Hanley Anderson jatuh cinta pada Adriella, gadis cantik yang ternyata pernah dilecehkan adiknya 4 tahun yang lalu. Dari tragedi itu, Adrie yang sempat trauma juga telah melahirkan seorang anak perempuan. Kehadiran Hanley lambat Laun mengobati luka dalam diri Adrie, hingga dia mulai membuka diri, namun siapa sangka karena hubungan itu, kebencian keluarga Anderson pun semakin menjadi-jadi terhadap Adrie. Akankah Adriella sanggup bertahan dengan Hanley di tengah kebencian keluarga Anderson yang pernah memberikan tekanan besar pada kehidupan keluarganya?
Lihat lebih banyakHari itu adalah hari kelulusan anak SMA. Adriella aghata adalah salah satu alumninya.
Hari di mana semua siswa sedang berbahagia menyambut hasil pencapaian dalam tiga tahun terakhir, namun justru naas bagi seorang Adriella. Dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah itu, Adriella menjadi incaran banyak pria. Termasuk seorang pria muda bernama Ashley Anderson yang diam-diam merencanakan sesuatu hal yang buruk pada Adriella. Dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya, Ashley yang bukan warga daerah itu berhasil merenggut kesucian Adriella. Dengan tipu dayanya, Ashley berhasil membawa Adriella menuju sebuah gubuk, lalu melecehkannya hingga gadis malang itu berakhir mengandung tanpa seorang suami. Dalam duka itu, Adriella tidak hanya dikucilkan oleh warga, tapi juga diusir oleh keluarganya sendiri. "Kalau kamu tidak mau membuang anak haram itu, silakan kamu angkat kaki dari kampung ini, mulai detik ini kamu bukan bagian keluarga kami!" usir Markus, sang ayah yang turut jijik melihat putrinya sendiri. "Aku harus ke mana, Ayah, aku hanya punya kalian, tolong jangan membuangku seperti ini!" Adrie masih memohon, namun dalam sekejap mata, Markus kembali berlaku kasar. Gadis muda yang tengah hamil itu didorong dengan sangat keras. "Cepat pergi dari sini, aku sangat menyesal memiliki anak sepertimu!" "Ya, buang dia dari kampung ini!" teriakan dari sebagian warga juga bersahut-sahutan, mengharapkan Adrie segera meninggalkan tempat itu. "Kita tidak mau terkena sial karena kelakuannya," warga lainnya turut memprovokasi. "Enyah kau dari rumahku, anak pembawa sial!" Teriakan Markus, sontak membangunkan tidur Adrie. Dia juga sempat menjerit sebelum akhirnya terduduk lesu. Sembari mengatur napas yang tidak beraturan, dia bergumam pelan, "Hah .... mimpi itu lagi ...." Mimpi buruk itu sering muncul dan terasa nyata. Adriella menghapus keringatnya yang bercucuran. Semenjak kejadian itu, dia kerap mengalami mimpi buruk. Yah, tragedi 4 tahun yang lalu telah membuatnya trauma berat hingga sering menutup diri dari keramaian. Beruntung bagi Adrie masih memiliki Paramitha, seorang kerabat yang belum menikah telah bersedia merawatnya hingga saat ini. Setiap saat wanita paruh baya itu selalu berada di samping Adrie. Malam ini, teriakan ketakutan Adrie juga telah membangunkan tidur Laila dan Paramitha. Kedua wanita beda usia itu buru-buru berlari menuju kamar tidur Adrie. "Adrie, tenanglah!" Paramitha segera memeluk Adrie dan menenangkan gadis malang itu. Ini bukan pertama kalinya, tentu saja dia langsung paham akan ketakutan yang dirasakan Adriella. Ketika membalas pelukan bibinya, Adrie melirik Laila yang juga ikut terbangun malam ini. Wajah polos gadis kecil itu terlihat merengut. Pipinya menggembung karena tidurnya lagi-lagi terganggu. Selama ini, Adrie jarang terlibat langsung mengurus Laila, karena kehadiran gadis kecil itu kerap mengingatkannya pada masa lalu yang buruk. "Laila ...," panggil Adrie pelan. Rasa trauma yang mendarah daging membuatnya abai terhadap putrinya sendiri. Terlebih wajah Laila memiliki kemiripan dengan Ashley membuat Adrie kerap mengingat hari yang mengerikan itu. Pada malam ini, perasaan bersalah pun muncul. Adrie tidak ingin menjadi sosok egois lagi. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Keesokan harinya. Pada saat Adrie tiba di depan sebuah perusahaan raksasa, kedua bola matanya hampir tak berkedip. Gedung itu megah dan menjulang tinggi. Ini pertama kalinya Adrie menginjakkan kaki di tempat seperti itu. "Apa benar ini tempatnya?" ucap Adrie sambil menatap kagum gedung di depan mata. Beberapa hari sebelumnya, Adrie hanya bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Meryana. Dia diberikan sebuah alamat dan juga nomor yang bisa dihubungi. Bibi Paramitha adalah orang yang mengatur pertemuan tersebut. Bahkan Adrie belum mengetahui tempat dan seperti apa pekerjaan yang akan dilakoninya. "Hei ... ongkosnya, Non!" tukang ojek yang membawa Adrie setengah berteriak saat meminta bayaran. "Melamun aja dari tadi," dia berceloteh lagi ketika mendapati Adrie masih bergeming di tempat. Adrie yang terkejut segera memutar tubuhnya menghadap tukang ojek. "Pak, saya tidak salah alamat kan, apa mungkin perusahaan sebesar ini akan menerima saya bekerja?" "Kalau soal itu mana saya tahu, Non, tapi seperti petunjuk, saya sudah mengantarkan ke alamat yang kamu berikan tadi." Tukang ojek itu kemudian menengadahkan tangannya. "Sekarang berikan ongkosnya!" desak pria itu. "Baiklah." Pasrah, Adrie segera merogoh tasnya, memberikan ongkos beserta tips untuk tukang ojek itu. "Terima kasih, Pak." Dalam kebingungannya, Adrie hanya bisa menatap para karyawan yang lalu lalang. Semua terlihat sibuk, berpenampilan rapi dan penuh wibawa. Hal itu pun membuat Adrie berkecil hati. Dia yang pernah mengalami trauma dengan keramaian merasa sangat asing di tempat tersebut hingga punggungnya terasa basah akibat rasa gugup yang mendera. Hinaan dan hujatan kembali menghantui pikiran Adrie hingga nyalinya seketika menciut. Semangat Adrie kembali muncul tatkala mengingat rengekan sang anak. "Mama, Laila mau makan ayam besar, mau beli ice cream, juga mau ke taman bermain dan banyak lagi," pinta Laila sebelum Adrie berangkat kerja. Pun dengan dukungan bibi Paramitha, membuat Adrie kembali memberanikan diri. Seketika dia membuang semua rasa takut dalam dirinya. "Aku pasti bisa." Adrie memutuskan untuk mendekati meja resepsionis. "Selamat pagi, Bu!" ucapnya sopan. "Pagi, ada yang bisa saya bantu?" resepsionis wanita bertanya. "Saya Adriella aghata, saya ke sini atas undangan dari ibu Meryana, apa saya bisa bertemu dengan beliau?" "Apa sudah ada janji sebelumnya?" Adrie mengangguk cepat. "Ya." "Sebentar, saya cek dulu." Pada saat resepsionis itu melakukan pemeriksaan, seorang pria berpenampilan parlente berjalan melewati area tersebut. Pria tampan nan gagah itu adalah Hanley Anderson. Sebagai anak kedua dari pemilik perusahaan Anderson group, langkahnya selalu menjadi pusat perhatian. Hanley berjalan didampingi oleh Rauf, sang asisten dan juga sekretaris cantik bernama Meryana. "Selamat pagi, Tuan ...!" Seluruh karyawan serentak memberikan salam sembari membungkukkan badan. Meski hanya mendapat anggukan kepala dari sang atasan, semua karyawan selalu memberikan salam penghormatan pada Hanley. Menyaksikan pemandangan itu, Adrie yang polos pun buru-buru membungkuk. Dia yakin jika pria yang baru saja datang itu adalah salah satu orang yang berkuasa di perusahaan itu. Saat itu, Meryana lebih dulu melihat keberadaan Adrie. Dengan ramah, dia langsung menegur. "Adriella, kamu sudah tiba?" Sapaan Mery juga menghentikan langkah Hanley. Tatapannya yang tegas langsung tertuju pada gadis berwajah teduh itu. Adrie segera mendongak dan melempar senyum terbaiknya. "Bu Mery ... ya, saya baru saja tiba," ucapnya, lalu memberanikan diri untuk memberikan salam hormat pada Hanley, "Selamat pagi, Tuan ...!" Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Hanley. Alih-alih membalas senyum, auranya yang dingin bahkan membuat bulu kuduk merinding. Pria tampan pemilik kekuasaan itu benar-benar tidak tersentuh membuat Adrie tertunduk lesu. Hai hai ... selamat datang di karya baru author, dukung cerita ini ya, tekan love, subscribe, juga kasih hadiah jika berkenan, thank you all ...!!Dugaan Hanley sedikit terbuktikan. Dia memperkirakan Adrie mencoba melarikan diri karena sebelumnya telah meminta untuk berhenti dari pekerjaannya.Dengan penjelasan yang didapatkannya, Hanley pun berniat untuk membahasnya dengan Rauf. "Apa kamu bertemu dengan Adrie beberapa hari ini?" tanya Hanley usai makan siang. "Apa dia juga pernah meminta bantuan agar bisa berhenti bekerja?"Rauf tampak bingung. Kenapa Adrie harus melakukan itu padanya? Mereka tidak sedekat itu."Adrie tidak masuk kerja hari ini," lanjut Hanley dengan wajah yang terlihat serius."Dan kamu langsung uring-uringan?" Rauf mengejek Hanley yang sedang galau. "Baru satu hari, Bro, kenapa harus cemas seperti itu? Bisa saja Adrie sedang ada urusan penting dengan keluarganya.""Tapi masalahnya Adrie tidak memberikan alasan apapun, dan ini bukan sifatnya.""Sudahlah, jangan terlalu berpikiran negatif!" Rauf kemudian mengubah bahan pembicaraan. "Aku juga in
"Seseorang, tolong aku!" Adrie mulai ketakutan di tempat sempit dan gelap itu. Dia menyesal karena telah meninggalkan ponselnya di dalam laci meja.Adrie beberapa kali menjerit, tapi teriakannya sama sekali tak terdengar oleh orang di luar sana. Semakin berontak dan berusaha untuk keluar, semakin berkurang tenaganya. Selain itu, Adrie juga mulai merasakan dahaga di tenggorokannya. Pada akhirnya, Adrie terdiam lesu dan berdoa dalam hati agar seseorang datang memberikan bantuan padanya. *Malam telah tiba, tapi Adrie tak kunjung keluar dari kantor. Begitu yang ada dalam pikiran Hanley.Tidak ada lagi peraturan lembur untuk Adrie, ke mana dia pergi?Hanley yang sengaja menunggu di lobby mulai resah. Dia segera mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk menghubungi Adrie berkali-kali.Panggilan itu tersambung, namun tidak ada jawaban dari seberang sana."Apa Adrie benar-benar sudah pulang?" Sudah satu jam leb
Brakk.Secara kasar Mery meletakkan satu map di atas meja Adriella. "Cepat antar ini ke lantai 10. Karena dokumen ini sangat penting, nanti nona Stefani sendiri yang akan mengambilnya. Dia sudah menunggumu di sana, tepat di depan lift!" Setelah menyuruh Adrie, Mery langsung meninggalkan ruangan itu. Tidak ada basa-basi atau obrolan lainnya, dia hanya ingin Adrie secepatnya pergi dari hadapannya.Adrie yang menerima perintah bergerak dengan cepat. Tanpa melihat isi dalam map, dia menuruti ucapan Mery. Kata-kata tegas dan sorotan tajam wanita itu membuatnya tidak banyak bertanya.Pada saat berdiri di depan lift, Adrie sempat menoleh pada seorang pria yang sedang bekerja di sekitar area tersebut.Pria berambut sebahu itu menggunakan seragam cleaning service. Di tangannya juga terdapat alat kebersihan.Bukan hanya Adrie yang menatap. Secara bersamaan, pria itu juga menoleh ke arah Adrie, tapi adegan itu hanya terjadi sekilas saja me
Malam itu juga Hanley pulang ke mansion orang tuanya.Di ruang tamu, Hanley berpapasan dengan Ashley. "Wah ... kenapa kepalamu itu?" Bukannya bersimpati, Ashley justru menghina kakaknya. "Kualat mungkin ya, makanya jangan bersikap jahat pada adik sendiri!"Merasa malas untuk menanggapinya, Hanley tidak membalas. Dia berjalan cepat menuju kamarnya. "Pasti sedang menahan malu," Ashley terlihat senang melihat luka di kepala kakaknya. "Tapi kenapa dia ya? Apa dia baru saja berkelahi?"Penasaran, Ashley berencana untuk mengadu pada ibunya. Dia berharap mendapat penjelasan agar bisa merundung sang kakak.Namun melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, Ashley mengurungkan niatnya. "Besok juga pasti dilihat mommy, aku harus cepat-cepat bangun untuk sarapan besok."Keesokan harinya.Tepat pukul 6 pagi, Ashley sudah berada di meja makan. Dia menjadi orang pertama yang turun pagi itu. Sambil menu
Ketika membukakan pintu untuk Adrie, Rauf segera melirik waktu di dalam ponselnya. Matanya langsung menyipit melihat kehadiran wanita itu. Baru sekitar lima menit setelah Rauf mengirimkan lokasi pada Adrie. Kini wanita yang ditunggu itu sudah berada di depan mata."Apa kamu punya sayap, Adrie?" ledek Rauf pada wanita yang sedang khawatir itu."Maksudmu apa?" Adrie bingung, kemudian tanpa permisi menjulurkan kepalanya untuk melihat pasien yang sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.Itu benar-benar Hanley. Adriella langsung menerobos masuk ke dalam ruangan itu. "Apa yang terjadi dengannya?" Kecemasan terlukis jelas di wajah Adrie. Dia takut terjadi hal yang buruk pada Hanley. "Dia terjatuh di basement dan kepalanya terbentur tembok," ucap Rauf seperti yang diberitahu oleh security. "Hanley banyak mengeluarkan darah, tapi untungnya dia kuat, jadi tidak perlu donor darah."Pada saat Hanley dibawa ke rumah sakit, Ra
Hanley tidak ragu untuk mendekatkan dirinya pada Adrie. Apalagi setelah wanita itu membuka ponsel dan menerima sebuah pesan, Hanley benar-benar mencondongkan tubuhnya yang tinggi agar bisa ikut membaca pesan tersebut."Siapa Samuel?" Hanley tidak pernah tahu dengan siapa saja Adrie sering berinteraksi. "Kenapa dia menunggumu di luar? Apa dia ingin menjemputmu pulang?"Adrie segera memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menyesal sudah dia membuka pesan itu di dekat Hanley. Pria itu terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain.Adrie tidak tahu harus bagaimana cara menjelaskannya. Hubungannya dengan Samuel agak rancu. Pernikahan itu palsu. Adrie bisa saja membohongi Hanley dengan status itu dan rencana tersebut sudah menjadi bagian dari sandiwaranya. Namun kenapa mulutnya tiba-tiba terasa kelu untuk mengatakan semua itu?"Adriella, aku tanya padamu, siapa Samuel itu? Apa hubungannya denganmu?" Dia cemburu sekaligus marah. Adrie merasa t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen