Meski tidak sepenuhnya siap, Adrie tetap berdiri tegas. "Baik, Bu." Sebagai seorang asisten yang patuh, dia harus menunjukkan kinerja yang bagus.
"Aku mau keluar sebentar, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" Mery berkata lagi. "Semua dokumen ini sangat penting, jangan ada satu pun yang terlewatkan!" Adrie hanya mengangguk canggung, karena sejujurnya saat ini dia sudah mulai gelisah untuk melangkah. Bagaimana caranya menghadapi seorang pria tampan yang sering melempar tatapan amarah padanya? Adrie memeluk setumpuk berkas ketika Hanley membukakan pintu untuknya. "Maaf, Tuan, bu Mery menyuruh saya untuk mengantar berkas-berkas ini," kata Adrie dengan suara yang bergetar. Hanley tersenyum kecil, berusaha untuk bersikap ramah. Namun sehebat apapun dia menampilkan wajahnya yang bersahabat, Adrie masih saja gugup ketika mereka beradu pandang. Sikap Adrie yang demikian membuat Hanley bertanya-tanya. 'Apa aku semenakutkan itu?' pikirnya. Tidak ingin berburuk sangka, Hanley segera mempersilakan. "Masuklah, dan letakkan semua di atas meja!" suruh Hanley, kemudian menutup pintu dengan rapat. Adrie yang terlanjur masuk sontak menutup mata tatkala mendengar bunyi pintu tertutup. Dia memeluk erat dokumen di dadanya. Seketika kejadian 4 tahun lalu teringat kembali. Trauma dalam diri selalu membuatnya ketakutan. Bagaimana Ashley mengurung Adrie di dalam sebuah ruangan, lalu melemparkannya ke atas ranjang dengan cara yang kasar. "Tidak ... biarkan aku pergi!" Adrie berteriak kecil, namun terdengar jelas oleh Hanley, membuat pria itu keheranan. "Ada apa, apa yang kamu katakan tadi?" Hanley telah berdiri di depan Adrie. Wajahnya penuh dengan tanya. "Apa aku membuatmu takut?" Adrie membuka mata perlahan. Kebingungan di wajah pria itu membuatnya sadar. "Ma ... maaf, Tuan," ucap Adrie merasa bersalah, lalu menoleh ke arah pintu. 'Bisakah pintunya dibiarkan terbuka saja?' Adrie ingin mengatakannya, tapi tertahan dalam kerongkongan. Dia hanya bawahan, atas dasar apa dia mengatur atasannya? "Kamu takut karena aku menutup pintu?" Hanley yakin dengan pertanyaannya. "Baiklah, aku akan membiarkannya terbuka." Pertama kalinya Hanley mengalah, dan dia tidak mengerti apa yang mendasari pikirannya itu. Adrie segera meletakkan dokumen di atas meja, kemudian berkata sopan, "Bu Mery meminta dokumen ini untuk segera diperiksa dan ditandatangani!" Hanley tidak ingin memperpanjang lagi. Gadis di depannya terlihat tidak nyaman, bahkan seperti orang ketakutan. Hanley merasa seperti penjahat saja, dan dia tidak menyukai suasana ini. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Hanley melakukan seperti yang diminta Adrie. Secepat kilat, semua berkas ditandatangani tanpa dibaca terlebih dulu. "Terima kasih, Tuan." Ya, pergilah!" kata Hanley dengan ketus. Adrie buru-buru meninggalkan ruangan itu dan menutup kembali pintu. Sepeninggal Adrie, Hanley menjadi banyak berpikir. "Beraninya kau membuatku penasaran, Adrie." *** Meski mengagumi Hanley sejak lama, Mery yang juga berasal dari keluarga terhormat tidak pernah berani menunjukkan perasaannya pada sang atasan. Dia selalu bersikap professional setiap harinya. Ketika meninggalkan Adrie sendirian, Mery juga berpikiran jika Hanley tidak mungkin menjatuhkan pilihan hatinya pada seorang Adriella yang berasal dari kalangan bawah. Meski Adrie memiliki paras yang cantik, tapi wanita itu tidak termasuk pada standar keluarga Anderson. "Aku dengar kamu mempekerjakan seorang asisten, apa itu benar?" Stefani bertanya. "Ya, baru dua minggu ini, dan Hanley sudah menyetujuinya sejak awal," jawab Mery dengan tenang. "Gosip yang aku dengar asistenmu itu sangat cantik," Stefani dari divisi lain mulai menggoda ketika mendekati Mery. "Apa kamu tidak takut tersaingi?" "Apa maksudmu?" "Hanley bisa saja tertarik pada asistemu itu seperti karyawan lainnya." "Aku tidak punya pikiran ke arah sana," ucap Mery santai. "Jika sudah tidak ada urusan, aku pergi dulu." Mery hendak berbalik, tapi lengannya langsung ditahan oleh Stefani. "Kenapa buru-buru sekali? Aku bahkan belum bicara yang lain." "Adrie masih baru bekerja, dia masih sangat membutuhkan bimbinganku." "Oh ... jadi namanya Adrie." Stefani tersenyum sinis. "Kapan-kapan kenalkan dia padaku!" Mery berpikir sejenak, lalu mengangguk sopan. "Baiklah, aku pergi dulu." Mery sadar jika Stefani adalah wanita yang berambisi dan sudah lama berusaha mengejar cinta Hanley. Bahkan wanita itu kerap memintanya untuk melakukan hal-hal di luar nalar demi melancarkan aksinya untuk mendapatkan perhatian sang bos. Saat berjalan ke kantornya, ternyata Mery tidak bisa menepis perkataan Stefani. Ucapan wanita itu masih saja membekas dan kembali terngiang-ngiang. "Apa mungkin Hanley akan menjatuhkan pilihannya pada wanita seperti Adrie?" Mery bergumam kecil. Rasanya berat untuk menerima kenyataan itu. Dia tak kalah menarik dari Adriella. Mery mendorong pintu ruangan dan seperti biasa menemukan Adrie tengah sibuk di depan mejanya. Dengan kening berkerut Mery bertanya, "Adrie, apa kamu sudah melakukan yang saya suruh?" Baru sekitar 10 menit saja Mery telah kembali, dia tidak yakin asistennya itu sudah selesai mendapatkan tandatangan Hanley. "Sudah semuanya, Bu Mery," Adrie menjawab sambil menganggukkan kepala. Lagi-lagi Mery mengerutkan dahinya. Ini terasa mustahil baginya. Tidak biasanya Hanley memberikan tandatangan semudah itu. Dengan jumlah dokumen yang lumayan banyak, paling tidak butuh waktu setengah jam untuk memastikan semua itu. "Apa kamu yakin sudah semuanya? Tidak ada yang terlewatkan?" "Yakin, Bu." Mery berusaha menepis rasa curiganya. Sambil berjalan ke mejanya, dia memberi perintah lagi. "Kalau begitu tunjukkan semuanya pada saya, karena kamu masih sangat baru, mungkin saja ada kesalahan dan saya harus mengeceknya ulang!" "Baik, Bu." Adrie segera berdiri dan membawakan semua dokumen yang juga sudah diperiksanya secara berulang. Jari lentik Mery tampak cekatan ketika memeriksa setiap dokumen di atas meja. Dia hanya bisa tersenyum getir ketika dugaannya salah terhadap Adrie. Semua terlihat sempurna dan sesuai dengan yang diinginkannya. 'Bagaimana bisa semudah ini?' Mery bertanya dalam hati. Kepada dirinya saja, Hanley sangat teliti, kenapa terhadap Adrie yang merupakan anak baru begitu berbeda? "Bagaimana, Bu?" Adrie segera bertanya saat melihat atasannya merenung. "Jika ada yang salah atau kurang, saya akan memperbaikinya." "Tidak perlu." Mery sedikit iri. "Kerjakan saja tugas yang lain!" "Baik, Bu." Jam dinding menunjukkan pukul 4 sore. Adrie masih terlihat bersemangat mengerjakan semua tugas yang diberikan padanya. Satu jam yang lalu, Mery telah memberi perintah jika dia harus lembur, maka untuk itu, dia harus menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang asisten. "Apa kamu keberatan dengan jam lembur yang saya berikan?" Mery berbasa-basi. "Tidak sama sekali, Bu." Adrie menunjukkan senyum tulusnya. "Bagus kalau begitu." Di saat yang sama, Hanley pun keluar dari ruangannya. Biasanya, pria itu akan terlebih dulu membalas teguran Mery, namun karena tatapan Hanley langsung tertuju pada Adrie, Mery hanya bisa berdiri dengan mulut membisu. "Kalian belum mau pulang?" Hanley tiba-tiba perhatian, namun belum menyadari arti dari sikapnya. Sebagai bawahan, Adrie buru-buru berdiri. "Ah, iya, Tuan, saya masih banyak pekerjaan, jadi untuk hari ini harus lembur." "Lembur ...?" Sejenak Hanley melirik ke arah Mery, namun tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Bahkan tanpa kata-kata, pria itu langsung meninggalkan ruangan tersebut. Sementara itu, Mery juga buru-buru membereskan peralatannya. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Adrie, dia pun segera mengejar Hanley. Banyak pertanyaan di benaknya yang harus dikeluarkan hari itu juga. Tinggallah Adrie seorang diri di dalam ruangan itu. Tidak ada keluhan sedikitpun dalam dirinya. Justru semangatnya meningkat untuk segera menyelesaikan seluruh pekerjaan. Dibandingkan dengan keramaian, Adrie memang lebih suka menyendiri. Hal itu bisa meningkatkan fokusnya dalam bekerja. Di loby, Mery telah berhasil mengejar Hanley. "Hanley, apa aku bisa menumpang denganmu?" Di luar pekerjaan, Mery tidak selalu bersikap formal pada Hanley. "Mobilku baru saja masuk bengkel, mungkin besok baru diantar ke rumah." Bukannya menjawab pertanyaan Mery, Hanley tampak bingung dengan kehadiran sekretarisnya itu. "Kamu mau pulang juga? Tidak lembur?" "Ya, tentu saja." "Bagaimana dengan asistenmu? Bukankah dia masih baru, kenapa kamu meninggalkannya sendirian?" Sikap protes yang dilayangkan Hanley benar-benar membuat Mery iri. Kenapa Hanley harus peduli pada Adrie? Dan sejak kapan pria itu memberi perhatian pada karyawan biasa? "Dia itukan asisten yang aku gaji, ya sudah sepantasnya membantu semua pekerjaan yang tidak sempat aku selesaikan, itu sudah menjadi tugasnya, Hanley, sebaiknya kita pulang sekarang, aku sudah sangat lelah," Mery terlihat santai saat menjawab. Tidak ingin menciptakan spekulasi miring terhadapnya, Hanley pun mengiyakan. Keduanya berjalan menuju parkiran. Di dalam mobil, tidak ada percakapan serius yang terjadi di antara mereka berdua. Hanley lebih banyak menunjukkan sikap dinginnya membuat Mery urung bertanya. Dalam sekejap, mobil Hanley juga sudah berhenti di depan rumah Mery. "Terima kasih, Hanley," ucap Mery setelah keluar dari dalam mobil. "Ya," balasan Hanley begitu singkat. "Sampai ketemu besok." "Ya." Di kantor. Semua tidak sesuai dengan perkiraan Adrie. Kurang lebih satu jam berlalu, pekerjaan yang ditinggalkan Mery ternyata masih lumayan banyak. Dia juga kesulitan untuk menyelesaikannya seorang diri. "Bagaimana ini, apa aku telepon Bu Mery saja ya?" Adrie meragukan niatnya. "Tapi bu Mery pasti sedang istirahat sekarang, aku tidak boleh mengganggunya." Adrie menatap kembali tumpukan berkas di mejanya. "Lagian ini tugasku, aku digaji untuk membantu pekerjaan Bu Mery, jadi tidak boleh mengecewakan beliau." Di saat kekhwatiran melanda, Adrie mendengar suara langkah kaki menuju ruangan itu, selanjutnya pintu ikut terbuka. "Aku datang untuk membantumu, Adrie." Adrie segera menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pria tampan tengah berdiri dan tersenyum manis padanya. "Tu ... Tuan Hanley," ucap Adrie terbata-bata."Bagaimana jika aku hamil?" Adrie masih berada dalam pelukan Hanley. Keduanya masih sama-sama polos setelah percintaan panas itu.Mereka tidak menggunakan pengaman apapun. Sebelumnya, Adrie pernah hamil dengan hanya sekali berhubungan. Dia menjadi takut kejadian itu terulang lagi.Tidak seperti Adrie yang ketakutan, Hanley justru senang jika itu terjadi. Dia tersenyum, lalu menarik kepala Adrie untuk kemudian dicium dengan lembut, dan perlahan berubah menjadi panas.Adrie membiarkan Hanley hingga merasa puas. Sudah terjadi, jadi sulit baginya untuk menolak. Toh, mereka sama-sama menukangi. Tidak ada yang perlu disalahkan lagi selain orang-orang yang sengaja menjebak mereka.Setelah ciuman itu berakhir, Hanley berkata dengan bangga, "Aku berharap kamu segera hamil, dengan begitu kamu tidak punya alasan untuk menolak pernikahan denganku."Decak kesal terdengar dari mulut Adrie. "Jadi kamu ingin aku hamil tanpa pernikahan? Kamu ingin aku mengalami hal yang serupa untuk kedua kalinya?""T
Adrie menatap Sam dengan penuh curiga. "Apa yang kamu masukkan di minuman ini?""Apa yang kamu maksud?" Sam juga menatap heran pada Adrie. Wajah wanita itu memerah membuatnya penasaran. Tatapannya kemudian berpindah pada botol minuman di tangan Adrie."Aku tidak bisa menahannya," kata Adrie sambil mencengkram botol minuman di tangannya. "Pengaruh apa ini? Kenapa aku seperti ini?" tanyanya dengan suara melengking.Merampas botol itu, Sam kemudian menjawab. "Ini pasti kerjaan temanku, aku akan membantumu, Adrie, jangan khawatir."Sam segera merogoh ponsel Adrie. Dia tahu apa yang terjadi dengan wanita itu, jadi dia harus mencari obatnya sesegera mungkin.Setelah menemukan nomor Hanley, Sam segera menekan tombol hijau. Dalam sekejap panggilan itu tersambung.{Sayang, kamu di mana? Bisa kita bertemu sekarang?} Suara Hanley lebih menggebu-gebu ketika bertanya. "Ini aku Sam, Adrie sedang bersamaku sekarang," jawab Sam.Mobil Hanley tengah berada di pinggir jalan. Dia sedang menunggu Rauf
Terlalu sering mendengar kata-kata itu membuat Laila penasaran. Apa lagi ibunya selalu bersedih setelah mendengar kata-kata itu, dia pun tidak bisa diam dan ingin segera mengetahui arti di balik kata-kata itu "Lala juga pernah dengar dari tante Alisa kalau Mama itu korban pelecehan, itu artinya apa, Mama?" Laila bertanya dengan polos.Adrie terdiam lama. Matanya basah menatap sang anak. Haruskah dia menjawab pertanyaan itu?"Apa Mama bersedih karena pertanyaan Lala?" Laila ikut bersedih olehnya. "Tidak usah dijawab lagi, Lala juga janji tidak akan bertanya tentang itu lagi."Adrie segera mengulurkan tangannya untuk memeluk Laila. Dengan berderai air mata, dia mendekap putri kecilnya itu. "Kamu akan paham setelah kamu dewasa nanti," kata Adrie pada putrinya. "Sekarang tidak perlu pikirkan hal itu, yang terpenting adalah kamu bahagia bersama dengan mama." Di saat Adrie sedang membersihkan meja makan, dia menerima sebuah pesan da
Bagi Ashley, Adrie terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Wanita yang dikenal polos itu ternyata dengan mudahnya tidur bersama Hanley.Apa hal itu sudah sering terjadi? Ashley masih memikirkannya ketika pintu ruangannya terbuka dari luar. Dia segera menoleh pada wanita yang menggunakan blazer biru itu."Untuk apa kamu ke sini?" tanya Ashley. "Bukankah kamu sedang sibuk mempersiapkan pertunangan dengan Hanley? Aku tidak berpikir kamu bisa membagi waktu untuk menemuiku di kantor ini.""Jangan mengejekku seperti itu!" Mery berjalan mendekat. "Aku datang untuk menawarkan sesuatu padamu.""Apa yang kamu rencanakan?" Ashley dan Hanley telah membuat kesepakatan. Keributan di malam sebelumnya membuat Ashley terpaksa mengalah pada kakaknya. Terlepas siapapun yang dipilih Adrie untuk menjadi pasangannya, maka yang kalah harus berlapang dada untuk menerima kekalahan."Tentu saja tentang Adrie dan Hanley."Melihat keseriusan di wajah Mery, Ashley segera bangkit dan menuju sofa. Di sana, mereka
"Adriella itu bekasku, dia hanya pantas untukku saja."Satu kalimat itu membuat kesabaran Hanley menipis. Dia seketika menginjak pedal rem hingga mengakibatkan mobil berhenti mendadak.Ciiittt ...Beruntung jalan raya malam itu sedang sepi. Tidak ada bahaya setelahnya.Dengan amarah yang menggebu-gebu, Hanley turun dan mengitari mobil. Tepat setelah membuka pintu mobil untuk Ashley, dia berteriak pada adik bungsunya itu."Turun sekarang juga ...!" Perintah Hanley. Dia jengah berhadapan dengan Ashley. Selain itu, dia juga khawatir akan kembali menghajar adiknya ketika tidak bisa menahan diri. Ashley menatap sekelilingnya. Tempat itu tidak hanya gelap, tapi juga sunyi senyap. Tidak ada kendaraan yang lalu lalang, bagaimana mungkin dia setuju untuk turun dari mobil."Aku tidak mau," kata Ashley menolak. "Kalau kamu tidak mau diam, aku akan meninggalkanmu di sini," Hanley mengancam sebelum akhirnya kembali ke dalam mobil.Dalam kekesalannya, Ashley hanya bisa menyesal. Harusnya dia tida
Ketika Ashley dipersilakan masuk oleh Sam, ruangan itu gelap gulita. "Cepat hidupkan lampunya!" suruhnya pads Sam. Senyum Ashley terlihat bercahaya seiring hidupnya penerangan di ruangan itu. "Di mana kamar Adrie?" tanyanya kemudian, ekor matanya pun memperhatikan satu persatu ruangan di rumah itu. Dia tidak peduli dengan keberadaan Sam, fokus Ashley hanya tertuju pada Adrie saja. Secepatnya, dia ingin bertemu dengan wanita itu, mengatakan jika Sam tidak pantas menjadi suaminya. "Ada di ruangan paling tengah, Tuan," Sam menjawab sambil menunjuk satu ruangan. "Apa Adrie biasanya mengunci pintu kamar dari dalam?" tampak jika Ashley sudah tidak sabar untuk menemui wanita itu. "Kamu bukan suami yang pantas untuk Adrie, jadi jangan harap aku akan menghargaimu di sini, bahkan aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai pria yang telah menikahi Adrie!" Mengabaikan pernyataan itu, Sam memberikan penawaran, "Tuan, apa tidak sebaiknya Anda pulang saja, dan kembali besok?" Sam sediki