David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
"Jika sampai akhir bulan ini kamu belum bisa setor tulisan untuk project game kami, dengan terpaksa kami akan menghentikan kontrak kerja," begitulah peringatan ultimatum dari atasannya saat rapat tim internal di kantor sore hari sebelum Riana pulang ke rumah. Sebuah peringatan yang membuat hatinya goyah dan terluka. Sejauh ini, semenjak lulus kuliah, satu-satunya ladang penghasilannya adalah dari tulisan. Semua tulisannya selalu menjadi satu-satunya mata pencahariannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan ibunya di rumah sakit. "Kalau aku dipecat, aku cuma bisa dapat penghasilan dari editing dan web novel. Aaah, pusing!" Riana membentur-benturkan kepalanya ke meja saat dia memutuskan tetap mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah hingga larut malam. Riana memandangi laptopnya lagi. Hari ini dia harus menyelesaikan deadline tulisannya. Berulang kali dia menghembuskan napas panjang. "Nggak ada yang bener," keluh Riana gundah. Pikirannya sangat frustasi memikirkan
Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Sesekali suara itu tertahan. Seolah takut ada yang mendengarnya."Hmm? Siapa yang nangis?" Riana membuka mata. Tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama tak sadarkan diri.Kepala Riana menoleh ke kiri dan ke kanan. Sambil berpikir, Riana mencoba mengenali tempat baru yang dihuninya ini.Ah, iya. Semalam ada penagih hutang ke rumah.…. Dan aku diculik sekarang.Riana menundukkan kepala lemah. Menyadari nasib buruknya akan bertambah buruk lagi setelah ini.Suara tangisan yang membangunkannya tadi terdengar lagi. Asalnya dari balik jendela. Kali ini semakin kencang. Membuatnya jadi penasaran."Siapa?" panggil Riana. Tak ada cara apapun yang bisa dilakukan Riana selain bertanya. Kedua tangan dan kakinya terikat. Hanya lakban di mulutnya yang dilepas.Suara Isak tangis itu berhenti sesaat. Membuat hati Riana jadi gusar."Tadi itu manusia kan ya?" gumam Riana sambil celingukan. Tempat dia berada cukup luas. Sayangnya diisi oleh kardus dan peralatan rumah y
"Meow.…," seekor kucing putih melompat dari sisi Riana."Oh, kucing ternyata, Bos," teriak salah seorang dari mereka.Haaah, Riana menghembuskan napas lega. Tak menyangka keberuntungan naik dengan baik hari ini.Gerombolan preman penagih hutang itu mulai berjalan menjauh. Saat sudah yakin situasi benar-benar aman, Riana langsung melepaskan pelukan eratnya dari bocah laki-laki di pangkuannya itu."Kita sudah aman. Ayok! Waktunya kabur," Riana dengan riang menggandeng anak itu. Tentunya dengan sangat bahagia, anak itu mengikuti langkah Riana.BRUK!Riana menubruk sesuatu beberapa saat setelah keluar dari persembunyiannya."Ugh! Sakit!" Riana memegangi hidungnya yang terasa perih akibat tabrakan tadi."Sudah kuduga ada kucing lain di sini," sebuah suara familiar yang terdengar membuat Riana merinding seketika.Tampak pria penculik dirinya beserta dua orang anak buahnya berdiri di hadapan Riana. Pandangan tajamnya semakin tampak jelas dibanding kemarin malam saat pertama kali mereka berte