Zaina, seorang gadis yang baru saja kehilangan tantenya, dipaksa masuk pesantren untuk bekerja sebagai mbak dapur demi melindungi diri dari ancaman suami tantenya. Zaina terpaksa menikah dengan anak pertama kyai, karena kesalahpahaman. Mereka berdua harus saling beradaptasi, menghadapi gosip, dan mencari jalan menuju kebahagiaan meski penuh konflik.
View MoreZaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati.
Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan dan menggenggam tangan Ani dengan lembut. "Gak ada kata capek di dalam diri Zaina, tante. Semua yang aku lakukan demi kesehatan tante." Ani tersenyum, meskipun sorot matanya menyimpan kesedihan. "Nduk, tante bisa pergi kapan saja jika Allah berkehendak." Zaina menatapnya bingung. "Tante ngomongnya kok gitu?" "Aku udah gak punya siapa-siapa di sini. Tante harus temenin Zaina selamanya." lanjut Zaina menunduk, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ani memegang kedua tangan Zaina dengan erat, menghela napas panjang. "Nduk, nanti kalau tante sudah pergi... kamu jual rumah tante ini. Pergi ke pesantren Darul Hikmah, tempat tante dulu bekerja. Amankan sertifikat rumah orang tua kamu, jangan sampai suami tante merebut semuanya dari kamu." Zaina terdiam. Suasana tiba-tiba terasa sangat berat. "Tante..." "Tante ingin kamu aman, nduk. Jangan biarkan apa pun merusak hidupmu. Janji ya, setelah semuanya selesai, kamu harus pergi ke pesantren." Ani menatap Zaina dalam-dalam, penuh harap. Zaina memandang Ani dengan mata yang berkaca-kaca. "Tante jangan ngomong gitu, tante harus tetap kuat. Aku nggak tahu harus gimana kalau tante nggak ada." Ani tersenyum tipis, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya. "Kamu bisa, Zaina. Tante yakin itu. Kamu akan aman di sana. Jangan khawatirkan apa pun." Zaina menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Tante, harus ada disamping Zaina selamanya." Ani membelai rambut Zaina dengan lembut, memberikan kenyamanan di tengah kepedihan yang dirasakan. "Tante akan selalu ada di hatimu, nduk. Jangan pernah lupakan itu. Allah akan selalu menjaga kamu." **** "Zaina, yang tabah ya," ujar seorang tetangga, mencoba menguatkan. Zaina hanya menatap kosong ke arah jenazah Ani. Hatinya terasa berat. Ternyata, ucapan Ani malam itu bukan sekadar kata-kata tantenya memang sudah merasa ajalnya mendekat. Kini, Zaina hanya bisa menangis, merasakan kepergian orang yang paling ia sayangi. "Zaina, jenazah tantemu akan segera dishalatkan. Ayo, ambil wudu dulu, Nak," ucap seorang ibu yang berdiri di dekatnya. Namun, Zaina tetap diam, terpaku di tempat. "Biarkan dia tenang dulu, Bu. Dia pasti masih syok," sahut seorang ibu berbadan gemuk, yang lalu mendekati Zaina dan memeluknya dengan penuh empati. Setelah beberapa saat, Zaina tersadar dan berkata lirih, "Bu, saya mau wudu." Ibu itu mengangguk, lalu membimbing Zaina ke kamar mandi. Dengan hati yang berantakan, Zaina berdiri di barisan shalat untuk mengantarkan tantenya ke peristirahatan terakhir. Dalam setiap gerakan shalatnya, air mata terus mengalir, membasahi wajahnya. Saat salam terakhir, hatinya terasa hampa, seolah sebagian dirinya ikut pergi bersama tantenya. Setelah prosesi shalat, Zaina memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Dia tak sanggup melihat jenazah Ani dimasukkan ke liang lahat. Di rumah, beberapa ibu-ibu tetangga berkumpul menemaninya. "Kasihan sekali Ani. Bahkan di saat-saat terakhirnya, suaminya tidak datang. Apa tidak malu sebagai laki-laki?" bisik salah seorang ibu. "Bu, jangan bicara seperti itu," tegur yang lain, meskipun nada suaranya tak sepenuhnya menyalahkan. Di pojok ruangan, Zaina terduduk lemah. Bayangan tantenya yang tersenyum terus terputar di pikirannya, membuat rasa kehilangan itu semakin terasa nyata. Ibu Zila, wanita berbadan gemuk tadi, menghampiri Zaina sambil membawa segelas air putih. "Zaina, minum ini dulu, Nak." Zaina menerimanya dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bu." "Zaina," ucap Zila lembut, "lebih baik kamu baca Yasin sebanyak-banyaknya. Itu akan membantu menenangkan hatimu, dan semoga tante kamu juga tenang di alam sana." Zaina mengangguk. Kata-kata itu masuk ke dalam hatinya. Ia menyadari, menangisi kepergian Ani tak akan membawa kebaikan. Dengan perlahan, ia bergabung bersama ibu-ibu lainnya untuk membaca Yasin. Namun, suasana tenang itu mendadak buyar ketika suara lantang seorang pria menggema di dalam rumah. "Zaina! Serahkan sertifikat rumah Ani dan rumah orang tuamu sekarang juga!" Semua mata serentak tertuju ke arah pintu. Di sana, berdiri seorang pria paruh baya bertubuh kekar dengan tatapan penuh keserakahan. Zaina terperanjat. Ia berdiri perlahan, menghampiri pria itu. "Paman, tante baru saja meninggal. Tidak bisakah paman menunggu?" "Gue gak peduli! Gue mau semua sertifikat itu sekarang juga!" bentak Surya, pamannya, dengan nada penuh ancaman. Ibu Zila dan Desi, sahabat Ani, langsung berdiri, menahan amarah mereka. "Heh, Surya! Rumah ini dibeli dari hasil kerja keras Ani. Semuanya hak milik Zaina sekarang!" ucap Zila dengan tegas. Desi, yang tak bisa lagi menahan emosinya, menyahut. "Suami macam apa kamu ini? Kerjanya cuma ngabisin uang istri! Bahkan sekarang, di hari kematiannya, yang kamu pikirin cuma harta? Ingat dosa, Surya!" Surya mendengus kasar. "Ini bukan urusan lo semua. Ini masalah keluarga. Zaina, cepat kasih gue sertifikat itu!" Zaina menggeleng, suaranya gemetar. "Gak bisa, Paman." "Surya, mending lo pergi sebelum gue telepon polisi," ancam Zila sambil melipat tangan di dada. "Silakan! Gue gak takut!" Surya membalas dengan penuh kesombongan. Desi, yang sudah habis kesabarannya, langsung meraih gagang sapu yang ada di dekatnya. Tanpa pikir panjang, ia menghantamkannya ke tubuh Surya. "Aduh! Wanita gila!" Surya berteriak kesakitan sambil menghindar, namun Desi terus menyerangnya. "Pergi kamu!" bentak Desi sambil terus memukulkan sapu. Surya akhirnya mundur, mengusap lengannya yang terasa sakit. "Oke, gue pergi. Tapi gue bakal balik lagi, Zaina! Ingat itu!" Surya keluar dengan penuh kemarahan, sementara Desi berdiri dengan sapu di tangannya, napasnya tersengal. "Dasar laki-laki gak tahu malu!" gerutu Desi sambil menatap pintu. Zaina memandang Desi dan Zila, air mata mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian menghadapi semua ini. **** Malam itu hujan turun deras, mengguyur seluruh penjuru Jawa bagian Timur. Zaina duduk di lantai kamarnya, memasukkan pakaian ke dalam koper dengan hati yang berat. Esok pagi, ia akan pergi ke pesantren, memenuhi janji terakhir kepada tantenya. Tangannya menggenggam erat sertifikat rumah yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Rumah ini akan ia jual kepada Bu Desi. Sementara rumah orang tuanya akan tetap ia pertahankan. Sebenarnya, menjual rumah ini adalah hal yang ingin ia lupakan, tapi ini permintaan terakhir dari tantenya dan Zaina tidak sanggup mengingkarinya. Hasil penjualan rumah sebagian akan ia sumbangkan ke panti asuhan. Sisanya akan ia tabung untuk keperluan mendesak. Semua ini ia lakukan demi menghormati wanita yang telah merawat dan menyayanginya selama bertahun-tahun. Di depan cermin, Zaina berdiri dengan rambut panjangnya yang tergerai. Ia belum mengenakan hijab, sesuatu yang mungkin harus ia biasakan di pesantren nanti. "Tinggal di pesantren... tiba-tiba sekali. Apa aku bisa beradaptasi? Mereka semua pasti jauh lebih paham agama daripada aku," gumamnya pada bayangan di cermin, rasa khawatir terlihat jelas di matanya. Zaina menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya. "Bismillah. Ayah, Ibu, Tante... doakan Zaina, ya. Semoga aku bisa menjalani ini semua dengan kuat." Dengan ucapan itu, ia kembali beres-beres, mencoba menenangkan diri di tengah suara hujan yang terus mengguyur di luar.Syifa duduk rapi di sofa, menggenggam jemari tangannya sendiri. Perutnya yang mulai membuncit tampak samar di balik gamis longgar yang dikenakannya. Ia menunduk, menahan gelisah. Pikirannya melayang ke pesan dari Kaelan yang belum juga ia balas. Ia belum siap. Tak lama, suara langkah pelan terdengar dari arah dapur. “Maaf ya, lama,” ujar Zaina hangat, datang sambil membawa segelas air putih. Syifa cepat berdiri, tapi Zaina menahan bahunya lembut agar tetap duduk. “Aku yang minta maaf, Mbak, udah ngerepotin lagi.” Zaina tersenyum sambil duduk di sampingnya, matanya menatap Syifa penuh kasih. “Kamu itu udah aku anggap kayak adik sendiri, Sif. Jadi gak usah mikir repot atau enggak.” Syifa menunduk malu, tapi juga terharu. “Alhamdulillah... janinnya sehat, Mbak. Kata dokter perkembangannya juga bagus.” Zaina tersenyum semakin lebar. “Syukurlah. Kamu juga harus jaga makan, istirahat cukup ya. Jangan mikirin yang aneh-aneh.” Syifa hanya mengangguk pelan. Namun matanya s
Dengan langkah sempoyongan, Kaelan menyusuri lorong klub yang dipenuhi lampu kelap-kelip dan suara musik yang menghantam jantung. Tubuhnya terasa panas, keringat membasahi pelipisnya. Seolah ada bara api yang menyala di seluruh tubuhnya membakar kewarasannya perlahan-lahan. Tapi langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok perempuan yang duduk sendiri di sudut ruangan. Sesuatu dalam dirinya seperti memanggil Kaelan untuk mendekat. Wajah perempuan itu memerah, entah karena alkohol atau sesuatu yang lebih dari itu. Tanpa berpikir panjang, Kaelan melangkah mendekat. Perempuan itu berdiri, lalu tanpa aba-aba langsung memeluk tubuh Kaelan erat-erat. Napasnya memburu, bibirnya gemetar saat berkata, "Panas, kamu juga merasakannya, kan?" Suara itu tampak menggoda. Kaelan diam. Jantungnya berdebar. Tubuhnya berkata ya, tapi pikirannya berteriak tidak. Ia ingin mendorong gadis itu. Ingin berlari. Tapi ciuman hangat di lehernya membuat semua keinginannya lumpuh. Obat biadab itu t
Restoran yang dipilih Kaelan tidak ramai, suasananya tenang. Mereka duduk di meja dekat jendela, diterpa cahaya matahari siang yang hangat. Obrolan mereka ringan. Tentang makanan, tentang rumah sakit, tentang cuaca yang tak menentu. Untuk sesaat, Syifa merasa seperti tidak sedang membawa beban berat di pundaknya. Kaelan bisa membuat segalanya terasa lebih ringan dan lebih nyaman. Namun setelah beberapa waktu, pembicaraan mereka terhenti. Keduanya terdiam sambil menyesap minuman masing-masing. Kaelan menatap wajah Syifa lekat-lekat. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Wajah gadis ini terlalu familiar. Bukan hanya dari pertemuan singkat sebelumnya. Seolah mereka pernah lebih dekat? "Kenapa?" tanya Syifa, menyadari tatapan itu. Kaelan cepat menggeleng sambil tersenyum. "Gak apa-apa. Cuma, merasa pernah ketemu kamu di tempat lain, tapi lupa di mana." Syifa menunduk sedikit. "Mungkin dunia ini memang kecil." Kaelan tersenyum lagi, lalu mengambil kartu nama dari dompetnya
Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k
Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i
Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments