Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin
"Hngg....," Riana menggeliat. Rasanya tadi di kamar Rafa tidak ada AC menyala. Tapi sekarang tubuhnya jadi menggigil kedinginan.Tak ayal, Riana pun terbangun. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Riana menatap ruang sekitarnya.Kok kayak di mobil? Kedua bola mata Riana langsung melek seketika. Saat menoleh ke kanan, tampak David sedang fokus menyetir."David?!" desis Riana tertahan."Sudah bangun?""Mau kemana kita?""Tempat hukumanmu.""Hukuman?" Riana lagi-lagi tak paham dengan ucapan David ini," Aku salah apa?""Pikir saja dulu," lanjut David tanpa menoleh sedikit pun pada Riana.Wajah Riana langsung merengut penuh khawatir. Bagaimana mungkin Davis memperlakukannya seperti ini? Padahal dia yakin tak melakukan kesalahan apapun saat mengasuh Rafa.Gimana nih? Apa dia mau pukul aku? Atau langsung jual aku ke klub malam? Riana menggigit-gigit ibu jarinya cemas.Mobil David akhirnya terparkir. Anehnya, terparkir di halaman rumah Riana."Turun!" perintah David arogan.Riana langsung turun
"Ma-maaf," Riana langsung menarik diri menjauh dari David. Rasanya sangat malu dan canggung. Sorot matanya tak berani menatap langsung lensa mata David yang tajam."Sudahlah. Ayo balik," David menutup payung. Tangannya langsung meraih tangan Riana dan mengajaknya menyeberang jalan. Riana berlari kecil-kecil mengikuti gerak langkah kaki David yang lebar. Napasnya ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu rumah.David membuka kembali payung yang ditutup lalu ditaruh dekat teras rumah agar mengering. Pria itu mengibaskan kemejanya yang basah. Tak berapa lama kemudian, beralih mengacak-acak rambutnya."David, mandilah. Akan kurebuskan air," tawar Riana."Aku nggak ada baju ganti.""Nanti kucarikan baju ayahku," teriak Riana sambil berlari masuk ke dalam kamar. Dia mencari handuk untuk David di lemari. Di saat itulah, dia menemukan setelan baju rumahan pria di kamarnya."David bisa pakai ini," Riana tersenyum tipis lalu membawanya keluar.Dengan langkah riang, Riana menghampiri David di ruan
"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m
"Maksud Om, mamamu tidur di kamar samping kamar Om. Om nginep di rumah nenekmu," kesadaran David sudah terkumpul seutuhnya. Hampir saja dirinya memicu perang dunia dengan Rafa karena salah ucap. Salah ucap? Sebenarnya bukan. Dirinya memang semalaman tidur seranjang dengan Riana. Tapi kan …."Kok nginep? Nenek kan masih di rumah sakit? Rafa kok nggak diajak? Rafa mau ketemu Mama, Om,” komplain Rafa tak terima.Aduh, bocah ini bawel sekali! omel David dalam hati."Kamu mandi aja sana. Bentar lagi Om pulang," David mematikan ponselnya. Langsung dia tekan mode pesawat agar ponakannya tak lagi meneleponnya lagi."Oh, sudah bangun?" Riana melongok ke dalam kamar. David hanya mengangguk."Ayo makan. Aku udah masak bubur ayam buat sarapan," ajak Riana.David turun dari ranjang. Dilihatnya cuaca di luar sambil menguap. Langit masih mendung. Membuatnya tak bisa menerka jam berapa sekarang.Dia memutuskan membersihkan diri dulu sebelum menyusul sarapan. Di depan meja ruang tengah sudah ada dua m
"Om ngapain, Mama? Kenapa Mama matanya bengkak! Om!" Rafa tak henti-hentinya mengejar David. Bocah itu meminta pertanggungjawaban David atas diri Riana yang tampak murung dan bersedih hati setelah menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah."Om mau mandi, Rafa. Kamu istirahat sana!" David mendorong Rafa keluar dari dalam kamarnya. Namun, bocah itu tetap tak mengalah. Berusaha mendorong balik masuk ke dalam ruangan.David terpaksa mengangkat keponakannya dan membopongnya masuk ke kamar Riana. "Udah sana sama Mamamu! Jangan berisik!" David mengunci pintu dari luar."Om! Buka pintunya, Om! Om!" Rafa menarik-narik gagang pintu.Riana memegang tangan Rafa dari belakang. “Tanganmu nanti sakit, Sayang,” ujar Riana mengingatkan.Bocah itu berhenti menarik-narik gagang pintu. Riana mencoba tersenyum meski hatinya masih tak nyaman. "Rafa, mau bobok sama Mama? Badan Mama lagi nggak enak,” ajak Riana lembut."Mata Mama bengkak gara-gara sakit?" tanya Rafa memastikan. Riana menganggukkan kepala."Past