kenapa Nenek Ruqayah marah yah?' Aeera mengerjab beberapa kali, duduk tegap karena gugup sekaligus khawatir. Dia merasa jika dia tak melakukan kenakalan, lalu kenapa Nenek suaminya ini marah? "Karl suami kamu, Sayang. Kenapa memanggilnya dengan sebutan 'Pak atau Bos?" ucap Ruqayah, menggelengkan kepala secara ringan lalu menghela napas sembari menatap tak habis pikir pada Aeera dan Karl. "Ganti panggilan kamu pada suami kamu." Aeera mengerjab beberapa kali, menoleh ke arah suaminya dengan menatap kaku serta pias. 'Hais, aku panggil orang ini dengan sebutan apa? Cik, nggak sudi banget aku jika memanggilnya dengan sebutan suamiku. Gila sekali.' "Iya, Aeera. Coba kamu panggil Karl dengan embel-embel Mas," tutur Audriana, sembari tersenyum manis pa
"Sepertinya kita akan mandi bersama." Kalimat itu saja sudah membuat Aeera kejang-kejang dan membeku di tempat. Namun, tak sampai di sana. Alarich masih menambahi. Hanya satu kata, tetapi berhasil membuat pipi Aeera terasa terbakar. "Dek."Aeera menoleh gugup pada Alarich, menatap suaminya tersebut dengan tatapan malu-malu–salah tingkah karena dipanggil dek oleh Alarich. "Ada yang salah?" tanya Alarich, menatap sayup ke arah Aeera–menatap perempuan itu seolah dia satu-satunya objek di muka bumi ini. Di bibir Alarich, seulas senyuman jahil menyinggung. Dia bertanya seolah tak tahu kenapa Aeera menatapnya dan berhenti melangkah. Tentu saja Alarich tahu. Alarich suka semu merah di pipi Aeera. Sekarang dia tahu cara untuk memanggil semu merah tersebut. "Dek?" panggil Alarich kembali, seketika membuat Aeera buru-buru membuang muka. Aeera meremas pinggiran dress yang dia kenakan, mimik mukanya terlihat gelisah dan gugup. Aeera sangat tak suka dipanggil 'dek oleh pria atau siapapun itu s
Aeera sudah berada di perusahaan DeRoyal Hotel&Resort, tempat kerja sekaligus perusahaan raksasa milik sang suami. Meskipun begitu, Aeera tak pernah merasa dia bisa semena-mena bekerja di sini. Bagi Aeera, dia masih sama seperti sebelum menikah dengan Alarich, masih staf biasa yang harus bertanggung jawab pada tugas dan pekerjaannya. Harusnya Aeera langsung menemui Alarich, sesuai titah dari suaminya. Namun, Aeera tertahan oleh Aldi–manager di divisinya. Dia ditahan karena terlambat. "Ini ketiga kalinya kau terlambat, Nona Aeera." Aeera menatap pria yang saat ini sedang berbicara dengannya. Kemudian menunduk untuk menutupi raut muka kesal yang menyelimut di sana. "Dan ini-- paling parah. Kau terlambat tiga setengah jam." Aldi–sang manager, menatap Aeera dengan datar. Dia menyender bossy di kursi kerja, mengamati raut muka datar perempuan di hadapannya. "Gajimu dipotong 5 persen."Mata Aeera membelalak horor, spontan menatap manager tersebut dengan raut muka protes. "Pak, kenapa 5
"Aku nyerah, Pak Mas Alarich yang terhormat. Sudah dua kali bekalku dibegal di perusahaan ini. Aku pengen nuntut ke pengadilan, tapi pelakunya orang paling mampu di negara ini. Hakim mana percaya!" ucap Aeera lemah, menatap sayup bercampur dongkol ke arah Big bosnya. Alarich mendongak, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak masalah," jawabnya santai. Aeera mengerutkan kening, menatap heran pada Alarich. Kenapa Alarich tidak masalah jika dia berhenti bekerja?'Ah, iya. Aku kan sudah menjadi istrinya. Jika aku berhenti bekerja, otomatis aku hanya diam di rumah– seharian terkurung bagai di penjara. Ih, pantas saja Pak Alarich tak masalah.' batin Aeera, mempertimbangkan perkataannya tadi–dalam hati."Aku nggak jadi resign, Pak. Kata-kataku tadi kutarik. Selamat sarapan," ucap Aeera, terkesan ketus. Dia mendengkus kesal kemudian buru-buru keluar dari ruangan bernuansa monokrom tersebut. Alarich memperhatikan Aeera yang tengah berjalan keluar dari ruangannya