"Jika sampai akhir bulan ini kamu belum bisa setor tulisan untuk project game kami, dengan terpaksa kami akan menghentikan kontrak kerja," begitulah peringatan ultimatum dari atasannya saat rapat tim internal di kantor sore hari sebelum Riana pulang ke rumah.
Sebuah peringatan yang membuat hatinya goyah dan terluka. Sejauh ini, semenjak lulus kuliah, satu-satunya ladang penghasilannya adalah dari tulisan. Semua tulisannya selalu menjadi satu-satunya mata pencahariannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pengobatan ibunya di rumah sakit.
"Kalau aku dipecat, aku cuma bisa dapat penghasilan dari editing dan web novel. Aaah, pusing!" Riana membentur-benturkan kepalanya ke meja saat dia memutuskan tetap mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah hingga larut malam.
Riana memandangi laptopnya lagi. Hari ini dia harus menyelesaikan deadline tulisannya. Berulang kali dia menghembuskan napas panjang.
"Nggak ada yang bener," keluh Riana gundah. Pikirannya sangat frustasi memikirkan SP dari leader timnya di kantor tadi.
Krek!
"Hmm?" gadis berambut panjang bergelombang itu berhenti membenturkan kepala. Terdengar suara beberapa orang laki-laki di dalam rumahnya.
"Perasaan tadi udah kukunci semua pintunya," gumamnya," Apa maling?"
Bulu kuduk belakang leher Riana berdiri. Hawa merinding dan takut mulai menyerangnya. Jika benar itu maling, dirinya dalam bahaya. Hanya ada dia saja di rumah tua peninggalan keluarga ibunya itu.
Dia segera mengambil raket nyamuk. Dipegangnya erat-erat raket nyamuk itu sambil keluar kamar. Dia berharap apa yang didengarnya hanyalah imajinasinya belaka.
Pelan… pelan… dan perlahan dia berjalan menyusuri lorong rumah menuju ruang tamu. Semua lampu ruangan masih mati. Sama seperti sebelumnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain selain dirinya.
"Huft… kayaknya cuma pikiranku aja," Riana menceklekan saklar lampu agar lampu ruang tamu menyala.
Sesaat setelah lampu menyala, seseorang memegang pundak Riana. Membuat Riana tercekat kaget dan mengayunkan raket nyamuk yang sudah ditekan tombol on-nya ke arah belakang. Teriakan Riana berpadu dengan suara teriakan kesakitan orang di belakangnya. Ditambah suara petir sebagai backsound peristiwa.
Pandangan Riana menangkap tiga orang pria berada di belakangnya. Salah satunya sedang kesakitan karena raket nyamuknya.
"Kau…!" pandangan tajam dengan aura membunuh dilayangkan tepat pada Riana. Menghujam tajam membuat Riana sangat ketakutan.
"Ma-maaf…. Aku…. Aku….," belum sempat Riana menyelesaikan perkataannya, laki-laki itu sudah menghampiri Riana dan menjambak rambut panjangnya. Membuat Riana semakin ketakutan dan juga kesakitan.
"Maafkan aku…," pinta Riana di tengah rasa kesakitannya. Matanya sudah berkaca-kaca menahan rasa takut.
"Maaf katamu?" laki-laki itu masih memandangi Riana dengan tatapan tajam. Beberapa saat kemudian, tatapan itu berubah menjadi tatapan penuh kekagetan.
"Kamu…?" Laki-laki itu menatap Riana seolah pernah mengenal dirinya.
Riana ikut menatap wajah laki-laki muda itu. Wajahnya memang terlihat galak. Ditambah dengan tatapannya yang tajam seperti sebilah pedang samurai. Hanya saja hal itu tak mengingatkan apapun pada diri Riana tentang seseorang yang dikenalnya.
Laki-laki itu menghempaskan Riana hingga jatuh ke lantai. Senyum seringai terpampang jelas di wajahnya. Dia duduk di kursi ruang tamu diikuti dua orang lainnya yang menurut dugaan Riana adakah anak buahnya.
"Kamu anaknya Dibyo bukan?" tanya laki-laki berwajah tampan itu. Riana masih ketakutan sehingga tak bisa bersuara. Dia hanya bisa menganggukkan kepala menjawab pertanyaan itu.
"Ayahmu punya hutang ratusan juta padaku. Sekarang sudah jatuh temponya. Aku mau menagih," jelas laki-laki itu.
Kedua mata Riana membelalak lebar. Tak percaya dengan yang didengarnya barusan.
"Aku akan mengambil rumah dan tanah ini sebagai jaminan. Meski tempat ini tetap tidak bisa menutup hutangnya," laki-laki itu berdiri lalu mendekati Riana lagi," Tapi aku bisa menjualmu."
Rasa takut Riana semakin memuncak. Jual katanya? Riana tak bisa membayangkan dirinya dijual karena hutang ayahnya.
"Tapi… tapi aku udah nggak tinggal lama dengan ayahku!" tolak Riana. Sejak, lulus kuliah, ayahnya pergi menghilang entah kemana. Tak ada yang tahu rimbanya. Karenanya dia harus hidup mandiri untuk menghidupi dirinya dan ibunya yang sakit-sakitan.
"Siapa yang peduli. Itu urusanmu. Urusanku hanya menagih hutang ayahmu," laki-laki itu merenggut kedua pipi Riana dengan kasar," Dengar baik-baik, aku hanya ingin semua hutang ayahmu lunas. Selain itu, aku tidak mau tahu."
Riana mencoba berpikir cepat. Dia tak ingin dijual oleh laki-laki itu. Otaknya tak bisa membayangkan reaksi ibunya jika tahu dirinya menjadi seorang wanita penghibur.
"Iya! Iya! Akan kubayar! Tapi jangan jual aku! Aku mohon!" teriak Riana. Kedua matanya terpejam menahan rasa takut dan putus asa.
"Hmm… kau bisa apa?"
"Hah?" Riana tak mengerti maksud laki-laki itu.
"Kau bisa apa untuk membayar sisa hutang ayahmu?"
Riana terdiam. Satu-satunya keahliannya hanyalah menulis. Tak ada yang lain. Hanya menulis dan mengerjakan pekerjaan rumah.
"Aku… aku nggak punya banyak keahlian. Aku hanya seorang penulis. Gajiku nggak banyak. Tapi aku bisa bersih-bersih rumah," tutur Riana," Apa aku bisa jadi pembantumu saja? Aku akan membersihkan seluruh rumahmu tiap harinya secara gratis sambil tetap bekerja sebagai penulis. Bagaimana?"
Riana sudah tak tahu lagi harus bernegosiasi seperti apa. Hanya itu saja yang terlintas di otaknya. Dirinya tak sekompeten itu untuk membayar banyak hutang. Yang tersisa hanyalah semangatnya untuk tetap bertahan hidup dengan cara yang layak. Yang penting jangan sampai aku dijadikan wanita malam! tekad Riana.
"Hah? Pembantu katamu?" laki-laki itu mengulangi lagi ucapan Riana.
Gadis berkacamata itu menganggukkan kepala sekuat tenaga. Berharap laki-laki itu mempercayainya.
"Aku akan menjadi pembantumu sampai hutangnya lunas. Kamu bisa pegang ucapanku! Aku nggak bakal bohong! Nggak bakal lapor polisi juga," Riana masih berusaha meyakinkan laki-laki itu.
"Hmm," laki-laki itu memandangi wajah Riana lagi. Pandangan yang dalam seperti sebelumnya.
"Aku mohon! Jangan jual aku! Ibuku dirawat di rumah sakit. Aku harus menjenguknya tiap hari," Riana menangis putus asa.
Laki-laki itu melepaskan tangannya dari wajah Riana lalu berkata," Bawa dia ke mobil."
Kedua pria berotot dan berbadan besar mengangguk patuh. Mereka mendekati Riana. Bersiap menjalankan perintah laki-laki itu.
Riana ingin lari tapi kakinya terlalu lemas. Dia merangkak menjauh. Tangannya melemparkan barang-barang yang ada dalam jangkauannya ke arah dua pria besar besar itu.
Meski begitu, sekuat apapun Riana berusaha, kedua pria itu tetap berhasil menangkapnya. Riana masih meronta dan memukul sekuat tenaga agar bisa terlepas. Namun, kedua pria itu berhasil menekuk dirinya. Mereka mengikat tangan dan kaki Riana. Tak lupa memplester mulut Riana agar tak lagi mengeluarkan suara berisik.
Setelahnya, salah satu di antara dua pria itu membopong Riana masuk ke dalam mobil hitam yang sudah terparkir rapi di halaman rumahnya. Dengan kencang, Riana dilemparkan ke kursi penumpang. Tubuh Riana rasanya remuk. Dalam hitungan menit, tubuhnya terhempas berulang kali dan kesakitan. Dia masih berusaha menggeliat agar bisa kabur. Namun, semuanya sia-sia. Yang ada hanyalah tubuhnya yang kelelahan dan akhirnya tak sadarkan diri sesaat setelah mesin mobil dihidupkan.
Sayup-sayup terdengar suara tangisan. Sesekali suara itu tertahan. Seolah takut ada yang mendengarnya."Hmm? Siapa yang nangis?" Riana membuka mata. Tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama tak sadarkan diri.Kepala Riana menoleh ke kiri dan ke kanan. Sambil berpikir, Riana mencoba mengenali tempat baru yang dihuninya ini.Ah, iya. Semalam ada penagih hutang ke rumah.…. Dan aku diculik sekarang.Riana menundukkan kepala lemah. Menyadari nasib buruknya akan bertambah buruk lagi setelah ini.Suara tangisan yang membangunkannya tadi terdengar lagi. Asalnya dari balik jendela. Kali ini semakin kencang. Membuatnya jadi penasaran."Siapa?" panggil Riana. Tak ada cara apapun yang bisa dilakukan Riana selain bertanya. Kedua tangan dan kakinya terikat. Hanya lakban di mulutnya yang dilepas.Suara Isak tangis itu berhenti sesaat. Membuat hati Riana jadi gusar."Tadi itu manusia kan ya?" gumam Riana sambil celingukan. Tempat dia berada cukup luas. Sayangnya diisi oleh kardus dan peralatan rumah y
"Meow.…," seekor kucing putih melompat dari sisi Riana."Oh, kucing ternyata, Bos," teriak salah seorang dari mereka.Haaah, Riana menghembuskan napas lega. Tak menyangka keberuntungan naik dengan baik hari ini.Gerombolan preman penagih hutang itu mulai berjalan menjauh. Saat sudah yakin situasi benar-benar aman, Riana langsung melepaskan pelukan eratnya dari bocah laki-laki di pangkuannya itu."Kita sudah aman. Ayok! Waktunya kabur," Riana dengan riang menggandeng anak itu. Tentunya dengan sangat bahagia, anak itu mengikuti langkah Riana.BRUK!Riana menubruk sesuatu beberapa saat setelah keluar dari persembunyiannya."Ugh! Sakit!" Riana memegangi hidungnya yang terasa perih akibat tabrakan tadi."Sudah kuduga ada kucing lain di sini," sebuah suara familiar yang terdengar membuat Riana merinding seketika.Tampak pria penculik dirinya beserta dua orang anak buahnya berdiri di hadapan Riana. Pandangan tajamnya semakin tampak jelas dibanding kemarin malam saat pertama kali mereka berte
"Ma, makan ini," Rafa menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Ma!" Riana tergelagap dari lamunannya."Oh, iya, Rafa. Ada apa?""Makan ini," Rafa masih setia menyuapkan roti isinya ke mulut Riana."Haem," Riana memasang wajah bahagia sambil mengunyah roti pemberian Rafa."Enak, Ma?""Iya. Enak. Mama suka," Riana terus memasang wajah senyum. Padahal hatinya sedang gundah gulana.Sudah hampir dua minggu dirinya tak menemui ibunya di rumah sakit. Padahal, tiap sore atau malam, dia pasti mengunjungi ibunya. Riana ingin sekali bisa keluar dari rumah ini. Lari keluar dan menuju rumah sakit menemui ibunya.Ibu, maafin Riana….Rafa yang sedari tadi menangkap raut sendu Riana jadi ikut sedih. Akan tetapi, bocah itu tak tahu apa yang terjadi pada Riana."Mama kenapa sedih?" akhirnya Rafa melontarkan rasa penasarannya.Riana hanya menoleh. Sesaat dirinya bingung kenapa Rafa bisa bertanya seperti itu padanya."Mama dari tadi cuma hembusin napas doang. Makanan di piring nggak dimakan sama sekali. M
"Riana?" panggil Ibu Riana."Ah, Ibu…." Riana secara otomatis berlari menghampiri ibunya. Walaupun sekarang pikirannya acak adul tak karuan. Dia harus tetap bisa tersenyum. Jangan sampai ibu khawatir, tekad Riana.Sebuah pelukan hangat Riana dapatkan dari ibunya. Sangat hangat. Membuat air mata Riana meleleh perlahan."Aduh, kenapa kamu nangis? Ibu kan sehat!""Hmmm, nggak Bu. Mata Riana cuma kena debu," Riana mengusap air matanya."Anak kecil ini siapa?" ibu Riana menatap Rafa yang bersembunyi di belakang rok tutu hitam panjang Riana."Namanya Rafa, Bu. Ayo Rafa kenalan sama Nenek," Riana mendorong pelan Rafa agar mendekat ke ibunya."Halo Rafa," sapa ibu Riana ramah."Halo Nek. Aku Rafa. Salam kenal," Rafa meraih tangan ibu Riana dan menciumnya. Membuat ibu Riana tergelak dalam tawa."Nenek mamanya Mama?" tanya Rafa membuat ibu Riana mengerutkan dahi."Mama? Maksudmu Riana?" ibu Riana menunjuk Riana. Rafa mengangguk kuat.Riana menggelengkan kepala dan berbisik pelan," Anak bos."Ib
"Masuk," perintah David.Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?"Mana Joni?""Masuk sekarang atau kutarik paksa?" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan."Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?""Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa.""Ibu sehat berarti?""Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya.""Kamu suka dengan ruangannya?""Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih. “Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku.""Sudah kubilan
Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana."Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa."Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana."Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa."Suaminya Riana ya?" tanya Jo."Iya,” jawab David tanpa ragu."Bukan!" jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal."Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil ini? "Ayo pulang. Om
David menarik Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.TUK!Sesuatu menyentuh kepalanya.TUK! TUK! TUK!Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapanny
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana."Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?""Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana."Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah