"Tu .. Tuan Hanley, apa yang Anda lakukan di sini?" Bukannya bersyukur, Adrie tentu saja ketakutan melihat kehadiran pria itu.
Hanley berjalan santai menuju meja gadis itu. "Seperti yang baru saja kukatakan, aku datang untuk membantu pekerjaanmu." "Tidak perlu, Tuan, saya bisa sendiri ...!" Melihat sikap santai Hanley, mengingatkan Adrie pada sosok Ashley yang tampan namun bersikap kejam seperti iblis. Adrie pun sontak bergerak mundur, tubuh rampingnya terhuyung hingga kursi di belakangnya terbalik dan jatuh. "Akhh ....!" Dia berteriak kecil dengan ulahnya sendiri, membuat kening Hanley berkerut. 'Dia yang salah, dia yang berteriak,' pikir Hanley. 'Huh wanita memang suka playing victim.' Hanley berjongkok, meraih kursi dan meletakkannya pada posisi semula. Demi apa coba, Hanley benar-benar merendahkan diri di hadapan seorang bawahan. "Ada apa denganmu, apa di matamu aku terlihat seperti penjahat?" Hanley sedikit protes. Meski tidak terima dengan sikap Adrie, namun dia tidak menunjukkan rasa tidak sukanya. "Aku datang dengan niat baik, aku tidak tega melihatmu menghadapi kesulitan, makanya aku putuskan untuk kembali dan membantumu, apa ada yang salah dengan perbuatanku?" Hanley bertanya dengan penuh perasaan berharap gadis di depannya merasa nyaman dan membuka diri. Adrie hanya bisa menunduk. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ketakutan jelas terlihat di wajahnya, tapi dia tidak berani menghindar. Mungkin trauma dalam dirinya belum sepenuhnya hilang, hingga tidak terbiasa menghadapi seorang pria di sisinya. Di saat ketakutan itu menguasai pikirannya, perkataan sang bibi yang selalu memberi semangat kembali terngiang-ngiang. "Tidak semua laki-laki itu bersikap jahat. Mungkin saat ini kamu belum menemukannya, tapi suatu hari nanti, bibi yakin akan ada seorang pria yang datang mengobati luka dalam hatimu." Sejak kecil, Adrie memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sosok pria, terutama sang ayah yang kerap berlaku kasar padanya. Meski orangtuanya masih lengkap, tapi dalam kehidupannya, Adrie seperti tidak memiliki ayah ibu yang mampu menjaga dan mengayominya dengan sepenuh hati. Hingga pelecehan itu terjadi, Adrie bukannya mendapat dukungan moral dari keluarganya. Gadis malang itu justru dikucilkan, membuatnya terluka secara fisik dan mental. "Duduklah ...!" Hanley menyuruh. Tekadnya sudah bulat, alih-alih berniat pergi, dia justru mengambil sebuah kursi untuknya. "Tenang saja, aku akan duduk di depan mejamu. Jika sekali saja aku bersikap kurang ajar, angkat komputer ini, lalu pukul kepalaku, kamu paham!!!" Bibir Adrie masih terkatup rapat, tapi ekspresi takutnya perlahan memudar. Dia juga mulai menggerakkan tangannya, siap melanjutkan tugas-tugas yang tertunda. Hanley pun mulai membantu pekerjaan gadis itu. Tanpa persetujuan Adrie, Hanley menarik berkas-berkas dari hadapan bawahannya itu. "Kali ini Mery sungguh keterlaluan, melimpahkan semua pekerjaan ini pada anak baru," umpat Hanley dengan suara kecil. Agar Adrie tidak ketakutan, Hanley juga menahan diri untuk tidak melirik gadis itu. Mereka membagi pekerjaan dan mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Sepuluh menit menuju pukul 9 malam, pekerjaan Adrie akhirnya selesai juga. Sambil menyandarkan tubuh letihnya, dia menghembuskan napas lega. "Akhhh ... akhirnya selesai juga," ucap Adrie pelan sembari memejamkan mata. Kepuasan Adrie menjadi satu kesempatan bagi Hanley untuk mencuri pandang pada gadis di depannya. "Cantik ... sangat cantik," gumamnya pelan, meski terlihat kelelahan, wajah gadis tanpa riasan itu masih saja mempesona, membuat Hanley terkagum-kagum. Entah pikiran apa yang mendasarinya, Hanley seketika memimpikan Adrie menjadi miliknya. Mereka menikah dan memiliki banyak anak. Oh manis sekali. Tak berselang lama, dua orang wanita mengetuk pintu ruangan itu. Adrie sontak membuka kelopak matanya yang letih dan menatap ke arah pintu. Bersamaan dengan itu, lamunan Hanley pun buyar seketika. Mimpi indahnya juga terbang jauh ketika Adrie menawarkan diri. "Saya akan membukakan pintunya, Tuan." "Hmmm ...," ucap Hanley pasrah. Di depan pintu, Adrie menatap heran pada kedua wanita yang sedang membawa beberapa box makanan. "Kami ke sini untuk mengantarkan makanan ini, Nona," salah satu wanita itu menjelaskan. Adrie tidak langsung menerima, dia lebih dulu menoleh pada Hanley. "Cepat ambil, Adrie, aku sudah lapar!" tukas Hanley tanpa memberi penjelasan. Perintah keras dari Hanley menyadarkan Adrie bahwa atasannya juga telah melewatkan makan malam hanya demi untuk membantunya. Sepercik perasaan aneh melintas dalam benak Adrie, kenapa Hanley yng terkenal dingin itu harus berkorban sebanyak ini untuknya? "Ayo ambil, apa lagi yang kamu pikirkan!" Hanley mendesak. "Tidak usah ragu, aku sudah membayar semuanya!" "Ah ... baik, Tuan." Adrie segera membawa pesanan makanan itu dan menyajikannya untuk Hanley. Tidak lupa, dia juga menuangkan segelas air untuk atasannya itu. "Kenapa hanya satu yang kamu sajikan?" Hanley protes lagi. "Aku pesan dua porsi, itu artinya yang satunya lagi untukmu." Adrie menjadi kikuk dibuatnya. Bukan tidak paham, dia hanya merasa tidak pantas untuk mendapatkan perhatian sebanyak itu. Pertama, sudah mendapatkan bantuan gratis, sekarang apalagi ini? Dinner with the big boss. "Saya makan di rumah saja," Adrie berusaha menghindar. "Sekarang lebih baik saya pulang, Tuan." "Setelah apa yang aku lakukan, kamu mau meninggalkanku begitu saja?" Hanley tidak terima. Dia sebenarnya ingin marah, tapi ketika melihat raut wajah Adrie yang ketakutan, dia kembali melunakkan ucapannya. "Setidaknya temani aku makan malam," kata Hanley setenang mungkin. "Ayolah, ini tidak beracun, makanan ini higenis dan tidak terkontaminasi dengan apapun seperti yang kamu pikirkan." Karena tidak ingin membuat atasannya marah, Adrie pun mengalah. Perlahan, dia kembali menjatuhkan bokongnya di atas kursi, kemudian bertanya pelan, "Hanya makan malam kan, Tuan?" "Menurutmu apa lagi?" Sejenak Hanley terdiam, lalu tersenyum penuh arti. Setidaknya dia mulai paham dengan ketakutan dalam diri Adrie. "Aku tidak seburuk yang kamu pikirkan, Adriella Agatha." Di sela makan, Adrie sesekali melirik atasannya. Pun dengan Hanley, beberapa kali tertangkap mencuri pandang. Satu kali melihat Adrie membalas senyumannya, Hanley merasa lega dan langsung memberanikan diri untuk bertanya. "Adrie, apa sebelumnya kamu memiliki pengalaman buruk terhadap laki-laki? Kenapa kamu terlihat seperti menghindari para pria?" tanya Hanley dengan spontan.Dugaan Hanley sedikit terbuktikan. Dia memperkirakan Adrie mencoba melarikan diri karena sebelumnya telah meminta untuk berhenti dari pekerjaannya.Dengan penjelasan yang didapatkannya, Hanley pun berniat untuk membahasnya dengan Rauf. "Apa kamu bertemu dengan Adrie beberapa hari ini?" tanya Hanley usai makan siang. "Apa dia juga pernah meminta bantuan agar bisa berhenti bekerja?"Rauf tampak bingung. Kenapa Adrie harus melakukan itu padanya? Mereka tidak sedekat itu."Adrie tidak masuk kerja hari ini," lanjut Hanley dengan wajah yang terlihat serius."Dan kamu langsung uring-uringan?" Rauf mengejek Hanley yang sedang galau. "Baru satu hari, Bro, kenapa harus cemas seperti itu? Bisa saja Adrie sedang ada urusan penting dengan keluarganya.""Tapi masalahnya Adrie tidak memberikan alasan apapun, dan ini bukan sifatnya.""Sudahlah, jangan terlalu berpikiran negatif!" Rauf kemudian mengubah bahan pembicaraan. "Aku juga in
"Seseorang, tolong aku!" Adrie mulai ketakutan di tempat sempit dan gelap itu. Dia menyesal karena telah meninggalkan ponselnya di dalam laci meja.Adrie beberapa kali menjerit, tapi teriakannya sama sekali tak terdengar oleh orang di luar sana. Semakin berontak dan berusaha untuk keluar, semakin berkurang tenaganya. Selain itu, Adrie juga mulai merasakan dahaga di tenggorokannya. Pada akhirnya, Adrie terdiam lesu dan berdoa dalam hati agar seseorang datang memberikan bantuan padanya. *Malam telah tiba, tapi Adrie tak kunjung keluar dari kantor. Begitu yang ada dalam pikiran Hanley.Tidak ada lagi peraturan lembur untuk Adrie, ke mana dia pergi?Hanley yang sengaja menunggu di lobby mulai resah. Dia segera mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk menghubungi Adrie berkali-kali.Panggilan itu tersambung, namun tidak ada jawaban dari seberang sana."Apa Adrie benar-benar sudah pulang?" Sudah satu jam leb
Brakk.Secara kasar Mery meletakkan satu map di atas meja Adriella. "Cepat antar ini ke lantai 10. Karena dokumen ini sangat penting, nanti nona Stefani sendiri yang akan mengambilnya. Dia sudah menunggumu di sana, tepat di depan lift!" Setelah menyuruh Adrie, Mery langsung meninggalkan ruangan itu. Tidak ada basa-basi atau obrolan lainnya, dia hanya ingin Adrie secepatnya pergi dari hadapannya.Adrie yang menerima perintah bergerak dengan cepat. Tanpa melihat isi dalam map, dia menuruti ucapan Mery. Kata-kata tegas dan sorotan tajam wanita itu membuatnya tidak banyak bertanya.Pada saat berdiri di depan lift, Adrie sempat menoleh pada seorang pria yang sedang bekerja di sekitar area tersebut.Pria berambut sebahu itu menggunakan seragam cleaning service. Di tangannya juga terdapat alat kebersihan.Bukan hanya Adrie yang menatap. Secara bersamaan, pria itu juga menoleh ke arah Adrie, tapi adegan itu hanya terjadi sekilas saja me
Malam itu juga Hanley pulang ke mansion orang tuanya.Di ruang tamu, Hanley berpapasan dengan Ashley. "Wah ... kenapa kepalamu itu?" Bukannya bersimpati, Ashley justru menghina kakaknya. "Kualat mungkin ya, makanya jangan bersikap jahat pada adik sendiri!"Merasa malas untuk menanggapinya, Hanley tidak membalas. Dia berjalan cepat menuju kamarnya. "Pasti sedang menahan malu," Ashley terlihat senang melihat luka di kepala kakaknya. "Tapi kenapa dia ya? Apa dia baru saja berkelahi?"Penasaran, Ashley berencana untuk mengadu pada ibunya. Dia berharap mendapat penjelasan agar bisa merundung sang kakak.Namun melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, Ashley mengurungkan niatnya. "Besok juga pasti dilihat mommy, aku harus cepat-cepat bangun untuk sarapan besok."Keesokan harinya.Tepat pukul 6 pagi, Ashley sudah berada di meja makan. Dia menjadi orang pertama yang turun pagi itu. Sambil menu
Ketika membukakan pintu untuk Adrie, Rauf segera melirik waktu di dalam ponselnya. Matanya langsung menyipit melihat kehadiran wanita itu. Baru sekitar lima menit setelah Rauf mengirimkan lokasi pada Adrie. Kini wanita yang ditunggu itu sudah berada di depan mata."Apa kamu punya sayap, Adrie?" ledek Rauf pada wanita yang sedang khawatir itu."Maksudmu apa?" Adrie bingung, kemudian tanpa permisi menjulurkan kepalanya untuk melihat pasien yang sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.Itu benar-benar Hanley. Adriella langsung menerobos masuk ke dalam ruangan itu. "Apa yang terjadi dengannya?" Kecemasan terlukis jelas di wajah Adrie. Dia takut terjadi hal yang buruk pada Hanley. "Dia terjatuh di basement dan kepalanya terbentur tembok," ucap Rauf seperti yang diberitahu oleh security. "Hanley banyak mengeluarkan darah, tapi untungnya dia kuat, jadi tidak perlu donor darah."Pada saat Hanley dibawa ke rumah sakit, Ra
Hanley tidak ragu untuk mendekatkan dirinya pada Adrie. Apalagi setelah wanita itu membuka ponsel dan menerima sebuah pesan, Hanley benar-benar mencondongkan tubuhnya yang tinggi agar bisa ikut membaca pesan tersebut."Siapa Samuel?" Hanley tidak pernah tahu dengan siapa saja Adrie sering berinteraksi. "Kenapa dia menunggumu di luar? Apa dia ingin menjemputmu pulang?"Adrie segera memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menyesal sudah dia membuka pesan itu di dekat Hanley. Pria itu terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain.Adrie tidak tahu harus bagaimana cara menjelaskannya. Hubungannya dengan Samuel agak rancu. Pernikahan itu palsu. Adrie bisa saja membohongi Hanley dengan status itu dan rencana tersebut sudah menjadi bagian dari sandiwaranya. Namun kenapa mulutnya tiba-tiba terasa kelu untuk mengatakan semua itu?"Adriella, aku tanya padamu, siapa Samuel itu? Apa hubungannya denganmu?" Dia cemburu sekaligus marah. Adrie merasa t