Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya.
"Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana.
"Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar.
"Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa.
"Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana.
"Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.
Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak Jo agar menyingkir dari sisi Riana. Jo mendesah kesal dan beralih berjalan di sisi Riana yang lain.
Di kafetaria, Jo memilihkan tempat duduk di pojokan. Tentu agar mereka bisa mengobrol dengan puas tanpa mengundang banyak tanya dari orang sekitar.
"Siapa yang mau tanya duluan?" Riana membuka sesi diskusi. Riana tahu pasti akan tiba hari seperti ini. Mau tak mau dia harus bisa menjelaskan semuanya pada mereka, terutama Sena.
"Aku!" Jo dan Sena berbarengan mengangkat tangan kanan.
Riana memandangi kedua perempuan dan laki-laki dewasa yang kekanakan itu. Sesaat pandangan Riana tertuju pada Jo. Entah kenapa Riana berpikir tak seharusnya dia masih menyukai laki-laki kekanakan itu.
"Kamu dulu deh, Jo," Riana menunjuk Jo. “Mau tanya apalagi?"
"Kamu belum nikah, kan? Kata ibumu, anak itu, anak bosmu?" Jo langsung menyasar pada intinya.
"Lalu? Apa masalahnya denganmu?" Riana balik bertanya.
"Karena aku masih suka denganmu, Riana! Aku sengaja balik ke Bandung buat balikan sama kamu," tegas Jo secara gamblang.
"Gila Lo!" Sena menoyor kepala Jo. “Inget istri lo, Jo!"
Riana masih terdiam. Memperhatikan Jo dan Sena yang saling berdebat kusir. Balikan katanya? Walau aku masih suka denganmu, aku bakal mikir ulang buat balikan sama kamu Jo, batin Riana. Pikirannya teringat kembali akan buruknya perlakuan ibu Jo pada dirinya di masa lalu.
"Maaf, Jo. Aku udah punya," tutur Riana membuat Jo dan Sena terdiam.
"Kapan kamu punya pacar?" lagi-lagi Jo dan Sena melontarkan pertanyaan bersamaan.
"Laki-laki yang kemarin? Om anak kecil itu?" Jo menambah pertanyaan.
"Iya. Aku pacar Riana," jawab David mendahului Riana.
"Wooooh!" Sena melotot melihat David yang sudah ada di belakang Riana. “Beneran itu pacarmu Ri?"
Riana sendiri tak menyangka. David akan ada di belakangnya dan berkata seperti itu. Sementara itu, David dengan santainya mengecup pipi Riana lalu duduk di sampingnya. Tangan kanannya menggenggam erat jemari tangan kiri Riana di atas meja. Menunjukkan bahwa dirinya memang pacar Riana.
Pipi Riana terasa memanas. Apalagi setelah David mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Belum lagi genggaman hangat tangan David yang begitu erat melingkari jemarinya. Riana berharap jantungnya tak meledak saat ini.
Jo menatap sengit David. Jika dicocokkan dengan ucapan Rafa, tentu memang benar. David bukanlah suami Riana tapi dekat dengan keponakannya. Bahkan, sudah dipanggil 'mama'. Artinya, hubungan yang memungkinkan adalah antara Riana pacar David atau tunangannya.
Dada Jo membuncah dipenuhi emosi. Dia tak menyangka Riana sudah memiliki pacar. Padahal, dia sudah susah payah mencari jalan agar bisa kembali lagi ke Bandung dan bekerja di rumah sakit tempat ibu Riana dirawat lewat koneksinya. Sial! maki Jo dalam hati.
"Ganteng ya pacarmu, Ri," puji Sena sekaligus memanasi Jo. Sena suka jika bisa membuat hati Jo sakit. Setidaknya dia ingin membalas sakit hati Riana atas kepayahan Jo yang tak bisa membela Riana di depan keluarga besar Jo.
"Iya. Makasih," jawab Riana canggung.
"Berarti ini alasanmu nggak tinggal di rumah Gerlong? Kamu tinggal bareng pacarmu sekarang?" celetuk Sena santai.
"Iya. Riana tinggal serumah denganku sekarang. Keponakanku sangat menyukai dia dan tak mau berpisah. Jadi, aku memintanya tinggal denganku," jelas David begitu lancar. Sudah sangat mirip penulis skenario film romantis di televisi.
"AH! Ponakanmu itu si bocah lucu yang tadi digandeng Riana pasti!" tebak Sena penuh keyakinan.
"Iya," David memunculkan senyum manisnya. Sena tak menyangka sahabatnya bisa mendapatkan laki-laki setampan itu. Bahkan, senyumannya sangat manis dan mampu melelehkan hati. Kerja bagus Riana! puji Sena penuh kebanggaan di dalam hati.
"Tapi kata ibu Riana, Rafa anak bos Riana. Kamu kerja di mana memangnya?" mulut Sena yang terbiasa mewawancarai orang tak bisa berhenti nyerocos mengeluarkan pertanyaan.
"Ini," David mengeluarkan kartu namanya. Satu diserahkan pada Sena. Satunya lagi pada Jo.
Sena membaca kartu nama David. Perusahaan Kanuragan Bakti. Itu adalah salah satu perusahaan penyewaan bodyguard yang terkenal di Bandung. Tak hanya Bandung. Di beberapa kota besar di Indonesia, perusahaan ini sangat terkenal. Mulai dari artis, pejabat, hingga tokoh nasional, sering menyewa bodyguard dari perusahaan ini. Bahkan, sudah ada beberapa cabangnya di Asia Tenggara dan Asia Timur.
"Head Office Perusahaan Kanuragan Bakti cabang Bandung ya? Wah, berarti yang ngatur cabang Bandung kamu dong ya?" Sena tak mengerti bagaimana caranya sahabatnya itu bisa menemukan durian runtuh seperti ini. Bahkan, selama melalang buana di dunia jurnalistik, Sena pun tak pernah bisa tembus ke kalangan elit tertutup industri bodyguard semacam ini.
Riana sendiri juga takjub. Tak menyangka pria di sampingnya ini bekerja sebagai petinggi di perusahaan bodyguard itu. Riana kira laki-laki itu hanyalah gengster yang suka ambil bunga banyak dari para penghutang di klub malam. Setidaknya itu yang ada di otak Riana. Ternyata lebih dari itu. Pria di sampingnya ternyata sebuah berlian murni. Riana semakin merasa seperti lumpur bau yang merusak keindahan berlian di sampingnya itu.
Sena masih melontarkan beberapa pertanyaan. Entah itu pertanyaan umum atau pertanyaan personal untuk urusan kerja. Riana juga tahu pasti Sena tak ingin melepaskan kesempatan ini untuk membuat janji wawancara demi keperluan pekerjaan.
"Oiya, Ri, ini hapemu," Sena memberikan android lawas Riana. “Kemarin ada di kasurmu. Kayaknya kamu lupa kunci rumah deh. Rumahmu berantakan banget. Mungkin ada yang masuk. Tapi kayaknya nggak ada yang hilang."
"Thanks, Sen," Riana senang bisa memegang hapenya lagi.
"Nanti kita calling-calling lagi ya," Sena menatap jam tangannya. “Bentar lagi aku ada rapat. Aku duluan."
Sena berdiri. Sementara Jo masih diam mematung. "Heh! Ayo balik kerja! Udah ditunggu pasien tuh!"
Sena menarik jas putih Jo. Tangan Jo menampik tangan Sena.
Perlahan laki-laki itu berdiri dari kursinya. "Duluan Riana," pamit Jo sebelum pergi meninggalkan Riana dan David.
"Haaaah," Riana lega urusannya kali ini selesai dengan lancar. Ya, walaupun ada beberapa kebohongan yang harus dibenahi.
Perlahan Riana menarik tangannya dari genggaman tangan David. Namun, David masih erat menggenggam seolah-olah tak ingin melepaskan.
"David, lepasin," pinta Riana.
"Nggak mau," David tetap memegang tangan Riana. Tangan kiri David bertopang di meja sambil menyangga kepala. Matanya menatap lekat Riana yang kebingungan.
"Kenapa?" tanya Riana bingung.
"Soalnya mantan pacarmu masih ngintip di dekat pintu kafetaria."
"Hah?" mata Riana langsung bergerak mengarah ke pintu kafetaria. Sesuai perkataan David memang ada Jo yang masih memperhatikan mereka di sana.
"Dia masih nggak percaya kita pacaran,” tutur David.
"Tapi kan emang nggak pacaran?" balas Riana.
"Kamu mau ngomong gitu ke mantanmu?"
Riana terdiam. Tentu saja jauh lebih baik pura-pura punya pacar daripada Jo mengejar dirinya. Apalagi Jo kan sudah menikah! Bisa mati dia dikira pelakor!
"Nggak!" jawab Riana tegas.
David tersenyum. Badannya kembali tegak.
"Kalau gitu, ikutin caraku," tangan kiri David merengkuh Riana dalam pelukannya. Perlahan dia mendekatkan wajah Riana ke wajahnya. Tangan David semakin kencang menekan kepala Riana hingga semakin dekat dan dekat. Sampai Riana mampu merasakan hembusan napas David di bibirnya. Refleks Riana menutup kedua matanya. Pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya.
Riana memejamkan mata kuat-kuat. Dapat dirasakannya telapak tangan David memegang erat belakang lehernya. Belum lagi bibirnya yang tinggal berjarak beberapa inchi dari bibir David.Tanpa sadar, Riana mencengkeram erat tangan David. Membuat tawa David terlontar keluar. Perlahan Riana membuka matanya. Tampak David masih tertawa. Wajah Riana memerah seperti tomat."Gila kamu!" ceplos Riana sambil melepaskan diri dari David.Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Ingin rasanya dia mencabut jantungnya sekarang juga dan melemparnya. Bisa-bisanya jantungnya berdetak karena prank tak jelas dari David.Segera Riana berdiri. Tangan David kembali memegang tangan Riana. Membuat gadis itu tak bisa pergi."Ngobrol dulu," ujar David."Jangan dekat-dekat lagi tapi!" pesan Riana. David mengangguk."Mantanmu masih suka kamu?" tanya David seperti orang menginterogasi."Darimana kamu tahu dia mantanku?""Menurutmu?" David mengerling Riana dengan ekor matanya yang tajam. Riana sadar siapa pria di hadap
Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin
"Hngg....," Riana menggeliat. Rasanya tadi di kamar Rafa tidak ada AC menyala. Tapi sekarang tubuhnya jadi menggigil kedinginan.Tak ayal, Riana pun terbangun. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Riana menatap ruang sekitarnya.Kok kayak di mobil? Kedua bola mata Riana langsung melek seketika. Saat menoleh ke kanan, tampak David sedang fokus menyetir."David?!" desis Riana tertahan."Sudah bangun?""Mau kemana kita?""Tempat hukumanmu.""Hukuman?" Riana lagi-lagi tak paham dengan ucapan David ini," Aku salah apa?""Pikir saja dulu," lanjut David tanpa menoleh sedikit pun pada Riana.Wajah Riana langsung merengut penuh khawatir. Bagaimana mungkin Davis memperlakukannya seperti ini? Padahal dia yakin tak melakukan kesalahan apapun saat mengasuh Rafa.Gimana nih? Apa dia mau pukul aku? Atau langsung jual aku ke klub malam? Riana menggigit-gigit ibu jarinya cemas.Mobil David akhirnya terparkir. Anehnya, terparkir di halaman rumah Riana."Turun!" perintah David arogan.Riana langsung turun
"Ma-maaf," Riana langsung menarik diri menjauh dari David. Rasanya sangat malu dan canggung. Sorot matanya tak berani menatap langsung lensa mata David yang tajam."Sudahlah. Ayo balik," David menutup payung. Tangannya langsung meraih tangan Riana dan mengajaknya menyeberang jalan. Riana berlari kecil-kecil mengikuti gerak langkah kaki David yang lebar. Napasnya ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu rumah.David membuka kembali payung yang ditutup lalu ditaruh dekat teras rumah agar mengering. Pria itu mengibaskan kemejanya yang basah. Tak berapa lama kemudian, beralih mengacak-acak rambutnya."David, mandilah. Akan kurebuskan air," tawar Riana."Aku nggak ada baju ganti.""Nanti kucarikan baju ayahku," teriak Riana sambil berlari masuk ke dalam kamar. Dia mencari handuk untuk David di lemari. Di saat itulah, dia menemukan setelan baju rumahan pria di kamarnya."David bisa pakai ini," Riana tersenyum tipis lalu membawanya keluar.Dengan langkah riang, Riana menghampiri David di ruan
"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m
"Maksud Om, mamamu tidur di kamar samping kamar Om. Om nginep di rumah nenekmu," kesadaran David sudah terkumpul seutuhnya. Hampir saja dirinya memicu perang dunia dengan Rafa karena salah ucap. Salah ucap? Sebenarnya bukan. Dirinya memang semalaman tidur seranjang dengan Riana. Tapi kan …."Kok nginep? Nenek kan masih di rumah sakit? Rafa kok nggak diajak? Rafa mau ketemu Mama, Om,” komplain Rafa tak terima.Aduh, bocah ini bawel sekali! omel David dalam hati."Kamu mandi aja sana. Bentar lagi Om pulang," David mematikan ponselnya. Langsung dia tekan mode pesawat agar ponakannya tak lagi meneleponnya lagi."Oh, sudah bangun?" Riana melongok ke dalam kamar. David hanya mengangguk."Ayo makan. Aku udah masak bubur ayam buat sarapan," ajak Riana.David turun dari ranjang. Dilihatnya cuaca di luar sambil menguap. Langit masih mendung. Membuatnya tak bisa menerka jam berapa sekarang.Dia memutuskan membersihkan diri dulu sebelum menyusul sarapan. Di depan meja ruang tengah sudah ada dua m