Berkali-kali Alan menghubungi Violet setelah bertemu dengan kolega bisnisnya meeting bersama membicarakan projek iklan untuk brand miliknya. Alan menginginkan Violet untuk kembali ke Indonesia secepat mungkin. Dia sudah membayar penalti perusahaan lain yang terlibat kontrak dengan kekasihnya itu.
"Come on Dude, kau hanya membuang-buang waktumu saja. Kekasihmu itu sedang tidak ingin diganggu," sarkas Abizar yang sedang berkunjung ke kantornya karena ada informasi penting yang harus dia berikan kepada temannya itu. "Shut up! Kenapa belum pergi dari ruanganku. Kau itu bukan penganggurankan?" sahut Alan menyipitkan matanya ke arah Abizar. "Yah sejak memutuskan keluar dari perusahanmu dan bekerja dengan Tuan Darwin, aku lebih santai. Tapi tetap saja selalu direpotkan kamu," sarkas Abizar. "Jelas saja kerjamu santai yang kamu jaga itu wanita yang tidak menyulitkan dibanding diriku. Be careful Abizar, jangan permainkan Adik iparnya Darwin. Sepertinya dia sangat mencintaimu. Perlu kau ingat, kau akan berhadapan dengan Darwin si manusia yang berdarah dingin hati-hati dengannya. Manusia itu sudah lama pensiun dari kelompok mafia." Tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar. Alan memerintahkan asistennya itu masuk keruangannya. Weni masuk keruangan bosnya dengan wajah cemas. "Ya aku tidak sebodoh itu... Kau pikir aku menyukai wanita itu. Dia hanya terobsesi saja setelah bosan pasti menyerah. Kau pikirkan saja mantan istrimu itu. Kau lebih parah dariku bisa-bisanya menegurku. Dasar penjahat kelamin," ejek Abizar. "Aku hanya membantu mantan istriku saja, yah... Hanya gertakan agar wanita itu mau kembali tinggal bersamaku tentunya tidak gratis," ucap Alan sambil memutar pulpen emasnya yang mewah. "Bullshit! Kau pikir aku tidak tahu sudahlah Alan, kau harus rujuk kembali bersamanya. Seperti yang ku bilang kau akan menyesal jika terpaksa menjadikan Violet sebagai istrimu.'' "Aku peringatkan kau sekali lagi kekasihmu itu seorang wanita manipulatif. Kau bertemu dengannya karena nafsu semata sedangkan Valeria wanita yang kau cintai sejak dulu. Jangan bebal otakmu itu!" "Sudahlah aku mau pergi. Coba lihat dokumen ini ada yang inginku perlihatkan untukmu semoga otak dan hatimu terbuka," ucap Abizar yang menyerahkan amplop coklat besar kepadanya. Abizar menyerahkan sebuah amplop coklat berukuran besar kepada Alan setelah itu dia beranjak pergi meninggalkan Alan yang masih galau dengan perasaannya. Suara deheman Weni membuat Alan mengurungkan tangannya membuka isi amplop yang diberikan Abizar. Dengan sekali lirikan dari bosnya Weni mulai bicara. "Permisi Tuan Alan, sejak tadi pelayan dari rumah anda menghubungi saya karena Anda tidak menjawab panggilannya," lapor Weni. "Ada apa," sahut Alan dengan dahi berkerut bingung tak biasanya para pelayan meneleponnya. "Nona Valeria pergi dari rumah utama melewati lorong tersembunyi. Nona Vale berhasil mengambil kunci pagar yang anda sembunyikan, Tuan." Brak! Pukulan keras di atas meja membuat Weni berjingkat kaget dengan tubuh gemetar melihat tuannya marah. "Kenapa tidak memberitahuku sejak tadi dasar stupid!" maki Alan melotot tajam kepada asistennya itu. "Saya pikir anda sedang berbicara serius dengan Tuan Abizar, Tuan." "Sudahlah! Kau hubungi pengawal yang berada di rumah perintahkan mereka agar mencarinya sampai ketemu, kalau tidak menemukan Vale. Aku tidak segan -segan akan menghukum kalian semua!" titah Alan dengan tatapan yang tajam kepada Weni. "Ba... Baik Tuan, permisi," sahut Weni keluar dari ruangan Alan menghubungi kembali orang-orang yang bekerja di rumah bosnya. Alan membuang semua dokumen yang ada di atas mejanya. Dia berteriak meluapkan amarah. Alan mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali memikirkan Vale yang kabur. Segera dia menghubungi Abizar yang untungnya langsung diangkat pria itu. "Cepat kau kembali aku butuh bantuanmu!" titah Alan tanpa bantahan. Abizar yang sedang menghisap rokoknya di dalam mobil bergegas keluar dari mobilnya menemui Alan diruangannya. Sebelum Abizar memasuki lift, Alan sudah lebih cepat keluar dari lift khusus atasan. "Vale kabur dari rumah, tolong bantu aku mencarinya." "Ya, akan ku kerahkan anak buahku. Apa dia membawa ponselnya." "Tidak, tapi aku sudah menaruh alat pelacak di tasnya. Wanitaku seperti zig zag pintar sekali mengelabui anak buahku." "Hem... Menarik aku suka gayanya! Ayo kita berpetualang," ucap Abizar dengan semangat. Abizar mengendarai mobil Jeepnya dengan kencang menuju tempat di mana Vale berada. Sedangkan di tempat lain tepatnya di jalan raya ada Vale bersama driver online sedang kebut-kebutan mengelabui anak buah Alan yang berhasil mengikuti mereka. "Nyonya Valeria tolong berhenti anda harus kembali sebelum tuan Alan menemukan anda," teriakan pengawal berkepala pelontos kepada Vale yang tak digubrisnya. "Aduh nona gimana ini saya takut. Nanti kalau saya di tembak bagaimana," ucap driver itu ketakutan. "Tenang saja mereka tak akan berani, nanti bapak saya kasih uang yang banyak sebagai ganti rugi kalau terjadi apa-apa," sahut Vale yang juga cemas takut ditangkap Alan. Tin! Tin! Cacian makian dilontarkan kepada mereka di jalan. Vale tidak perduli lagi, dia ingin pergi dari cengkraman Alan mantan suaminya itu yang otoriter suka memaksa. Satu jam sebelum kaburnya Vale.. Vale tak sengaja membuka ruang kerja Alan yang tak tertutup rapat sedang dibersihkan pelayan. Di dalamnya ada dua pelayan yang sedang membersihkannya. Vale pura-pura masuk ingin melihat buku bisnis Alan yang berjejer rapi di raknya yang tidak pernah berubah selama dia masih menjadi istrinya dulu. "Ehem... Bolehkah aku membaca salah satu buku di sana," tunjuk Vale kebagian atas rak buku. "Silahkan Nyonya, Tuan Alan tidak pernah melarang anda menyentuh barang-barangnya," ujar pelayan itu sambil tersenyum ramah. Vale mengambil buku yang berada di bagian atas tapi tatapannya teralih dengan kunci yang terselip di salah satu buku. Tanpa ragu dia mengambil kunci itu yang tidak di ketahui pelayan yang sedang sibuk membersihkan ruangan kerja Alan. Dia masih ingat kalau kunci itu, kunci gerbang lorong rahasia di rumah ini. Tiba-tiba wajahnya tersenyum merekah mendapatkan jalan keluar dari rumah ini dengan sembunyi-sembunyi. "Ah aduh.. Ssshhh perutku tiba-tiba sakit. Aku baca di kamar saja kalau begitu," ucap Vale dengan wajah berpura-pura menahan sakit. "Apa anda perlu bantuan, Nyonya?" "Kalian tidak usah khawatir aku hanya sakit perut biasa, mungkin dibawa tidur istrirahat sebentar sudah hilang. Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian." "Baik, Nyonya," jawab mereka serentak tanpa menaruh curiga kepada Valeria yang keluar begitu cepat dari ruangan kerja Alan. "Yes! Yes! Akhirnya aku bisa pergi juga dari rumah ini. Alan memang ceroboh masih saja menaruh kunci ini sembarangan. Aku harus secepatnya keluar dari sini," gumamnya pelan. Vale memasuki kamar mengganti pakaiannya dengan hoodie kebesaran dan celana leging panjang. Tasnya dia masukkan ke dalam hoodie. Setelah melihat situasi aman Vale berjalan mengendap-ngendap kebelakang rumah mewah itu melalui jalan rahasia yang hanya diketahuinya. Tapi sialnya ada satu orang penjaga sedang berjaga di sana. Vale yang panik mengambil sebuah kayu tak jauh dari sana memukul belakang kepala penjaga itu sampai hampir pingsan. "Ah maaf ini tidak kuat kau pasti akan sadar nanti," ucapnya kepada penjaga itu yang mengaduh kesakitan sampai berguling-guling. Vale berlari ke dalam lorong itu dengan cepat. Setelah sampai menemukan pintu gerbang rahasia. Dia langsung membuka gembok kunci dengan tangan gemetaran. "Ayo cepat terbukalah!" gumamnya. Setelah berhasil membuka pintu itu secepat kilat dia berlari sampai ke ujung jalan raya . Tanpa sengaja ada seorang driver online yang sedang berhenti dipinggir jalan. Vale langsung meneriakinya dan memintanya pergi. Sedangkan tak jauh darinya pengawal Alan tergopoh-gopoh mengejarnya. "Nyonya jangan pergi... Akh sial! Aku harus memberitahukan penjaga yang lain," ucapnya sambil menahan darah yang keluar dari belakang kepalanya dan mengambil hate yang jatuh terpental karena ulah Vale. "Roger... Roger, Nyonya Vale kabur tolong kalian cepat cari dari arah belakang lorong!" "Baik laksanakan, kau cepat hubungi bos besar! Bisa habis kita kalau sampai tidak menemukan Nyonya Vale." "Ya!" Bip! Pengawal itupun bergegas pergi ke dalam rumah memberitahukan kepada kepala pelayan dengan darah yang sudah membasahi bagian belakang pakaiannya.Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t