Share

Bab 5

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 16:57:05

"Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli.

Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai.

Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini."

"Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan.

"Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya.

Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan.

Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan.

Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menganggap Arkana hanya sok suci.

Namun, suatu hari, diam-diam mereka memutuskan sholat di masjid tempat Arkana biasa beribadah ketika sedang di luar rumah. Dari situlah titik balik kehidupan mereka dimulai. Arkana membimbing mereka hingga kini, bahkan mendirikan bengkel ini untuk mereka agar bisa hidup lebih baik.

Di tengah obrolan, Farel tiba-tiba membuka topik lain. "Azam tuh, Gus. Pacaran," katanya sambil tetap sibuk mengutak-atik mesin.

Azam, yang merasa namanya disebut, langsung menoleh. "Astaghfirullah, saya gak ngapa-ngapain, Gus! Saya cuma mau melamar, ya wajar kalau chat-an, kan?" kilahnya membela diri.

"Asal chat-nya gak berlebihan, ya gak masalah lah," sahut Boni, pemuda paling tampan di antara kelima dari mereka.

"Makin pinter aja si Boni," Arkana terkekeh.

"Eh, ngomong-ngomong, katanya Gus Arkana juga mau melamar seseorang?" tanya Boni, penasaran.

Arkana tersenyum tipis. "Doakan saja, insyaAllah secepatnya," jawabnya penuh makna.

Gilang menyipitkan mata. "Cintaku bersemi dengan ning yang merupakan saudaraku." Ujar Gilang, menggoda Arkana.

Sontak, tawa pecah di bengkel itu.

Arkana kemudian mengangkat sebuah kantong plastik dan meletakkannya di meja. "Ini saya bawakan nasi kotak buat kalian."

"MasyaAllah, Alhamdulillah! Gak usah repot-repot, Gus. Tapi kalau sudah dibawakan, ya saya terima dengan senang hati," ujar Farel, wajahnya berbinar.

"Giliran makanan aja gercep," sahut Gilang, meledek.

"Kayak kamu gak pernah aja," balas Farel cepat, membuat yang lain tertawa lagi.

Arkana hanya menggelengkan kepala, tersenyum melihat kebersamaan mereka. Ia lalu berpamitan. "Saya pulang dulu, ya. Assalamualaikum."

"Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Gus!" jawab mereka serempak.

****

Zaina berjalan seorang diri di sepanjang trotoar, wajahnya masam. Ia tadi pergi ke pasar bersama Hana, tetapi saat izin ke toilet, Hana malah meninggalkannya begitu saja.

Lebih parahnya lagi, semua barang belanjaan ada di Hana, sementara Zaina tidak membawa uang sepeser pun.

"Tega sekali..." batinnya. Sejak awal, Zaina sudah tahu kalau Hana tidak menyukainya, tapi apakah harus sampai meninggalkannya seperti ini?

"Ya Allah, semoga ada keajaiban yang datang buat nyelamatin aku," gumamnya sambil terus melangkah.

Jarak antara pasar dan pesantren cukup jauh. Dengan gamis hitam dan kerudung coklat susu yang tertiup angin, Zaina melangkah tanpa tujuan, berharap ada seseorang yang mengenalnya dan bisa membantunya pulang.

Tiba-tiba, suara deru motor besar menghentikan langkahnya. Sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya.

Zaina menoleh, sedikit waspada, tetapi saat pengemudi motor itu melepas helmnya, ia langsung mengenali wajah itu.

"Kayak pernah kenal..." batinnya sebelum akhirnya sadar.

"Gus Arkana?" serunya, terkejut sekaligus lega.

Arkana menatapnya dengan ekspresi datar. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga!" Zaina tersenyum lebar. "Saya tadi ke pasar sama Hana, tapi dia malah ninggalin saya sendirian."

Arkana menghela napas. "Kenapa gak naik angkot atau taksi?"

"Saya gak bawa uang, Gus."

Arkana menatapnya tajam. "Otak kamu isinya apa sih? Kan bisa bayar nanti setelah sampai pesantren."

Zaina terdiam sesaat. "Iya juga, ya... Kenapa saya gak kepikiran?"

Arkana hanya menggeleng, sementara Zaina tersenyum penuh harap. "Tapi sekarang ada Gus Arkana. Mau kan nebengin saya sekali aja? Gus bakal dapat pahala, loh!"

"Yang ada malah dosa, Zaina. Kamu bukan mahrom saya."

"Ya ampun, Gus. Kan bisa duduk agak ke belakang," protes Zaina.

Arkana melirik motornya sekilas. "Motor saya bukan buat boncengan jauh. Kalau naik ini, kamu harus pegangan ke saya."

Zaina menatap motor itu lebih teliti. Benar saja, motor besar dengan jok belakang yang tinggi itu memang tidak memungkinkan untuk duduk tanpa pegangan.

Arkana melanjutkan, "Kalau kamu jatuh, saya yang repot. Jadi lebih baik cari taksi aja."

Arkana menghela napas, lalu merogoh saku celananya. "Ambil ini, pakai buat bayar taksi."

Zaina menatap uang itu sejenak, lalu menggeleng. "Gak usah, Gus. Saya bayar setelah sampai aja." Suaranya terdengar agak kesal.

Tanpa menunggu tanggapan, Zaina bergegas mencari taksi. Tak butuh waktu lama, sebuah taksi berhenti di depannya. Sebelum masuk, ia sempat melirik Arkana sekilas.

"Assalamualaikum," ucapnya singkat, lalu menutup pintu taksi.

"Wa'alaikumussalam." Arkana hanya menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. Sifatnya menggiatkan dengan adik perempuannya, setelah itu pria itu kembali mengenakan helm dan melajukan motornya.

****

Athar duduk berselonjor di sofa, matanya fokus menonton pertandingan sepak bola di televisi. Ia izin pulang ke ndalem hari ini karena merasa tidak enak badan. Di sampingnya, Umi Khadijah terlihat sibuk membaca novel islami.

"Umi, kapan Mbak Alana pulang?" tanya Athar tiba-tiba, memecah keheningan.

"Bulan depan, kayaknya," jawab Umi singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Athar mengangguk kecil, lalu kembali menonton.

Tak lama kemudian, Arkana keluar dari kamarnya. Begitu melihat adiknya masih duduk santai, ekspresinya langsung berubah.

"Athar, ngapain kamu di sini? Bukannya harusnya di asrama?" tegurnya dengan nada tegas.

Athar mendengus kesal. "Mas, aku lagi gak enak badan. Udah deh, jangan usir aku dulu."

Arkana mengerutkan dahi, jelas tidak percaya. "Alasan aja kamu. Pasti cuma mau nonton TV, kan?"

Athar melirik Arkana sekilas sebelum kembali fokus ke layar. "Umi, lihat deh. Mas Arkana nyebelin banget, selalu gak percaya sama aku," adunya dengan nada manja.

Arkana hanya menghela napas. "Jangan lembek, Athar. Kamu itu laki-laki," ujarnya.

Umi Khadijah yang sejak tadi mencoba menikmati novelnya kini melirik kedua anaknya bergantian. Tatapan tajamnya membuat mereka langsung diam.

Suasana kembali tenang. Arkana kini sibuk dengan ponselnya, sementara Athar masih asyik menonton televisi.

Tiba-tiba, Athar bersuara, "Umi, Mbak Zaina cantik ya."

Mendengar itu, baik Umi Khadijah maupun Arkana langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Nak? Kamu suka sama Zaina?" tanya Umi, sedikit penasaran.

Athar buru-buru menggeleng. "Nggak, Umi. Cuma bilang aja, emang bener Mbak Zaina cantik, kan?"

Umi Khadijah tersenyum kecil dan mengangguk. Memang benar, gadis itu memiliki wajah yang menawan kulitnya putih bersih, bibirnya merah alami, dan pipinya yang chubby membuatnya terlihat semakin manis.

"Gimana kalau kita jodohin Mas Arkana sama Mbak Zaina aja, Umi?" ujar Athar tiba-tiba, sambil nyengir jail.

Arkana yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung menoleh tajam. "Enak aja kamu! Aku udah ada calon."

Umi Khadijah terkejut. "Siapa, Le?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 77

    Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 76

    Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 75

    Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 74

    Zaina duduk di ruang tamu, sendirian. Suasana rumah terasa lengang. Arkana dan keluarga lainnya entah pergi ke mana, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Zaina, dengan sedikit susah payah, berjalan membukakan pintu. Di depannya berdiri Sendy, membawa sekantong buah-buahan dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat. “Halo, Za. Aku bawain buah nih. Sekalian mampir,” ujar Sendy sambil melambai kecil. Zaina menarik napas dalam, menahan perasaannya. Ia memang tidak begitu nyaman dengan perempuan itu. Ada sesuatu dari Sendy yang selalu terasa salah. Tapi Zaina bukan tipe orang yang suka ribut. “Masuk saja,” ucapnya datar. Sendy masuk, duduk santai di sofa, seolah rumah itu miliknya. Zaina kembali duduk, menjaga jarak. Sendy mengamati Zaina sekilas sebelum membuka percakapan. “Gimana kabarmu? Sudah agak baikan?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lumayan,” jawab Zaina singkat, tanpa basa-basi. Sendy terkekeh kecil, pura-pura tak memperhatikan n

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 73

    Lorong rumah sakit terasa lengang, hanya sesekali beberapa orang lewat terburu-buru. Kaelan dengan santai mendorong kursi roda Zaina, membiarkan percakapan kecil di antara mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara ringan, entah tentang kenangan lama atau tentang betapa banyak hal yang sudah berubah. Sesekali, tawa kecil Zaina terdengar, membuat wajahnya tampak bersinar. Seandainya ada orang lain yang melihat mereka, pasti mengira Kaelan adalah suami Zaina. Pria gagah berseragam dokter itu tampak begitu akrab, begitu melindungi. Dari kejauhan, seseorang melangkah cepat, membawa tas jinjing di tangan kanannya. Itu Arkana. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusan mendadak, dan kini matanya membulat saat melihat pemandangan itu. Zaina, bersama seorang pria. Bukan suster seperti sebelumnya. Arkana mempercepat langkahnya. "Bukannya tadi kamu sama suster?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun mengandung sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Zaina belum langsung menja

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 72

    "Mas, kita harus bicara yang sebenarnya ke Mbak Zaina," ujar Syifa, suaranya pelan tapi mantap. Arkana, yang sejak tadi hanya menunduk dalam diam, akhirnya menatap perempuan itu. "Aku gak bisa terus sembunyiin ini," lanjut Syifa. "Kamu gak salah, Mas." Arkana menghela napas panjang, kepalanya berat. "Aku gak bisa, Sif aku takut. Takut Sendy nekat, ngebahayain Zaina. ngebahayain anakku juga," jawabnya, suaranya penuh kegelisahan. Syifa mengangguk pelan. "Makanya kita lindungi Mbak Zaina sama-sama," katanya, yakin. "Setidaknya, kita kasih tahu dulu ke Mbak Zaina. Urusan yang lain biar nanti aja setelah masalah ini selesai." Arkana tampak berpikir keras. Ide itu memang terasa masuk akal, tapi ketakutannya tetap menggantung di hatinya. "Kalau dia gak percaya sama aku?" gumamnya ragu, hampir putus asa. "Aku udah terlalu banyak nyakitin dia." Syifa tersenyum kecil, mencoba memberi semangat. "Pasti percaya, Mas. Mbak Zaina bukan orang seburuk itu buat gak percaya. Apalagi kala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status