Beranda / Horor / MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU / Bab 6. Arwah Korban Menunjukkan Jalan

Share

Bab 6. Arwah Korban Menunjukkan Jalan

Penulis: Angga Pratama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-13 01:44:02

Mobil terus melaju dengan kencang, suhu badan semakin panas karena kejadian barusan sangat memacu adrenalin. Aku merasakan perih pada bahu sebelah kiri, dan…

“Sshh…, aargghh!” Mengerang karena pisau sudah menancap di sana, sejak kapan mereka melayangkan senjata tajam ini sehingga bisa menyarang di pundak.

“Oh Tuhan…, Zayna, kotak P3K,” seru om Tristan, namun tidak panik. Ia sudah terbiasa akan hal seperti ini. Setelah mengurusi itu, aku segera mengunyah obat penghilang nyeri. Untung saja hanya menancap sedikit, tidak dalam.

“Bagaimana, om? apa kita akan melanjutkan perjalanan ini?” cemas karena akan ada kejadian seperti ini lagi, personil yang dibawa om Tristan tidak terlalu banyak.

“Tidak apa-apa, kamu yang tenang saja. Ikuti saja arahan saya dan Zayna,” om Tristan kembali terfokus memandang ke depan, sementara kak Zayna lebih banyak diam.

Aku juga kini banyak diam, mengikuti aturan main om Tristan saja sebagai pimpinan saat ini, hampir 4 jam lebih kami mengendarai mobil hingga pada akhirnya kami sampai pada sebuah perkampungan yang masih sangat minim perumahan, bahkan listrik juga terlihat tidak ada, karena sepanjang perjalanan tidak terlihat adanya tiang listrik.

Aku segera memeriksa ponsel, memastikan Lontar sudah menjemput Angel dan Cello.

[Tolong jemput Angel dan Cello sebelum mereka keluar dari sekolah, terima kasih.]

Lama sekali mobil melewati medan dengan jalanan yang rusak dan di samping kanan kiri jalanan terdapat banyaknya tanaman seperti kebun teh.

Dan banyaknya perbukitan, siang hampir saja menjemput malam. Hawa dingin kini mulai merayapi kulit dan menusuk ke tulang, tampak jalanan di depan sedikit berkabut. Aku menatap ponselku, tidak ada sinyal. Beberapa mobil tim om Tristan sudah ada didepan dan sebagian lagi berada di belakang mobil kami.

Sepanjang perjalanan, kami tidak ada terlibat obrolan apapun, hanya berhenti sejenak makan lalu melanjutkan perjalanan lagi, tanpa banyak mengobrol.

“Elkan…, jaga dirimu baik-baik. Mereka bukan manusia yang bisa kalian lawan begitu mudah,” lamat-lamat aku mendengar suara Rose yang mengingatkan agar aku hati-hati.

“Rose…,” bergumam, lalu perlahan memejamkan mata.

“Jangan gegabah, mereka ada di mana-mana. Kenapa kamu ikut, El,” lagi, suara Rose terdengar menyesal karena aku ada disini sekarang.

“Hati-hati, sayang…, hati-hati. Maafkan aku tidak bisa menjaga anak kita,” tersentak kaget ketika mendengar suara Rose begitu ditelinga, mengedarkan pandangan ke seluruh dalam mobil.

“Ada apa, El?” Heran kak Zayna mencekal lenganku, manik coklatku bergerak gelisah mencari-cari keberadaan Rose yang terdengar begitu dekat sekali, nihil. Tidak ada Rose di sana, hanya aku dan tim om Tristan.

“Fokus, Elkan. Sebentar lagi kita akan sampai pada tujuan,” peringatan om Tristan. Nafasku masih memburu, jelas sekali suara Rose, seperti ada disampingnya tadi.

“Sumpah, kak. Aku merasakan jika Rose ada di sini. Dia memperingati, agar lebih hati-hati. Karena yang kita lawan bukan manusia biasa,” mencoba menyakinkan kak Zayna.

“Iya, iya…, kakak percaya,” lirih kak Zayna mencoba menenangkan diri ini yang terlihat kebingungan, frustasi yang jelasnya. Karena masih terbayang-bayang akan sosok Rose yang baru beberapa hari ini meninggalkanku. Tangisku pecah, karena merasakan rindu yang sangat menyesak di dalam dada.

Terdengar om Tristan mendengus kasar, mungkin kesal.

“Fokus semuanya,” seru om Tristan ketika mobil kini terasa berhenti. Kak Zayna segera menepuk punggungku, agar segera bersiap. Terlihat mobil tim  om Tristan berjejer dengan rapi di tepi jalan. Didepan sana terlihat hamparan kebun teh, hawa dingin semakin menusuk tulang, aku merapatkan jaket kulit pemberian Rose.

Dalam sekejap mata, tim om Tristan sudah berpencar. Om Tristan terus saja berada di depanku bersama kak Zayna.

“Jangan jauh-jauh dari saya,” ujarnya, sembari berjalan mengendap di antara pohon teh yang luas.

“Tolong…, tolong kami,”

“Siapapun, tolong kami…,”

Hari semakin petang, suara-suara aneh kini memenuhi telingaku. Ingin abai, namun tetap saja tidak bisa. Suara mereka sangat mengusik konsentrasiku.

“Kakak dengar suara pekikan mereka,” berbisik ke telinga kak Zayna, dia hanya menggeleng sembari mengerutkan keningnya. Rambut panjangnya diikat dengan rapi ke atas.

“Aargghh…, sakit, sakit,”

“Hiks…, hiks…, hiks…, aku ingin bertemu ibu, tolong…,”

Erangan dan rintihan dari mereka yang tidak tampak membuat aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi, aku menghentikan langkah, menutup telinga dengan kedua tangan, sembari memejamkan mata, kepala terasa sakit sekali.

“Sshh…, uugghh…!” mendesis karena rasa sakit tidak bisa dihindari, aku merasakan dari hidung mengalir cairan hangat berbau amis.

Sekelebat kejadian tampak denganku, banyak anak-anak yang digiring menuju sebuah rumah tua di dekat perkebunan teh ini. Sebagian ada yang masih memakai seragam merah putih, putih biru bahkan putih abu-abu. Lamat-lamat aku mendengar suara kak Zayna dan om Tristan yang bertanya ada apa.

Namun, aku masih ingin tahu apa yang mereka lakukan. Samar-samar aku melihat ada beberapa orang dewasa yang tertawa lebar.

“Elkan…,”

“Uuggh…,” kepala terasa pusing, dan ambruk. Meskipun kesadaranku tidak penuh, namun aku bisa merasakan jika tubuhku tidak ambruk ke tanah. Melainkan pada tubuh om Tristan.

“Elkan, kamu baik-baik saja kan?” suara kak Zayna sangat cemas, terasa tangannya yang dingin juga menepuk pelan pipiku dan mengusap cairan yang keluar dari hidung.

Setelah menarik nafas panjang, aku membuka mata perlahan. Hari sudah petang, bertambah kabut juga semakin tebal. Aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajah kak Zayna dan om Tristan.

“Kamu baik-baik saja kan, El,” terpaan nafas om Tristan terasa hangat.

"Aku melihat apa yang mereka lakukan. Mereka membawa banyak orang dirumah itu," lirih, masih terasa kepala pusing.

"Berapa orang?"

"Tidak jelas, intinya lebih dari satu. Sepertinya orang lokal," menjawab pertanyaan om Tristan.

"Sial…, mereka hanya umpan," umpat om Tristan. Tiba-tiba saja…

Dor! Dor!

Suara tembakan saling bersahutan tidak jauh dari kami, mengandalkan cahaya bulan kami menyusuri jalanan di perkebunan teh tersebut.

"Tim A, jangan terlalu dekat. Tim B, apakah ada yang terluka," om Tristan mengecek timnya. Kemudian meminta Zayna berjalan mengendap mengikuti anak buah om Tristan di depan.

Aku semakin tegang, ketika mendengar suara tembakan terus menerus. Pekikan dan jeritan juga terdengar. Terlebih, aku juga dapat mendengar kan mereka yang tidak kasat mata.

"Kalian kesini untuk menolong kami," tiba-tiba saja suara seorang wanita terdengar di sampingku, aku terlonjak kaget. Bukan takut, hanya karena mereka muncul tiba-tiba. Dan aku memiliki riwayat jantung lemah dan mudah terkejut.

"Astaghfirullahal'adzim, bisa gak kalian muncul jangan tiba-tiba seperti itu," keluhku seraya mengelus dada.

"Kalian bisa masuk melalui pintu belakang, di sana ada pintu rahasia," ucapnya, darah mengalir dari sudut bibirnya hingga mengotori bajunya yang berwarna putih, aku menduga wanita itu berusia sama seperti Angel dan Cello.

"Serius?" Wanita itu mengangguk, lalu memutarkan tubuhnya.

"Ikuti aku," ujarnya lalu melangkah.

Aku segera menjelaskan pada om Tristan dan kak Zayna, jika ada sosok arwah yang membantu. Kami mengikuti langkah sosok arwah tersebut dan kini kami berada di belakang sebuah bangunan dengan pagar kawat yang menjulang tinggi keatas.

"Uugghh…, aarrghh…," betapa terkejutnya kami ketika melihat ada seseorang yang merayap, dengan tangan dan kaki yang terikat di area bangunan tersebut, mulutnya dilakban, kedua matanya juga, hanya menyisakan lubang hidungnya saja.

Apa mungkin seseorang itu hanya umpan untuk memancing kami?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 44. Tamat

    Waktu terus berjalan, seakan luka-luka masa lalu perlahan terbalut oleh waktu. Elkan akhirnya mengambil keputusan besar dalam hidupnya—ia mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit, tempat yang dulu dipimpin oleh Prof. Ismael. Keputusan itu sempat membuat Arga kaget, namun Elkan menjelaskan dengan tegas bahwa dirinya tidak lagi ingin terikat pada tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Untuk sementara, Elkan memilih tidak bekerja. Baginya, saat ini keluarga adalah yang paling utama. Ia ingin fokus mengurus Aziel, putra kecilnya yang kini sudah berusia tiga tahun. Bocah itu tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan, penuh tawa riang, dan selalu membawa keceriaan ke dalam rumah.Setiap pagi, Elkan sering terlihat duduk di teras rumah, memangku Aziel di pangkuannya sambil membacakan cerita-cerita kecil. Kadang, ia mengajaknya berlari di halaman, mengejar kupu-kupu, atau sekadar bermain bola kecil. Tawa Aziel yang nyaring membuat semua orang di rumah itu merasa hidup kemb

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 43

    Elkan mengusap wajahnya dengan kasar, napas yang sedikit terengah, seolah beban berat yang selama ini menghimpit dadanya mulai terangkat. Arga menepuk bahunya pelan. Pria paruh baya itu tahu jika saat ini Elkan pasti melihat sosok Rose.“Sudah selesai, Elkan. Keadilan untuk Roselea akhirnya berpihak pada kita. Doakan saja agar Rose tenang di sana,” ucapnya dengan suara mantap.Elkan hanya mengangguk. Meski wajahnya tegar, ada kilatan basah di matanya. Ia mengusap wajahnya sebentar.“Sekarang… saatnya kita kabarkan ini pada Mami. Mami harus tahu kalau semua pengorbanan ini tidak sia-sia. Papi juga harus tahu, jika Aziel memiliki seorang kembaran yang cantik seperti Ibunya,” ucap Elkan tidak bisa menahan Isak tangisnya, ketika ia melihat ke arah taman itu lagi, sosok Rose dan putri kecil mereka sudah tidak ada lagi.“Benarkah? Kamu sangat beruntung sekali. Tapi sebaiknya kita segera ke rumah sakit, dan kamu harus istirahat,”Tanpa menunda waktu, keduanya segera menuju rumah sakit. Mobil

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 42

    Sidang Kedua Prof. IsmaelHari itu, suasana di gedung pengadilan terasa lebih mencekam daripada sidang pertama. Jalan menuju ruang sidang dipenuhi wartawan, masyarakat, bahkan mahasiswa yang ingin menyaksikan kelanjutan kasus besar ini. Polisi memperketat penjagaan, sebab beredar kabar bahwa hari ini akan ada bukti baru yang tidak bisa terbantahkan.Elkan duduk di kursi pengunjung dengan wajah serius. Ia tidak banyak bicara sejak pagi. Matanya hanya terpaku ke pintu ruang sidang, menunggu segalanya berakhir. Di sampingnya, Ardi Prakoso sang pengacara setia menatap tenang, namun Elkan bisa merasakan ketegangan itu nyata.Tidak lama, pintu terbuka. Prof. Ismael masuk dengan langkah angkuh, seolah sidang sebelumnya tidak menggoyahkan dirinya sedikit pun. Ratna menempel di sisinya, wajahnya dingin penuh kebencian, sementara Dio berjalan di belakang dengan mata tajam ke arah Elkan.“Sidang perkara terdakwa Prof. Ismael dengan tuduhan pembunuhan berencana terhadap Roselea, dinyatakan dibuka

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 41

    Keesokan harinya, gedung pengadilan negeri sudah dipadati orang. Pagi itu matahari memang bersinar, tapi hawa tegang terasa menusuk begitu seseorang melangkah memasuki halaman gedung. Polisi berjaga di pintu masuk, wartawan dengan kamera mereka siap mengabadikan setiap momen, sementara masyarakat yang penasaran berkerumun, membicarakan kasus besar yang menyeret nama seorang profesor ternama: Prof. Ismael.Elkan berdiri di tangga gedung pengadilan dengan wajah pucat tapi tatapan matanya tajam. Di sampingnya, duduklah pengacaranya, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat bernama Ardi Prakoso, yang terkenal jujur dan idealis. Ardi menepuk bahu Elkan seolah memberi semangat.“Tenang, dokter Elkan. Semua bukti sudah kita persiapkan. Jangan goyah walau pihak lawan mencoba menjatuhkan anda."Elkan hanya mengangguk, namun di dadanya, amarah dan luka lama kembali menyeruak. Bayangan wajah Rosela saat terakhir kali ia melihat istrinya, tergantung lemah di plafon kamar mereka sendiri, bibi

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 40

    Pembalasan Terhadap Ismael DimulaiElkan kembali memikirkan kata-kata Mbah Karto sebelum ajalnya. “Prof. Ismael...,” nama itu terus terngiang di kepalanya. Setelah pemakaman Rose, Elkan mulai mencari informasi tentang profesor tersebut. Dengan bantuan Lima Madu Pahit, para kunti yang kocak namun loyal, Elkan menyusun rencana untuk menyerang Ismael di kediamannya, yang ternyata terletak di sebuah vila tua nan mencekam di pinggiran kota.Saat malam tiba, Elkan mengendarai mobilnya menuju vila, ditemani Kunkun, Kutu Kupret, dan Bungkring yang sibuk berdebat di kursi belakang.“Awas, jangan banyak gerak! Gue lagi fokus nih,” Elkan memperingatkan.Kunkun tertawa, “Santai aja, El. Lo tau, gue tuh pernah nyetir pakai sepatu roda di gunung! Ini mah kecil.”“Sepatu roda? Gunung? Ya ampun, Kunkun, lu makin ngaco aja!” Kutu Kupret tertawa terbahak-bahak.Elkan memijat pelipisnya. Perjalanan ini bakal panjang kalau mereka terus begini.Ketika mereka tiba di vila, suasana berubah menjadi sunyi. Po

  • MENGUAK KEMATIAN ISTRI DAN CALON ANAKKU    Bab 39

    Mbah Karto menatap lekat ke arah Elkan yang kini sedang mencengkram dengan kuat rahangnya, ia meringis kesakitan, nafasnya memburu, jantungnya berdegup dengan kencang. Mbah Karto tidak menyangka Torman bakal mengkhianatinya, sebab ia sudah membantu banyak pria ceking tersebut.“Arghk!” Erang Mbah Karto menggelengkan kasar kepalanya, berharap cengkraman tangan Elkan terlepas, karena rasa perih dan berdenyut mulai menjalar hingga ke telinganya.“Apa susahnya untuk bicara, katakan siapa yang telah memerintahkan kalian untuk melukai R-Rose?” Elkan seperti tidak sanggup mengucapkan nama sang istri, sepertinya rasa sakit itu masih ia rasakan.“L-le-pas-kan…” gerak manik mata Mbah Karto mengarah pada tangan Elkan, berharap dokter muda tersebut melepaskannya cengkramannya.Brugh!Tiba-tiba saja Kunkun datang bersama dengan Torman dengan keadaan kedua tangan terikat, mulut di lakban.“El, cepat tanyakan sama dia, dimana menyembunyikan Gindo dan Liana? Mereka bisa mati dua kali kalau seperti in

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status