Riana melemparkan pandangan ke David. Memohon bantuan pada laki-laki itu. Namun, David malah melihat ke arah lain. Seolah tak mau ikut campur dengan hal itu.
"Ya, Ma? Ya?" Rafa menarik-narik tangan Riana.
Riana tertawa canggung lalu berkata. “Eh, mau lihat air terjun nggak? Di sini ada air terjun bagus lho? Kita bisa foto-foto bareng. Rafa belum pernah foto bareng Mama kan?"
"Mau! Mau! Ayo!"
Fiuuh! Riana lega bisa mengelabui Rafa. Tanpa banyak bicara, Riana langsung mengajak Rafa naik lift menuju lantai Sky Level tempat air terjun buatan itu berada.
PVJ Mall memang memiliki desain yang unik. Tak hanya bisa berbelanja dan wisata kuliner. Pengunjung juga bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam buatan yang sudah tampak dari desain interior dan eksterior mall yang dipenuhi bebungaan. Belum lagi ada lantai Sky Level yang menyediakan fasilitas tambahan untuk foto dengan spot air terjun buatan dan taman bunga yang indah.
"HUWAAAAA!" Rafa langsung berlari bergaya di depan air terjun buatan yang memiliki arus sama derasnya seperti air terjun alami. “Ayo foto, Ma!"
Riana langsung menyodorkan kedua tangannya pada David. Dia masih belum dibelikan hape. Satu-satunya alat foto ya hape milik David.
"Kamu ke sana aja bareng Rafa," usir David.
"Jangan lupa foto tapi," pesan Riana sebelum pergi meninggalkan David.
Riana menghampiri Rafa dan ikut bergaya di sisi bocah itu. Sementara David, sudah beralih profesi jadi tukang foto mereka.
"Mana? Mana? Aku mau lihat fotonya," Riana menggandeng Rafa menghampiri David.
"Iya, Om. Rafa juga mau lihat fotonya," ujar Rafa sama antusiasnya dengan Riana.
"Ini," David menunjukkan layar hapenya. Riana menggeser-geser layar hape untuk melihat foto yang sudah ada.
"Wah, Rafa, ini lucu banget kamu," komentar Riana.
"Ini Mama gaya apa coba, hahaha," Rafa terkekeh melihat muka Riana yang berpose jelek di belakang Rafa.
"Udah. Segitu aja fotonya," David langsung menarik hapenya lagi ketika Riana akan menggeser layar," Sekarang kita belanja."
"Om, foto bareng dulu," pinta Rafa.
David berdecak. Biasanya dia tak pernah berfoto. Namun, kali ini memang berbeda. Dia bisa berfoto dengan Riana jika menuruti ucapan Rafa.
"Iya," David mulai menyalakan fitur kamera di hapenya dan bersiap selfie dengan Rafa dan Riana.
"Ma! Geser Ma! Belum masuk kamera!" cicit Rafa.
Riana menggeser-geser badannya lagi agar bisa masuk ke dalam frame kamera dengan sempurna. Tangan kanan David langsung merangkul Riana dari belakang. Membuat Riana kaget. Tapi kini wajah Riana sudah bisa masuk dalam frame kamera.
"Cheese!" teriak Rafa. Beberapa kali kamera menjepret mereka bertiga. Riana yang masih terkaget dan bingung tampak melongo di dalam foto. Usai berfoto, David kembali melepas rangkulannya dari pundak Riana.
"Mama emang nggak pinter gaya," komentar Rafa usai melihat foto bersama mereka.
Riana hanya terdiam. Tangannya masih memegangi pundaknya yang baru saja dirangkul David. Jantungnya lagi-lagi berdetak tak karuan.
"Udah, kan? Sekarang kita belanja," komando David.
Riana mengikuti saja langkah David memasuki supermarket. Tak Riana sangka, David sangat cekatan saat berbelanja. Membuat Riana melongo.
"Kamu nggak mau beli sesuatu?" tanya David karena sedari tadi Riana hanya mengekorinya dalam diam.
"Nggak…." Riana menggelengkan kepala.
"Beli aja. Kamu butuh ini juga kan?" David mengambilkan pembalut dan menunjukkannya pada Riana. “Biasanya pakai merk apa?"
Muka Riana langsung memerah seketika. Iya sih, dia memang butuh pembalut sebagai kebutuhan bulanan. Tapi, David ini kan bukan pacar atau suaminya? Kenapa dia harus ambilin pembalut untuknya sesantai ini? Ditambah tanya merek apa?
"Heh! Malah diam!" tegur David.
"Oh, umm… anu…. Yang itu," Riana menunjuk pembalut dengan bahan cool mint kesukaannya dan pantyliner. Tanpa banyak bicara David langsung mengambilkannya.
"Makasih," Riana jadi canggung tapi dia tak bisa berbuat banyak karena dirinya yang miskin. Riana meratapi kemiskinannya dalam hati.
"Jangan malu. Ini fasilitas buatmu," tutur David sambil mendorong troli belanjaan.
Benar! Buat apa aku malu? Semuanya sudah kepalang tanggung. Mending sekalian aja belanja yang lain.
Riana pun melirik rak jajanan yang diinginkannya. Segera dia mengambil keranjang belanjaan baru. Tanpa ragu, dia mengambil beberapa jajanan kesukaannya dan memasukkannya ke keranjang itu. Rafa yang mengekori Riana, menatap takjub.
"Bukannya Mama nggak suka keju ya? Kok ambil ini?" Rafa menunjuk snack dengan taburan keju yang dibawa Riana.
"Oh? Iya, kah? Hmm, Mama udah suka keju kok sekarang."
"Sama kayak Rafa dong. Ambil yang banyak, Ma!" teriak Rafa senang. Riana tersenyum lebar. Tangannya dengan lincah memasukkan jajanan lainnya ke dalam keranjang belanjaan hingga penuh.
David yang melihat tingkah laku Riana yang sama kekanakannya seperti Rafa hanya hanya bisa menggelengkan kepala. Rasanya seperti mengajak dua bocah berbelanja, batin David.
Setelah hampir dua jam, akhirnya aktivitas berbelanja mereka sudah selesai. Tampak Joni sudah menanti di depan supermarket dan mengambil semua belanjaan.
"Langsung bawa pulang," perintah David. Joni mengangguk dan segera pergi menuju parkiran.
"Kita ke tempat hape sekarang," David menggendong Rafa yang sudah tampak capek lalu berjalan sambil menggandeng Riana.
"Hmm, David, sebenernya kita bisa ambil hapeku di rumahku. Nggak usah beli," ujar Riana. Setelah dipikir-pikir, membeli hape sama halnya mengeluarkan biaya tambahan. Dengan kata lain, hutangnya juga bertambah. Riana sudah bergidik membayangkan hutangnya bertambah banyak lagi.
"Permisi Bapak, Ibu," seorang sales perumahan di hall mall menghentikan langkah mereka. Riana kembali tersadar dari lamunannya.
"Mari lihat dulu. Kami ada perumahan baru yang asri dan nyaman. DP-nya murah. Ini bisa dilihat di brosurnya," si sales perempuan itu memberikan brosur pada Riana.
Tangan Riana menerimanya dan membaca sepintas. Walaupun dikata murah, tetap saja harganya minimal 800 jutaan. Ya, sekarang harga properti semakin naik. Beli rumah hanya khayalan buat orang miskin seperti dirinya. Riana lagi-lagi mendesah.
Sementara itu, si sales sibuk menyapa Rafa. Dia memberikan permen lolipop kepada bocah manisnya itu. "Ini dimakan adik manis," si sales tersenyum pada Rafa.
Tangan David langsung mengambil lolipop itu sebelum Rafa sempat mengambilnya. "Tidak perlu. Terima kasih," tolak David.
"Ah, iya. Maaf," si sales itu menyembunyikan lolipop itu di sakunya lagi.
"Ayo kita pergi," David menarik Riana menuju konter hape. Kepala Riana menunduk sesaat sebagai permintaan maaf.
Dengan cepat David memilihkan hape untuk Riana. Usai mengurus semuanya, dia langsung mengajak Riana dan Rafa kembali di mobil.
Di dalam mobil, Riana memandangi hape barunya. Di tangannya sudah ada iPhone edisi terbaru. Itu adalah hape yang selalu diinginkan oleh Sena tapi belum bisa terbeli karena harganya selangit.
"Haaah," Riana menghembuskan napas sedih. Diletakkannya hape itu di dalam saku lalu fokus mengusap-usap kepala Rafa yang tertidur di pangkuannya.
"Nggak suka?"
"Eh?"
"Kamu nggak suka hape itu?"
"Suka. Tapi kan mahal. David, aku tahu keahlianmu memang seperti ini. Tapi nggak bisakah kamu berbaik hati sedikit padaku? Biar hutangku nggak menumpuk padamu," mohon Riana.
"Diamlah. Kamu tinggal bekerja lebih keras saja kan?"
Riana memanyunkan mulutnya. Iya sih, dia tinggal bekerja lebih keras mendidik dan mengasuh Rafa. Tapi tetap saja kan dia tak bisa hidup jadi pembantu seumur hidup?
Arrgh! Riana gemas sendiri dengan kondisinya. Kenapa dia lagi-lagi harus terjebak hutang semakin banyak pada David! Huh!
Tawa Riana bersama Rafa terhenti seketika saat memasuki kamar ibunya. Di dalam sana, tak hanya ada ibunya saja. Tampak dua sosok yang tidak ingin ditemuinya untuk saat ini. Jo dan Sena. Kedua orang itu tampak sedang mengobrol dengan ibunya."Riana!" teriak Sena dan Jo berbarengan. Jantung Riana berdegup kencang lagi. Kedua orang itu langsung menghampiri Riana."Hmm, kita ngobrol di luar aja? Gimana?" usul Riana secepat kilat. Tak ingin membuat keributan di dalam kamar."Oke," ujar Sena sambil melirik Rafa."Bu, aku titip Rafa ya," pesan Riana sebelum keluar kamar. Ibu Riana mengangguk dan memanggil Rafa agar mendekat. Sangat beruntung bagi Riana karena Rafa tipe anak yang penurut. Bocah itu langsung naik ke ranjang dan bermain dengan ibu Riana."Kita bisa ke kafetaria rumah sakit," usul Jo sesaat setelah Riana menutup pintu ruang rawat ibunya dari luar. Riana hanya mengangguk mengiyakan.Jo berjalan di sisi Riana menuju kafetaria. Sena yang memang tak suka Jo, dengan sengaja menabrak
Riana memejamkan mata kuat-kuat. Dapat dirasakannya telapak tangan David memegang erat belakang lehernya. Belum lagi bibirnya yang tinggal berjarak beberapa inchi dari bibir David.Tanpa sadar, Riana mencengkeram erat tangan David. Membuat tawa David terlontar keluar. Perlahan Riana membuka matanya. Tampak David masih tertawa. Wajah Riana memerah seperti tomat."Gila kamu!" ceplos Riana sambil melepaskan diri dari David.Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Ingin rasanya dia mencabut jantungnya sekarang juga dan melemparnya. Bisa-bisanya jantungnya berdetak karena prank tak jelas dari David.Segera Riana berdiri. Tangan David kembali memegang tangan Riana. Membuat gadis itu tak bisa pergi."Ngobrol dulu," ujar David."Jangan dekat-dekat lagi tapi!" pesan Riana. David mengangguk."Mantanmu masih suka kamu?" tanya David seperti orang menginterogasi."Darimana kamu tahu dia mantanku?""Menurutmu?" David mengerling Riana dengan ekor matanya yang tajam. Riana sadar siapa pria di hadap
Jantung Riana tak bisa berhenti berdegup. Dirinya tak menyangka David akan menyelinap masuk ke kamarnya tengah malam seperti ini!Awalnya Riana sudah mulai mengantuk. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Walaupun memaksa untuk memikirkan soal penculikan Mama Rafa, dia pun tak punya petunjuk apa-apa."Mendingan aku tidur aja. Besok pagi kan masih bisa tanya David," gumam Riana sambil meletakkan hapenya di meja. Dimatikannya lampu kamar agar tidurnya jauh lebih nyenyak.Sudah beberapa kali Riana menguap. Beberapa kali juga dia berguling ke kiri dan ke kanan. Anehnya, matanya belum bisa diajak terpejam. Padahal, otaknya sudah menginginkan untuk diajak tidur.Ceklek. Ceklek.Riana terkejut. Seseorang membuka pintu kamarnya yang sudah dikunci. Perlahan Riana mengintip sekilas dari balik selimutnya. Tampak bayangan laki-laki berjalan mendekatinya dan terduduk di sisinya.Sesaat jemari laki-laki itu menyingkap sedikit selimut yang menutupi wajah Riana. Sekuat mungkin Rian
"Tapi aku nggak punya saudara! Aku anak tunggal di rumah!" jelas Riana menggebu.David hanya mengangkat pundaknya."Yang jelas kalian mirip,” ujar David."Lalu di mana Mama Rafa sekarang? Masih hidup kan?" Riana masih ingat perkataan Rafa yang menceritakan bahwa Mama dan Papanya baru pergi lama dan tak pulang-pulang."Aku masih mencari mereka,” ucap David."Mencari? Mereka diculik?""Aku masih mencari dan tugasmu menggantikan sementara peran Mama Rafa dengan baik. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan,” terang David.Itulah pesan David yang terngiang-ngiang di pikiran Riana. Bahkan, saat rapat orang tua murid yang membahas tentang kenakalan geng Noval ke Rafa pun, Riana jadi tak fokus."Pokoknya saya minta ibu-ibu sekalian jaga anak masing-masing. Jangan sampai saya dengar mereka ngejek anak saya lagi," pungkas Riana menyudahi perdebatan dalam rapat agar cepat selesai.Untungnya tak ada ibu-ibu yang membuat ulah. Beban Riana jadi sedikit lebih berkurang. Usai rapat, Riana langsung menga
"Ini buat kamu," Jo memberikan kotak bekal berisi udang saus tiram dan brokoli rebus kesukaan Riana. Ini sudah ketiga kalinya Jo memberikannya saat Riana menjenguk ibunya.Dulu Riana sangat suka menerima kotak bekal semacam itu dari Jo. Setiap kali Jo memberikannya, hati Riana berbunga-bunga. Apalagi jika Jo menyuapinya di saat dia masih mengerjakan laporan kampus."Dimakan atuh Ri," tutur ibu Riana menyemangati.Jo tersenyum malu. Hatinya cukup puas karena ibu Riana juga sepertinya mendukung dirinya. Sebaliknya, Riana yang kesal dengan kelakuan Jo."Ibu aja yang makan. Sama Rafa," Riana melirik Jo tajam," Ikut aku keluar!""Okey," Jo menundukkan kepala sebagai salam undur diri. Dia melangkah cepat mengikuti Riana."Riana, mau ke mana?" tanya Jo sambil berusaha menyamakan langkah dengan Riana. Gadis itu hanya diam saja. Tetap melangkah hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit yang cukup sepi.Kepala Riana celingukan. Melihat apakah ada orang lain di sekitar mereka. Saat yakin
"Hngg....," Riana menggeliat. Rasanya tadi di kamar Rafa tidak ada AC menyala. Tapi sekarang tubuhnya jadi menggigil kedinginan.Tak ayal, Riana pun terbangun. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, Riana menatap ruang sekitarnya.Kok kayak di mobil? Kedua bola mata Riana langsung melek seketika. Saat menoleh ke kanan, tampak David sedang fokus menyetir."David?!" desis Riana tertahan."Sudah bangun?""Mau kemana kita?""Tempat hukumanmu.""Hukuman?" Riana lagi-lagi tak paham dengan ucapan David ini," Aku salah apa?""Pikir saja dulu," lanjut David tanpa menoleh sedikit pun pada Riana.Wajah Riana langsung merengut penuh khawatir. Bagaimana mungkin Davis memperlakukannya seperti ini? Padahal dia yakin tak melakukan kesalahan apapun saat mengasuh Rafa.Gimana nih? Apa dia mau pukul aku? Atau langsung jual aku ke klub malam? Riana menggigit-gigit ibu jarinya cemas.Mobil David akhirnya terparkir. Anehnya, terparkir di halaman rumah Riana."Turun!" perintah David arogan.Riana langsung turun
"Ma-maaf," Riana langsung menarik diri menjauh dari David. Rasanya sangat malu dan canggung. Sorot matanya tak berani menatap langsung lensa mata David yang tajam."Sudahlah. Ayo balik," David menutup payung. Tangannya langsung meraih tangan Riana dan mengajaknya menyeberang jalan. Riana berlari kecil-kecil mengikuti gerak langkah kaki David yang lebar. Napasnya ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu rumah.David membuka kembali payung yang ditutup lalu ditaruh dekat teras rumah agar mengering. Pria itu mengibaskan kemejanya yang basah. Tak berapa lama kemudian, beralih mengacak-acak rambutnya."David, mandilah. Akan kurebuskan air," tawar Riana."Aku nggak ada baju ganti.""Nanti kucarikan baju ayahku," teriak Riana sambil berlari masuk ke dalam kamar. Dia mencari handuk untuk David di lemari. Di saat itulah, dia menemukan setelan baju rumahan pria di kamarnya."David bisa pakai ini," Riana tersenyum tipis lalu membawanya keluar.Dengan langkah riang, Riana menghampiri David di ruan
"Ca...ha...ya...." pinta Riana dengan suara parau karena sesak napas."Bentar. Aku Carikan hapeku dulu," David langsung berdiri. Dia ingat meletakkan hapenya di meja ruang tamu.Langkahnya cepat melesat ke ruang tamu. Meski harus beberapa kali menabrak kursi atau tembok, akhirnya David bisa menemukan hapenya dan menyalakan senter. Setelah mendapatkan penerangan, napas Riana mulai membaik.David mengusap-usap dan memijit tengkuk Riana. Dapat dirasakannya seluruh tubuh Riana mendingin dan tegang. David ingin sekali memeluk Riana tapi tak berani melakukannya karena takut akan membuat Riana syok dan menangis lagi.Sementara itu, Riana masih berkutat dengan ketakutannya. Ya, sejak kecil dia takut kegelapan yang pekat. Sampai dewasa pun, dia selalu menyalakan lampu tidur sebelum terlelap. Momen mati lampu mendadak seperti ini adalah momen yang paling dibenci Riana."Mau kubelikan inhaler? Aku bisa cari apotek 24 jam sekitar sini.""Ja-jangan…. Kumohon…. Di sini saja …." pinta Riana sambil m