Share

BERUSAHA KABUR

Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Sesekali suara itu tertahan. Seolah takut ada yang mendengarnya.

"Hmm? Siapa yang nangis?" Riana membuka mata. Tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama tak sadarkan diri.

Kepala Riana menoleh ke kiri dan ke kanan. Sambil berpikir, Riana mencoba mengenali tempat baru yang dihuninya ini.

Ah, iya. Semalam ada penagih hutang ke rumah.…. Dan aku diculik sekarang.

Riana menundukkan kepala lemah. Menyadari nasib buruknya akan bertambah buruk lagi setelah ini.

Suara tangisan yang membangunkannya tadi terdengar lagi. Asalnya dari balik jendela. Kali ini semakin kencang. Membuatnya jadi penasaran.

"Siapa?" panggil Riana. Tak ada cara apapun yang bisa dilakukan Riana selain bertanya. Kedua tangan dan kakinya terikat. Hanya lakban di mulutnya yang dilepas.

Suara Isak tangis itu berhenti sesaat. Membuat hati Riana jadi gusar.

"Tadi itu manusia kan ya?" gumam Riana sambil celingukan. Tempat dia berada cukup luas. Sayangnya diisi oleh kardus dan peralatan rumah yang sudah tak terpakai. Ada beberapa kayu bangunan, besi, dan pipa.

"Kayaknya aku ditaruh di gudang. Tapi masa' iya tadi suara hantu gudang?" Riana menggelengkan kepala," Nggak! Mikir yang bener Riana!"

"Halo?" Riana kembali memberanikan diri menyapa si pemilik suara tangisan tadi," Kamu ada di luar ya? Bisa dengar aku kan?"

Riana menunggu beberapa saat. Muncul sembulan sebuah kepala mungil dari balik jendela.

Ah! Beneran manusia!

"Adik kecil! Lihat ke sini!" panggil Riana setengah berteriak. Sekuat tenaga Riana berusaha mengesot mendekati jendela.

Anak kecil itu langsung meloncat masuk ke dalam, jendela gudang yang sudah hilang kacanya. Riana terkaget melihat aksi anak itu.

"Kamu nggak apa-apa?" Riana menatap khawatir bocah laki-laki yang berguling di lantai itu.

Anak itu tak menjawab. Langsung berdiri dan menghampiri Riana. Tangan mungilnya membantu membuka ikatan di tangan dan kaki Riana.

Riana masih menatap bingung anak itu. Mata Riana fokus pada fisik bocah yang seusia anak sekolah dasar itu. Tak lupa Riana mengecek apakah kaki bocah itu mengambang atau tidak.

"Kamu bukan hantu kan?" celetuk Riana tanpa pikir panjang. Anak itu hanya menggelengkan kepala.

"Kamu yang menangis tadi?" Riana melanjutkan pertanyaannya. Anak itu tampak ragu menjawab.

"Nggak masalah kok. Nangis itu wajar. Semua orang bisa sedih dan bisa nangis," Riana tersenyum pada anak itu. Dengan lembut Riana mengusap-usap rambutnya.

"Terima kasih ya? Sudah membantuku," ujar Riana. Anak itu mengangguk senang.

Pandangan Riana beralih pada jendela tanpa kaca itu. Dengan melompati jendela itu, tentu dia punya kesempatan untuk kabur. Tanpa Riana sadari, kakinya sudah bergerak otomatis membawa dirinya ke dekat jendela.

Riana merasa cukup beruntung karena badannya mungil. Dia jadi punya kesempatan lebih besar untuk melewati jendela yang tak terlalu besar itu. Dengan segera Riana langsung melangkahkan kaki kanannya naik ke jendela.

"Ng…," bocah laki-laki itu menarik celana Riana. Mengingatkan Riana bahwa eksistensi dirinya juga ada.

"Aku harus pulang, Dik. Ibuku menungguku," jelas Riana sambil menurunkan kakinya kembali. Anak itu menatap Riana dengan tatapan memelas.

"Hmm, aku senang dan berterima kasih karena kamu sudah menolongku. Tapi, aku harus pulang."

Riana mencoba memberikan penjelasan pada anak itu. Namun, tangis anak itu malah muncul.

"Eh, eh, jangan nangis," refleks Riana memeluk anak itu," Jangan nangis ya? Kakak belum pergi kok. Cup…cup … cup.…"

Penuh kelembutan Riana mengusap-usap punggung anak itu. Berusaha agar tangisnya mereda.

"Kamu mau ikut kakak?" tanya Riana. Bocah itu mengangguk dengan cepat.

"Tapi rumahmu di sini kan?" lanjut Riana. Ya, jika bocah itu tidak hantu, harusnya bocah itu tinggal di rumah itu. Meskipun Riana juga tak terlalu yakin dengan dugaannya.

Anehnya bocah itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Seolah-olah berusaha meyakinkan Riana.

"Yakin? Nggak di sini?" Riana masih merasa curiga. Anak itu mengangguk penuh keyakinan.

Kalau bukan, apa anak ini juga diculik? Karena orang tuanya berhutang? Tadi kan anak ini nangis? Mungkin kabur? Tapi bingung jalan pulang? Kalau benar iya, kasihan sekali dia.

Riana menatap sedih bocah laki-laki dalam pelukannya itu. Dasar preman jahat!

"Ya udah. Kamu ikut Kakak aja ya? Mau kan?" tawar Riana yang langsung dibalas dengan anggukan kepala riang. Riana tersenyum lega melihat bocah itu tampak bahagia.

Secepatnya Riana membantu bocah itu keluar duluan melewati jendela. Setelah itu, barulah dirinya yang naik melompat keluar jendela gedung.

Yup! Berhasil! teriak hati Riana senang bisa melepaskan diri dari gudang mengerikan tadi.

"Ayok kita pulang," Riana menggandeng erat anak itu. Diajaknya bocah itu berjalan mengendap-endap keluar dari area itu.

Sambil bersembunyi, Riana memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Sepi. Tak ada penampakan orang sama sekali.

Apa para preman itu sedang keluar ya? Hmm, wajar sih. Ini kan udah siangan. Mereka pasti keliling cari setoran, pikir Riana.

Riana mencari-cari pagar utama untuk keluar. Pandangannya akhirnya bisa menemukan apa yang dicari. Namun, sulit baginya bisa keluar dari pagar utama itu karena ada empat penjaga di sana.

"Aaargh, ini susah," batin Riana kesal.

"Ng….Ng.….," bocah itu menarik-narik tangan Riana. Saat sudah mendapatkan perhatian Riana, bocah itu langsung menunjuk ke arah lain.

"Kemana? Kamu tahu pintu luar lainnya?" tanya Riana. Anak itu mengangguk mengiyakan.

"Oke, aku ikuti kamu."

Riana memberanikan diri mengikuti anak itu. Lagipula terlalu riskan juga baginya kabur lewat pintu depan. Rumah lintah darat seperti ini pasti diawasi ketat. Akan lebih baik jika dirinya lewat jalan lain.

Bocah itu membawa Riana menyusuri jalan di belakang gudang. Sebuah jalan setapak rapi yang melewati semak-semak cukup tinggi. Setidaknya cukup tinggi untuk menutupi tubuh mereka berdua.

Butuh waktu setidaknya 15 menit bagi mereka menemukan pintu keluar. Riana pun tak menyangka bocah itu akan tahu jalan belakang seperti ini. Mungkin anak itu sudah sering mencoba kabur. Jadi cukup paham lingkungan rumah ini.

Bocah itu menarik gerendelan rantai besi yang melingkari pagar besi itu. Riana mencoba membantunya.

KLANG! Suara besi terdengar nyaring.

"Ah! Itu ada suara! Ayo cepat ke sana!" sebuah teriakan terdengar jelas.

Riana langsung menggendong bocah itu dan mengajaknya berlari bersembunyi di belakang pohon mangga. Di menit selanjutnya tampak beberapa pria datang. Salah satunya adalah pria yang memimpin penculikan dirinya.

CEGUK!

"HUK!" Riana menutupi bibirnya. Karena terlalu kaget dirinya jadi cegukan dengan keras.

"Siapa itu?" sebuah suara terdengar jelas bagaikan petir menyambar di siang hari.

Ah! Sial! Kenapa juga aku harus cegukan keras, ratap Riana dalam hati.

Tap… tap… tap….

Riana mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan erat Riana memeluk bocah laki-laki itu. Tolong, jangan sampai ketahuan, doa Riana dalam hati.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rin Si
love the best
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status