“Apa yang disampaikan oleh Verdi tak sepenuhnya benar,” Rajha mulai bersuara. “Jika aku dipersoalkan karena mempekerjakan orang-orang yang berasal dari negaraku – seperti yang dituduhkan Verdi – pertimbangannya adalah benar-benar profesionalitas.”
Semua orang terdiam. Beberapa orang seperti Renty dan Edwin nampak manggut-manggut seolah memahami betul konteks permasalahan yang ada. Rania tahu, mereka adalah tipe yes-man yang akan selalu mengiyakan apa saja yang dikatakan Rajha sebagai General Manager.
“Ucapan Mr. Rajha benar.”
Betul kan? Kata Rania dalam hati. Ia melirik ke orang yang tadi berkata demikian, dan melihat Renty di sudut lain. Mendadak Rania teringat peristiwa hari Sabtu pagi, hampir sebulan lalu ketika memergoki wanita itu bersama Rajha melakukan hal yang tidak semestinya di ruang kerja General Manager.
“Hanya para profesional yang bek
“Kita bicarakan kasus ini secara terpisah pada waktu dan kesempatan berbeda.”“What?” Verdi nampak kaget. Kekagetan yang sama ditunjukkan para manajer lokal yang ada di ruangan.“Anda dengar ucapan aku tadi kan? Kita akan bicarakan kasus ini secara terpisah pada waktu dan kesempatan berbeda.”“Anda tidak ingin kasus ini terselesaikan?”“Absolutely. Tapi bukan sekarang ini.”“When?”“Pada kunjunganku berikut,” jawabnya santai. “Entah kapan.”Verdi langsung lesu. Tidak perlu menjadi seorang yang jenius untuk mengerti makna ucapan Lakshmanan tadi. Kasus yang diungkit oleh Verdi dalam pertemuan ini, ternyata tidak ditanggapi serius.“Aku memahami kekecewaan.... maaf, siapa namamu tadi?""Verdi.""Aku memahamimu, Verdi. Tapi, aku harus mengejar pesawat sore ini.”&n
Betul, pria itu tak bisa lagi mengancam dirinya sejak Edwin sebagai atasannya menolak dan bahkan merobek laporan mengenai kondisi klepto yang ia alami. Pria jahat itu sudah menyerah. Tapi faktanya kini adalah bahwa ia sudah merasa tercemar.“Mengapa diam?”Tak tertahankan, setitik air akhirnya bergulir. Menganak sungai di pipi. “Aku…. Tidak tahu.”“Tidak tahu?” Verdi nampak bingung. “Kissing di Bangkok tempo hari, itu bukan cinta?”“Aku tidak tahu, Verdi,” Rania menggeleng cepat. “Semua ini terlalu cepat bagiku. Yang kulakukan di Bangkok, bisa saja itu hanya sekedar sikap emocional sesaat. Jadi, tak perlu terlalu disimpan di dalam hati.”*Sejak berjam-jam tadi rupanya sebuah pesan chat masuk di ponsel dan baru Rania baca saat itu. Mulutnya seketika menggurat senyum. Terry mengirim sebuah pesan chat joke. Joke ata
Walau dituduh gagal dan dianggap bertanggungjawab oleh pihak perusahaan dalam melakukan teknis pekerjaan, seluruh karyawan dapat dengan mudah memahami bahwa penyebab utama permasalahan bukan di situ. Masalah utama adalah ketegasan sikap Verdi saat dengan tegas hendak membongkar kebusukan nepotisme yang terjadi. Harapan karyawan lokal yang memimpikan persamaan hak dengan tenaga kerja asing, pada akhirnya harus ikut terkubur seiring dengan akan hengkangnya Verdi dari posisinya selama ini.Email balasan dari pesan perpisahan Verdi yang mengungkapkan simpati dan pujian terus berdatangan. Semuanya masih belum sepenuhnya ia baca ketika Verdi mulai melakukan pamit dengan mendatangi rekan kerja satu per satu. Ini benar-benar merupakan momen yang mungkin tidak akan dapat ia lupakan seumur hidup. Beberapa karyawan wanita malah begitu emosional sehingga tidak sanggup lagi membendung air mata tanda perpisahan. Verdi nampak mencoba sekuat tenaga untuk
Kasus perekrutan Verdi terbilang canggih. Mereka bukan hanya sekedar datang dan membujuk. Mereka sabar menunggu waktu yang tepat sambil mencari info dari orang dalam. Ketika waktunya memungkinkan, proses perekrutan pun terjadilah. Dimulai dengan sekedar mengobrol di cafe atau makan bersama, calon kemudian ditawarin pekerjaan di tempat lain lengkap dengan gaji dan fasilitas yang akan didapat.Semuanya berjalan cepat dan di luar dugaan.*Saat berkeliling untuk mengucap salam perpisahaan, Verdi pun bertemu Renty. Spontan Verdi mengulurkan tangan.“Selamat tinggal,” katanya.Renty menampik.“Aku nggak mau berpura-pura sedih,” katanya. “Aku justeru senang pengacau seperti kamu meninggalkan perusahaan.”Renty menatap tajam yang kemudian dibalas Verdi dengan sebuah kedip nakal. “Aku juga senang bisa
Tidakkah para pria-pria mengerti bahwa ia tidak bermaksud menjalin asmara hanya untuk keindahan sesaat? Bagi gadis dengan didikan dan pandangan konservatif seperti Rania, pandangan tersebut bisa terdengar aneh. Usang. Kolot. Tapi, memang seperti itulah dirinya. Saat yang muncul kemudian adalah wajah Ditya dan Carl, situasi justeru jadi lebih buruk. Rania sampai setengah mati harus menekan rasa amarah yang mendadak meluap dari hati.Rania ragu. Berada di persimpangan takkan pernah menjadi pengalaman manis. Dalam masalah yang satu ini selalu terbukti ia butuh waktu amat lama sebelum kemudian bangkit dari keterpurukan hati, bersikap tegar, dan merajut jalan hidupnya kembali. Kini ia dihadapkan dengan kasus yang sama. Dan jika ia boleh jujur, rasanya ia tidak siap. Rania merasa bahwa ia mungkin adalah pembelajar yang bodoh yang butuh waktu sangat lama untuk bangkit dari keterpurukan serupa.“Dengan aku jadi pacarmu kita bisa having fun
Vonny.“Ada apa?““Biskuitnya sudah dicicipi?“Kening Rania berkerut. “Ya ampun, dalam kondisi begini kamu masih menanyakan makanan?““Memang nggak boleh?“ Vonny nampak bingung.“Saat ini nggak!“ Rania menjawab sedikit ketus.“Tapi, biskuit itu perlu dicicipi.““Sudahlah!“ Rania berdecak. “Jangan ganggu aku. Apalagi soal makan-memakan makanan. Kalau kamu mau, bungkus dan makan saja sendiri. Mengerti?“Heran. Kendati Rania nampak emosional, Vonny tetap bergeming di tempatnya.“Rania, biskuit itu adalah produk baru perusahaan ini. Bukankah kamu sendiri sebagai salah satu panitia yang meminta agar setiap karyawan mencicipi dan kemudian mengisi daftar isiannya mengenai rasa, teksur, aroma, struktur kemasan, dan lain-lain?“Benar juga. Rania malu sendiri.“Ma
Rania memeriksa laptop sesaat sebelum kembali berbicara di telpon."Nggak ada!"Decak kesal suara Vonny terdengar lantang di gagang telpon dalam genggaman Rania. "Kamu tunggu deh sebentar. Ada email pentiiiiiing buat kamu.""Seberapa penting sih, Von?""Ini pentingnya pake banget. Tungguin sebentar ya.""Koq galakan kamu sih? Tapi," suara Rania terhenti. "Nah, ini emailnya baru masuk. Yang judulnya restrukturisasi?""Iya! Iya! Iya!"Rania menjauhkan telpon dari telinganya sebelum kemudian mulai berbicara kembali. "Kamu mau bikin aku tuli? Jangan pake teriak dong.""Aduh tolong langsung dibaca deh.""Nanggung. Aku lagi ada kerjaan lain.""Aduh please. Jangan tunda lagi."Rania mengalah dan langsung mengakhiri pembicaraan. Merasa bingung dengan ulah Vonny dan pesan apa yang disampaikan ia lantas mengikuti permintaan itu. Tugas menginvetarisir order untuk sementara ia tunda dulu.
Sebuah sedan hitam bergerak keluar dari barisan parkir. Melihat kecepatannya yang langsung melonjak, pengemudinya nampak kurang awas atau kurang hati-hati. Sebuah sedan hatchback biru metalik yang melaju pelan di depannya dalam waktu singkat akan segera tersambar bagian depannya. Pengemudi sedan hitam yang melihat kedatangan sedan biru refleks menekan pedal rem. Tapi tak urung, bagian depan kendaraan yang ditumpangi sempat menggores kaca belakang mobil biru.Suara kaca yang terburai pecah segera menyadarkan pengemudi sedan hitam. Diliputi rasa bersalah dan tanggungjawab dengan cepat ia melepas safety belt dan keluar dari kabin mobil.“Maaf,“ katanya buru-buru. Pengemudi sedan yang ia tabrak nampak bersiap keluar kendaraan, “semua ini kesalahan aku. Aku akui ini memang...“Ucapannya terhenti ketika melihat pengemudi sedan biru tadi.“Rania?“Rania sendiri juga ti