Dada berdegup dengan kencang, ketika aku membuka semua pesan suara dari nomor ponsel Rose.
[Elkan…, tolong aku, cepat pulang. Aku takut,] [El, kamu di mana? Kenapa lama sekali, aku sudah tidak pengen martabak. Kamu pulang saja,] [Cepat pulang El,....] Suara Rose dipesan itu terdengar serak dan sedikit berbisik. Terekam juga suara berisik benda berjatuhan dan suara pria yang saling bicara. Tidak jelas, hanya terdengar seperti bahasa isyarat saja, suara berdehem dan batuk. Tetapi, aku bisa menebak jika itu pria dan lebih dari satu orang. Memejamkan mata sejenak, mencoba menetralisirkan perasaan ini. Seperti sulit bernafas, sudah terbayangkan bagaimana Rose begitu takut saat itu, dari suaranya yang ia rekam dan kirimkan. Akan tetapi, tunggu sebentar… Bukankah Rose sudah meninggal, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan ini. Aku segera mengecek pesan Rose satu persatu, dan semua pesan itu baru saja terkirim. Itu berarti saat ini ponselnya sedang aktif. Tuuutt! Panggilan tersambung, namun berulang kali tidak ada jawaban. Segera keluar kembali dari mobil dan menuju keruangan kak Zayna. "Kak, mohon cek lokasi ponsel Rose saat ini ada dimana, ponselnya sedang aktif," membuka pintu dengan kasar tanpa mengetuk, tampak kak Zayna dan rekannya terkejut dengan kehadiranku yang secara tiba-tiba. Menyodorkan ponsel dan sengaja mengaktifkan pengeras suaranya, sambungan masih tersambung namun, tidak ada jawaban. "Gita, cepat lacak," perintah kak Zayna, segera aku menyebutkan satu persatu nomor ponsel Rose yang sangat aku hafal diluar kepala. Harap-harap cemas dengan hasilnya. "Pulau Nias," ucap kak Zayna lirih. "What? Posisi ponsel Rose saat ini di pulau Nias?" Terkejut, dalam jangka waktu 2 hari, pelaku sudah berada di pulau Nias. Segera menghubungi Deriwa, memintanya untuk waspada, terlebih saat ini mereka ada Zoey dan Yola yang aktif kesekolah. "R–ro–se mening–gal?" Tanya tante Maria terbata, karena kami memang merahasiakannya. Sebab, tante Maria juga belum lama habis melahirkan. Terdengar om Deriwa menenangkan tante Maria yang tergugu. "Elkan mohon, om. Lacak keberadaan pria itu, foto sudah El, kirim." Kali ini mau tidak mau aku harus melibatkan om Deriwa lagi. "Yang sabar El, om akan kerahkan anak buah untuk melacak," jawaban om Deriwa memberikan harapan besar bagiku, aku akan menghabisi pelakunya dengan kedua tangan ini. "Om tahu kan harus apa?" Bertanya memastikan jika pikiran kami sejalan. "Siap El, setelah menemukannya. Om akan bawa pelaku terbang ke kota kamu," jawabnya yang membuatku tersenyum getir, sakit dan sesak sekali. "Bagaimana?" tanya kak Zayna, yang sudah tahu banyak akan pertemananku dengan anak buah mafia besar seperti Little Augie. Namun, kak Zayna tidak bisa berbuat banyak, sebab tidak ada bukti apapun yang menjurus kepada Deriwa. "Anak buah om Deri akan mengurus disana," kak Zayna mengangguk setuju, ia cukup bisa dipercaya karena merahasiakan profesi om Deriwa dan uncle Aaron. "Apakah Caca aman di sana?" Tiba-tiba saja om Tristan nongol tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia tampak kacau dan berantakan sekali. Bahkan wajahnya terdapat ada noda hitam. "Alhamdulillah aman, om. Ada uncle Aaron disana," menjawab. Om Tristan membersihkan wajahnya menggunakan tisu lalu duduk dan meraih laptop kak Zayna. "Tyson barack, asal Kanada, komplotan sindikat penjual organ tubuh," om Tristan menunjukkan foto pria yang sama seperti yang ditunjukkan kak Zayna. "Bur-on, 7 tahun di Indonesia. Kabur dari pernjar-a, 2 tahun yang lalu. Divonis 23 tahun atas pembun-uhan dan dugaan menjual organ tubuh manusia secara ilegal," penjelasan om Tristan membuat tubuh ini semakin lemas tidak berdaya. "Itu sebabnya ginj-al milik Rose juga hilang," ucapku yang membuat kak Zayna dan om Tristan mengerutkan keningnya heran. "Hilang…," mengangguk, menjawab pertanyaan mereka yang sama dan serentak. Aku lebih heran, kenapa mereka bisa tidak mengetahui perihal ini. Apakah dokter forensik belum melapor kepada pihak aparat. "Tomy belum melapor, jika seperti itu. Sudah bisa dipastikan, pelaku tuan Tyson Barack," kak Zayna memijit kepalanya, sepertinya kasus Rose mengusik kesehatan dan mentalnya juga. Karena kami sudah seperti keluarga selama ini. "Om, segera berikan surat perintah, aku dan tim akan segera bekerja," pinta kak Zayna. "Tidak bisa seperti itu, Zay. Jangan menyalahi aturan dan prosedur, kita harus mengumpulkan banyak bukti yang real." Sangkal om Tristan. Aku membaca pembicaraan mereka, jika tim om Tristan sebenarnya sudah tahu pasti Tyson Barack itu ada di mana. "Bukti apa lagi, om. Kasus Rose, sidik jari dari jasad Rose, ginjal hilang. Apa itu kurang real, ayolah om, seharusnya om Tristan berpikir yang real saat ini, dan Z–z…, akh!" Kak Zayna bersitegang, aku menangkap ada hal lain dari ekspresi wajah ka Zayna. Perlahan liquid bening membobol pertahanan netra kak Zayna, mengalir melalui sudut matanya. "Kamu harus bersabar Zay, sedikit lagi…," om Tristan mengotak atik dan terfokus pada layar laptop. Om Tristan menatap lekat ke arah Zayna, kemudian menghela nafas panjang. Menurutku rada aneh sih sikap mereka, seperti ada yang disembunyikan. "Baiklah, kita bergerak hari ini juga. Elkan, bersiaplah…," ucap om Tristan, kedua sudut bibir kak Zayna melengkung keatas, namun terlihat hambar, aku hanya mengangguk. *** Ciiitt! Tiba-tiba saja sopir menginjak rem mendadak sehingga mobil agak oleng ke kiri jalan, menghindari kendaraan lain yang tiba-tiba saja berhenti di depan mobil yang kami tumpangi. Om Tristan dan kak Zayna segera menggenggam dengan erat senpi sejenis pist-ol. Segera aku melakukan hal yang sama, mengeluarkan dari balik jaket senjat-a yang sama seperti milik mereka, ada tatapan kaget namun, segera abai karena situasi dan kondisi sedang tidak kondusif. Om Tristan memberikan perintah dengan bahasa isyarat pada timnya, mobil yang berisi tim yang lain sudah mendahului mobil kami. Di depan sana berhenti 2 mobil jenis avanza berwarna silver dan hitam. Beberapa orang bertopeng keluar dari sana, dengan samurai berada ditangan mereka. "El, dalam hitungan ketiga, tembak…," lirih om Tristan mengangkat tangannya keatas dan menghitung. Dor! Dor! Suara tembakan saling bersahutan, mereka yang bertopeng kelabakan karena bagian tubuh mereka terkena timah panas dari senjat-a kami. Aarrghhh…! Terdengar erangan dari mereka yang menghalangi jalan kami, beberapa ada yang ambruk. Tidak tahu timah panas milik siapa yang mengenai, om Tristan menepuk pundak sopir dan mobil langsung saja tancap gas, melaju dengan kecepatan lumayan tinggi, kondisi jalanan tol saat ini agak sepi karena tengah hari. "Siapa mereka, om?" tanyaku dengan nafas terengah, meskipun bukan pertama kalinya berhadapan dengan musuh seperti itu, tetap saja memacu adrenalin. "Entahlah…," om Tristan mengedarkan pandangan ke belakang, memastikan musuh masih mengikuti atau tidak. Mobil melaju dengan kencang. Dinginnya AC tidak lagi terasa, karena hawa dalam mobil ini terasa begitu panas. Lalu siapa mereka yang menghalangi kami saat akan menuju markas Tyson Barack, apakah mereka orang-orang suruhan Tyson Barack?"Kalian?" Seruku sangat terkejut ketika melihat mereka yang memang aku berharap dengan kehadiran mereka saat ini. "Sabar, ya El." Om Deriwa memelukku dengan erat. Mengelus punggungku lembut. "Rose, om. Rose," lirihku sambil terisak, tidak sanggup lagi menahan rasa yang begitu sakit di dalam dada ini. Sudah 1 minggu, kondisi mami juga saat ini belum juga pulih. Mami koma, belum sadarkan diri. "Tidak apa-apa, ada om di sini. Kita akan bantu menumpas siapa pelakunya," om Deriwa mencoba menenangkan diri ini yang masih larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak, Rose pergi bersama janin di dalam rahimnya yang sudah kami nantikan. Namun, pada akhirnya berakhir tragis dan mengenaskan. Anthoni dan Reza segera ikut memelukku sebentar dan menepuk punggung ini pelan. "Lo tidak sendirian, dokter. Kita ada buat lo. Hingga darah terakhir, kita akan bantu lo menangkap para biad-ab itu," ujar Anthony bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Karena dia juga pernah kehilangan keluarganya tepat di
#Bab7Sosok arwah wanita itu masuk begitu saja menembus pagar kawat yang tajam. Ia melambaikan tangannya, cahaya lampu menerangi wajahnya yang pucat dan terdapat noda darah yang sudah mengering.“Masuklah, mereka ada di dalam sana. Anak buahnya, teman-temanku juga sedang mempertaruhkan nyawanya saat ini,” lirihnya sambil menunjuk sebuah bangunan tidak terlalu besar yang terpisah dengan bangunan utama yang terbilang cukup besar. Namun terlihat begitu angker karena minimnya cahaya.Lagi dan lagi suara tembakan terdengar di depan sana.“Apa selanjutnya El, dari mana kita akan masuk.” Tanya om Tristan masih mengamati situasi, ekspresi wajahnya sangat panik. Ia resah dan gelisah akan keadaan timnya di depan sana.“Alpha B, alpha B…, segera bantu tim golden…,” lirih om Tristan meletakkan radio angin di mulutnya.Aku mengajak mereka ke arah pintu yang ditunjukkan arwah wanita itu. Namun, seperti ada yang salah, tiba-tiba saja hawa panas menerpa kami dan tidak sanggup menahannya.“Aarrgghh…,
Mobil terus melaju dengan kencang, suhu badan semakin panas karena kejadian barusan sangat memacu adrenalin. Aku merasakan perih pada bahu sebelah kiri, dan…“Sshh…, aargghh!” Mengerang karena pisau sudah menancap di sana, sejak kapan mereka melayangkan senjata tajam ini sehingga bisa menyarang di pundak.“Oh Tuhan…, Zayna, kotak P3K,” seru om Tristan, namun tidak panik. Ia sudah terbiasa akan hal seperti ini. Setelah mengurusi itu, aku segera mengunyah obat penghilang nyeri. Untung saja hanya menancap sedikit, tidak dalam.“Bagaimana, om? apa kita akan melanjutkan perjalanan ini?” cemas karena akan ada kejadian seperti ini lagi, personil yang dibawa om Tristan tidak terlalu banyak.“Tidak apa-apa, kamu yang tenang saja. Ikuti saja arahan saya dan Zayna,” om Tristan kembali terfokus memandang ke depan, sementara kak Zayna lebih banyak diam.Aku juga kini banyak diam, mengikuti aturan main om Tristan saja sebagai pimpinan saat ini, hampir 4 jam lebih kami mengendarai mobil hingga pada
Dada berdegup dengan kencang, ketika aku membuka semua pesan suara dari nomor ponsel Rose.[Elkan…, tolong aku, cepat pulang. Aku takut,][El, kamu di mana? Kenapa lama sekali, aku sudah tidak pengen martabak. Kamu pulang saja,][Cepat pulang El,....]Suara Rose dipesan itu terdengar serak dan sedikit berbisik. Terekam juga suara berisik benda berjatuhan dan suara pria yang saling bicara. Tidak jelas, hanya terdengar seperti bahasa isyarat saja, suara berdehem dan batuk. Tetapi, aku bisa menebak jika itu pria dan lebih dari satu orang.Memejamkan mata sejenak, mencoba menetralisirkan perasaan ini. Seperti sulit bernafas, sudah terbayangkan bagaimana Rose begitu takut saat itu, dari suaranya yang ia rekam dan kirimkan. Akan tetapi, tunggu sebentar…Bukankah Rose sudah meninggal, lalu siapa yang telah mengirimkan pesan ini. Aku segera mengecek pesan Rose satu persatu, dan semua pesan itu baru saja terkirim. Itu berarti saat ini ponselnya sedang aktif.Tuuutt!Panggilan tersambung, namun
Angel terus saja melangkah keluar hingga ke bibir teras rumah, ia terus menyerukan nama Rose. Padahal aku tidak melihat apapun dan siapapun di sana.“Angel…, jangan seperti ini,” menarik tangannya, ingin membawanya masuk.“Kakak…, jangan berpura-pura, kakak juga bisa melihat kak Rose di sana kan,” Angel menepis tanganku, ia mendekati ayunan. Dan aku semakin merasa frustasi sekali dengan tingkah Angel seperti ini, heran juga dengan kemampuan yang biasanya bisa melihat mereka yang tak kasat mata.“Kak Rose…, kakak, jangan pergi kak, rumah kakak di sini…,” teriak Angel berlari hingga ke halaman, aku mengedarkan pandangan yang semakin gelap. Aku membawa paksa Angel masuk ke rumah, meskipun ia berontak, namun tenagaku lebih kuat darinya.Angel tergugu memeluk kedua kakinya yang ia lipat, tatapannya tertuju pada layar pipih di depannya, namun tatapannya kosong tidak pada televisi.Aku tidak tahu harus berbuat apalagi, bahkan aku sempat keluar kembali ketika sudah membawa Angel masuk.Aku in
Aku menghentikan melakukan pengejaran tersebut, bertanya ke beberapa warga jika ada yang melihat. Namun, rata-rata jawaban mereka sama, tidak melihat sama sekali seorang pria berlari dari depan rumah mereka. Padahal sangat jelas sekali pria itu berlari sangat cepat.“Serius pak?”“Sumpah, kami tidak melihat siapapun yang melintas. Baru mas nya saja yang melintas, soalnya terang begini, tidak mungkinkan kalau tidak terlihat ada orang lewat meskipun berlari kencang,” jawabnya menjelaskan dan sangat masuk akal, tetapi, bagiku pria itu yang tidak masuk akal kemana perginya. Apa mungkin pria itu sejenis jin atau…“Terima kasih ya pak,” ucapku.“Apa gerak gerik pria itu mencurigakan, mas?” tanya salah satu dari mereka, karena berita kematian Rose sudah menyebar hingga ke seluruh kota, bahkan sudah masuk ke dalam berita. Karena aku dokter yang lumayan terkenal di kota ini.“Sepertinya, saya juga tidak tahu pasti. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan rumah, mencurigakan sekali bukan?” para