Masuk#Bab7
Sosok arwah wanita itu masuk begitu saja menembus pagar kawat yang tajam. Ia melambaikan tangannya, cahaya lampu menerangi wajahnya yang pucat dan terdapat noda darah yang sudah mengering. “Masuklah, mereka ada di dalam sana. Anak buahnya, teman-temanku juga sedang mempertaruhkan nyawanya saat ini,” lirihnya sambil menunjuk sebuah bangunan tidak terlalu besar yang terpisah dengan bangunan utama yang terbilang cukup besar. Namun terlihat begitu angker karena minimnya cahaya. Lagi dan lagi suara tembakan terdengar di depan sana. “Apa selanjutnya El, dari mana kita akan masuk.” Tanya om Tristan masih mengamati situasi, ekspresi wajahnya sangat panik. Ia resah dan gelisah akan keadaan timnya di depan sana. “Alpha B, alpha B…, segera bantu tim golden…,” lirih om Tristan meletakkan radio angin di mulutnya. Aku mengajak mereka ke arah pintu yang ditunjukkan arwah wanita itu. Namun, seperti ada yang salah, tiba-tiba saja hawa panas menerpa kami dan tidak sanggup menahannya. “Aarrgghh…, panas sekali, apa itu om…,” mundur dengan cepat, hingga menindih tubuh kak Zayna yang melangkah tepat di belakangku. Karena om Tristan dan salah satu anak buahnya mundur dengan cepat juga menabrakku. Anak buah om Tristan tiba-tiba saja langsung mengejang dengan darah yang mengucur deras dari hidung dan telinganya. Nafas om Tristan memburu sembari memangku kepala anak buahnya, ia mendongakkan kepalanya penuh sesal. “Soni! Son…,” seru om Tristan sangat panik sekali, begitu juga dengan kak Zayna yang hanya bisa terbelalak kaget dengan kondisi rekannya sekarat seperti itu. Tangan kak Zayna mencekal dengan keras lenganku tanpa sadar, sepertinya dia ikut merasakan kesakitan rekannya saat ini. “Bangun, Son…,” om Tristan tergugu memeluk tubuh rekannya yang kini tidak lagi bernafas, aku bangkit, mencoba mencari tahu ada apa di depan sana. Aku melihat di depan sana seperti cahaya yang sangat terang sekali sehingga membuat silau. “Menjauh…!” Teriak sosok wanita itu datang mendorong tubuhku hingga terjengkang jauh dari, masuk ke dalam rimbunan tanaman teh tersebut. Tubuhku menggeliat sakit, karena punggung ini menghantam akar pohon di dekat tanaman teh tersebut. “Sshh, uugghh…, cahaya apa itu,” lenguhku mencoba bangkit, tidak dapat melihat kondisi di depan sana karena keadaan gelap sekali. “Maafkan aku, maaf.” Sosok wanita itu kembali mendekati dan menarik tanganku, membantu bangkit. “Apa tadi itu, cahaya apa?” Terheran. Aku bangkit dan segera melangkah tergesa menghampiri om Tristan dan kak Zayna. Tidak peduli ketika kaki ini menginjak apapun, bahkan beberapa kali aku tersandung. Om Tristan mendongakkan kepalanya keatas, airmata sudah membasahi pipinya. Suara tembakan di depan sana masih terdengar. Tidak lama setelah itu deru mobil terdengar saling bersahutan. Kak Zayna menerobos lewat lubang di sudut pintu bersama dengan beberapa anak buah om Tristan. Aku segera mengikuti langkah mereka. Cahaya yang mematikan itu kini tidak lagi terlihat. Ketika kaki sudah memasuki sebuah bagunan tidak terlalu besar, aroma tidak sedap menyeruak pada indera penciuman kami. Namun tiba-tiba saja sesuatu jatuh tepat di depan mereka, sesuatu benda yang dibungkus dengan sebuah plastik transparan. “Sstt,” kak Zayna mengisyaratkan agar kami diam. Dia yang memimpin saat ini. Sedangkan om Tristan berada di belakang kami, keadaannya masih belum stabil karena kehilangan anak buahnya. “Buang mereka semua, cepat pergi dari sini.” Terdengar suara seseorang dari dalam sana, om Tristan yang sudah terbakar amarah langsung saja melangkah cepat dan mengarahkan senjata dari jendela, dimana mereka tadi membuang sesuatu. Karena keadaan tidak begitu terang, kami tidak bisa memastikan apa sebenarnya benda yang mereka buang tersebut. Dor! Om Tristan melepaskan tembakan ke arah dalam, musuh yang ada di dalam sana terkejut. Mereka segera bersembunyi, dan aku tidak bisa tinggal diam. Cepat ambil posisi membantu om Tristan. Om Tristan memberanikan diri masuk ke dalam, dan aku tidak akan biar kan itu. Buugh! Berulang kali om Tristan melayangkan pukulan pada musuh, setelah babak belur, om Tristan memborgol. Aku mengejar salah satu dari mereka yang berlari keluar bersama dengan kak Zayna. Aku melepaskan tembakan, dan mengenai bagian lengannya, musuh masih tetap bisa berlari dan memasuki mobil. Lalu dengan cepat melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Akh! si-alan!” Merutuk sambil menyugar rambut dengan kasar. Kak Zayna juga melayangkan tinju di udara, lalu segera berlari masuk kembali. Aku berlari mengejar mendekati jejeran mobil, tidak tampak satu pun rekan kerja om Tristan terlihat di sana. Cahaya bulan cukup membantu, aku mengedarkan pandangan ke area perkebunan teh ini. “Kemana mereka semua, kalau memang mereka semua tertembak. Maka jasadnya ada disini,” bergumam, berlari kesana kemari mencari-cari. Karena rekan kerja om Tristan di divisi kriminal yang berangkat ke sini tidak sedikit. Sekitar 20 orang. Mobil kami masih lengkap, 5 buah mobil, masih terparkir rapi. “Dimana semua orang, El?” tanya om Tristan yang menyeret salah satu musuh yang dapat kami bekuk. “Entahlah, om. Aku tidak melihat satupun dari rekan om Tristan ada di sini,” Om Tristan segera memasukkan musuh yang tertangkap ke dalam mobil. “Jaga dia,” perintah om Tristan pada rekannya. “Siap, pak!” Jawabnya tegas. Kak Zayna sudah masuk kembali, melompat dari jendela dan mendekati benda yang jatuh tadi atau sengaja dibuang. Aku juga mengikuti apa yang dilakukannya. Menyalakan senter dari ponsel. “Manusia,” lirih kak Zayna, lalu mengeluarkan senjata tajam sebuah belati kecil yang terselip di sepatunya. Dengan sangat hati-hati merobek bagian hidung agar seseorang itu dapat bernafas. Dengan cepat aku membantu membuang plastik dari tubuh orang itu, yang belum kami ketahui siapa. “Astaghfirullahal’adzim,” beringsut mundur, menjauh karena tersentak kaget. Orang yang terbungkus itu ternyata sudah tidak memiliki ginjal lagi, bagian pinggangnya kini sudah berlubang, isi perutnya terburai keluar. Kak Zayna mengusapkan tangannya pada wajah pria itu, agar kedua matanya yang terbeliak, seperti menahan sakit, karena dari hidung dan mulutnya masih mengeluarkan cairan merah. “Alpha B,” lirih kak Zayna, ia mulai tergugu. *** Aku berdiri di barisan paling belakang, hari ini penghormatan terakhir untuk para petugas yang telah gugur saat bertugas kemarin saat kami akan menggerebek sindikat geng penjualan organ tubuh. Belum juga hilang kesedihanku perihal kepergian Rose yang secara tragis, kini harus berputus asa karena om Tristan dan kak Zayna ingin berhenti membantu. Karena mereka takut kehilangan rekan kerja lagi. Aku tidak dapat mengatakan apapun, selain pasrah dan akan menguak semuanya sendirian. “Lagian, kemana para lima madu pahit. Kenapa mereka tidak terlihat lagi di rumah.” Bergumam. Setelah upacara penghormatan terakhir, aku segera kembali kerumah, sengaja ambil cuti meskipun prof. Ismael terus menelpon agar segera masuk. “Kalian,” ucapku terkejut.Waktu terus berjalan, seakan luka-luka masa lalu perlahan terbalut oleh waktu. Elkan akhirnya mengambil keputusan besar dalam hidupnya—ia mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit, tempat yang dulu dipimpin oleh Prof. Ismael. Keputusan itu sempat membuat Arga kaget, namun Elkan menjelaskan dengan tegas bahwa dirinya tidak lagi ingin terikat pada tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Untuk sementara, Elkan memilih tidak bekerja. Baginya, saat ini keluarga adalah yang paling utama. Ia ingin fokus mengurus Aziel, putra kecilnya yang kini sudah berusia tiga tahun. Bocah itu tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan, penuh tawa riang, dan selalu membawa keceriaan ke dalam rumah.Setiap pagi, Elkan sering terlihat duduk di teras rumah, memangku Aziel di pangkuannya sambil membacakan cerita-cerita kecil. Kadang, ia mengajaknya berlari di halaman, mengejar kupu-kupu, atau sekadar bermain bola kecil. Tawa Aziel yang nyaring membuat semua orang di rumah itu merasa hidup kemb
Elkan mengusap wajahnya dengan kasar, napas yang sedikit terengah, seolah beban berat yang selama ini menghimpit dadanya mulai terangkat. Arga menepuk bahunya pelan. Pria paruh baya itu tahu jika saat ini Elkan pasti melihat sosok Rose.“Sudah selesai, Elkan. Keadilan untuk Roselea akhirnya berpihak pada kita. Doakan saja agar Rose tenang di sana,” ucapnya dengan suara mantap.Elkan hanya mengangguk. Meski wajahnya tegar, ada kilatan basah di matanya. Ia mengusap wajahnya sebentar.“Sekarang… saatnya kita kabarkan ini pada Mami. Mami harus tahu kalau semua pengorbanan ini tidak sia-sia. Papi juga harus tahu, jika Aziel memiliki seorang kembaran yang cantik seperti Ibunya,” ucap Elkan tidak bisa menahan Isak tangisnya, ketika ia melihat ke arah taman itu lagi, sosok Rose dan putri kecil mereka sudah tidak ada lagi.“Benarkah? Kamu sangat beruntung sekali. Tapi sebaiknya kita segera ke rumah sakit, dan kamu harus istirahat,”Tanpa menunda waktu, keduanya segera menuju rumah sakit. Mobil
Sidang Kedua Prof. IsmaelHari itu, suasana di gedung pengadilan terasa lebih mencekam daripada sidang pertama. Jalan menuju ruang sidang dipenuhi wartawan, masyarakat, bahkan mahasiswa yang ingin menyaksikan kelanjutan kasus besar ini. Polisi memperketat penjagaan, sebab beredar kabar bahwa hari ini akan ada bukti baru yang tidak bisa terbantahkan.Elkan duduk di kursi pengunjung dengan wajah serius. Ia tidak banyak bicara sejak pagi. Matanya hanya terpaku ke pintu ruang sidang, menunggu segalanya berakhir. Di sampingnya, Ardi Prakoso sang pengacara setia menatap tenang, namun Elkan bisa merasakan ketegangan itu nyata.Tidak lama, pintu terbuka. Prof. Ismael masuk dengan langkah angkuh, seolah sidang sebelumnya tidak menggoyahkan dirinya sedikit pun. Ratna menempel di sisinya, wajahnya dingin penuh kebencian, sementara Dio berjalan di belakang dengan mata tajam ke arah Elkan.“Sidang perkara terdakwa Prof. Ismael dengan tuduhan pembunuhan berencana terhadap Roselea, dinyatakan dibuka
Keesokan harinya, gedung pengadilan negeri sudah dipadati orang. Pagi itu matahari memang bersinar, tapi hawa tegang terasa menusuk begitu seseorang melangkah memasuki halaman gedung. Polisi berjaga di pintu masuk, wartawan dengan kamera mereka siap mengabadikan setiap momen, sementara masyarakat yang penasaran berkerumun, membicarakan kasus besar yang menyeret nama seorang profesor ternama: Prof. Ismael.Elkan berdiri di tangga gedung pengadilan dengan wajah pucat tapi tatapan matanya tajam. Di sampingnya, duduklah pengacaranya, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat bernama Ardi Prakoso, yang terkenal jujur dan idealis. Ardi menepuk bahu Elkan seolah memberi semangat.“Tenang, dokter Elkan. Semua bukti sudah kita persiapkan. Jangan goyah walau pihak lawan mencoba menjatuhkan anda."Elkan hanya mengangguk, namun di dadanya, amarah dan luka lama kembali menyeruak. Bayangan wajah Rosela saat terakhir kali ia melihat istrinya, tergantung lemah di plafon kamar mereka sendiri, bibi
Pembalasan Terhadap Ismael DimulaiElkan kembali memikirkan kata-kata Mbah Karto sebelum ajalnya. “Prof. Ismael...,” nama itu terus terngiang di kepalanya. Setelah pemakaman Rose, Elkan mulai mencari informasi tentang profesor tersebut. Dengan bantuan Lima Madu Pahit, para kunti yang kocak namun loyal, Elkan menyusun rencana untuk menyerang Ismael di kediamannya, yang ternyata terletak di sebuah vila tua nan mencekam di pinggiran kota.Saat malam tiba, Elkan mengendarai mobilnya menuju vila, ditemani Kunkun, Kutu Kupret, dan Bungkring yang sibuk berdebat di kursi belakang.“Awas, jangan banyak gerak! Gue lagi fokus nih,” Elkan memperingatkan.Kunkun tertawa, “Santai aja, El. Lo tau, gue tuh pernah nyetir pakai sepatu roda di gunung! Ini mah kecil.”“Sepatu roda? Gunung? Ya ampun, Kunkun, lu makin ngaco aja!” Kutu Kupret tertawa terbahak-bahak.Elkan memijat pelipisnya. Perjalanan ini bakal panjang kalau mereka terus begini.Ketika mereka tiba di vila, suasana berubah menjadi sunyi. Po
Mbah Karto menatap lekat ke arah Elkan yang kini sedang mencengkram dengan kuat rahangnya, ia meringis kesakitan, nafasnya memburu, jantungnya berdegup dengan kencang. Mbah Karto tidak menyangka Torman bakal mengkhianatinya, sebab ia sudah membantu banyak pria ceking tersebut.“Arghk!” Erang Mbah Karto menggelengkan kasar kepalanya, berharap cengkraman tangan Elkan terlepas, karena rasa perih dan berdenyut mulai menjalar hingga ke telinganya.“Apa susahnya untuk bicara, katakan siapa yang telah memerintahkan kalian untuk melukai R-Rose?” Elkan seperti tidak sanggup mengucapkan nama sang istri, sepertinya rasa sakit itu masih ia rasakan.“L-le-pas-kan…” gerak manik mata Mbah Karto mengarah pada tangan Elkan, berharap dokter muda tersebut melepaskannya cengkramannya.Brugh!Tiba-tiba saja Kunkun datang bersama dengan Torman dengan keadaan kedua tangan terikat, mulut di lakban.“El, cepat tanyakan sama dia, dimana menyembunyikan Gindo dan Liana? Mereka bisa mati dua kali kalau seperti in







