Wira berlari menuju parkiran, pikirannya sudah tak karuan. Tak lagi mempedulikan teriakan Mami yang memanggil namanya.
Satrio ternyata tak berada di mobil. Wira memeriksa kondisi pintu mobilnya yang kini masih dibiarkan terbuka. Benar, satu sandal Rinai tergeletak di sana.
Wira mengambil gawai dan menelpon Satrio. Namun tak ada jawaban. Dia menghubungi Rinai, akan tetapi sama juga tak ada jawaban. Wira berlari menuju post security dan meminta bantuan untuk mengecheck CCTV. Kedua security yang berjaga memicing curiga menatap wajah Wira. Bagaimanapun mereka tak mengenali siapa lelaki yang baru datang itu.
“Maaf, Pak! Saya tidak bisa memberikan akses pada sembarangan orang, Pak! CCTV ini hanya internal kami yang boleh mengaksesnya!” ucapnya dengan alasan karena harus menjalankan SOP. <
Gelas berisi air teh hangat yang Harum buat mendadak pecah. Dia tiba-tiba teringat Rinai yang jauh di sana. Sejak Harsuadi mengatakan jika putrinya dekat dengan keluarga Tuan Dharma, pikiran Harum sudah mulai tak tenang. Bahkan sudah beberapa hari ini dia mencari informasi tentang Yayasan penyalur tenaga kerja yang waktu itu menjadi cukang lantaran Rinai mendapatkan pekerjaan.“Ya Allah ada apa ini? Lindungilah putriku!” Harum memegang dadanya yang tiba-tiba terasa berdebar tak karuan.Diliriknya tas lusuh yang berisi beberapa helai pakaian miliknya. Besok dia akan pergi ke kota dan mencari keberadaan Rinai yang memang belum pulang semenjak kepergiannya dan belum mengabarinya juga. Keterbatasan alat komunikasi menjadi salah satu penyebabnya.“Bismillah! Mudahkan Ya Allah!” batinnya.
Rinai masih terduduk sambil memeluk lutut, tenggorokannya terasa kering karena sejak penangkapan semalam, tenggorokannya sama sekali belum tersentuh air. Waktu yang sudah beranjak siang pun membuat tubuhnya terasa lemas dan perut yang terasa perih karena belum diisi makanan.Kakinya sudah terasa tak bertenaga, berkali-kali mencari celah untuk melarikan diri, akan tetapi tak ada celah sama sekali, hingga akhirnya dia hanya duduk tepekur sambil memanjatkan doa. Rinai sadar, jika ada kekuatan yang melebihi segalanya yaitu kehendak Allah.Rinai masih duduk sambil memeluk lutut ketika pintu bangunan itu terbuka. Kedua netra Rinai menyipit memperhatikan siapa yang datang mehghampirinya."Selamat siang, Rinai!" sapa seorang lelaki paruh baya setelah berjarak cukup dekat.Ri
Om Steven masih melongo mendengar semua penuturan Harum. Namun segera ditepisnya kemungkinan itu. Kalau memang Harum memiliki putri darinya, tak mungkin dia meninggalkannya dan meminta cerai dulu. Bukan hanya Om Steven yang terkejut, akan tetapi Rinai, Wira dan Satrio pun sama. Mereka menatap ibunda Rinai itu dengan netra penuh rasa penasaran.“Kamu pasti hanya mengada-ada ‘kan Harum?” Om Steven mematung. Namun dirinya tetap memindai wajah Rinai yang jika diperhatikan dengan seksama memiliki hidung yang mancung seperti miliknya.“Maafkan aku yang menyembunyikan semua kebenaran ini dari kalian! Rinai, maafin Ibu. Hari ini sekalian Ibu kasih tahu jika ayah kamu bukan ayah Harsuadi, tetapi ayah kandung kamu adalah dia!” Suara Harum bergetar. Sementara itu, Rinai yang tadi dipeluknya kini mengangkat wajah dan menatap lekat-lekat.&nbs
Waktu berputar cepat, tetapi Wira yang belum mengantar mereka pulang kembali ke kampung. Dikarenakan beberapa kasus kemarin yang menyita perhatiannya ada beberapa masalah krusial di perusahaan. Dalam waktu seminggu itu, kadang hanya pagi hari saja Wira mampir ke apartemen dan menamui Harum dan RInai yang masih berada di sana. Bahkan Wira tak tahu jika semenjak kejadian itu, Rinai memiliki masalah pada lambung. Beberapa obat yang dibelinya di apotek terdekat bahkan hanya bisa mengurangi nyeri pada ulu hatinya sekejap saja.[Bang, anterin aku pulang, dong!] sore itu Rinai mengirim pesan pada Wira. Tetapi hanya centang hitam dua, berarti pesan itu belum dibaca.Ah, mungkin kekasihnya itu tengah sibuk. Wira meminta waktu selama sekitar dua minggu untuk membereskan permasalahan internal perusahaan pada Rinai.Malam menjelang, Rinai menatap Harum yang sudah terlelap.
Kedua pengantin itu berdiri di atas pelaminan dengan senyuman sumringah di wajah Pak Sutono saja. Para tamu undangan beruntun menyalami. Namun tiba-tiba sebuah mobil mewah yang menerobos masuk ke area resepsi mengalihkan semua perhatian. Kursi-kursi terjungkal dan suara deru mesin yang mendesing kencang. Semua menatap pada pintu mobil yang perlahan terbuka. Batin Tasya yang sudah hancur berantakan semakin kacau dengan keadaan resepsi sekarang.Semua mata memandang ke arah mobil Pajero yang berhenti di tengah ramainya acara. Turun tiga orang perempuan dengan pakaian yang cukup mencolok. Pada usianya yang sepertinya sudah di atas empat puluh tahunan ketiga perempuan itu masih mengenakan pakaian yang seksi dan menampakkan sebagain auratnya.“Maaf, ibu-ibu ini siapa?” salah seorang panitia yang memakai pakaian batik tergopoh menyapa. Sementara itu, netra Juragan Suto
Kedua netra Rinai terasa basah. Ada haru yang menyentuh hatinya. Gerakan mulut Wira dan seluruh ucapannya berputar dalam ingatan membuat lengkung indah pada kedua sudut bibirnya merekah. Namun nuansa romantic itu tak berlangsung lama. Derit pintu mengalihkan perhatian mereka. Kedua pasang mata Rinai dan Wira menatap sosok yang datang. Wira bangkit dan berjalan tenang dengan sorot mata yang tajam.“Ada perlu apa Om ke sini?” tanyanya dengan suara dingin.Om Steven menarik napas panjang. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sebelum memulai ucapannya.“Om mau ketemu putri Om, Wira!”Kedua alis Wira saling bertaut, dia mencari kejujuran dari kedua bola bening Om Steven. Lelaki paruh baya itu mengangguk dengan yakin. Satu per satu langkahnya mengayun m
Kalimat ijab qabul akhirnya mengalun memenuhi ruangan sempit itu. Kedua saksi sudah mengucap sah. Satu kecupan Wira daratkan pada kening Rinai. Wira mencium punggung tangan Om Steven dan Harum sebagai permintaan restu.Hati Satrio yang hancur, setidaknya terobati dengan senyuman tulus dari bibir mungil Rinai. Gadis yang terbaring di ranjang pasien itu masih terlihat lemas dan pucat.Satrio memeluk Wira singkat dan mengucap selamat. Sebagai seorang ksatria seperti yang tersirat pada namanya. Satrio bersikap tegar. Dia ikut bahagia karena Rinai berada pada orang yang seharusnya.“Gue memang selalu kalah satu langkah di belakang lu, Tan! Congrats, ya, Bro!”“Lu memang sobat terbaik gue, Sat! Moga lu cepet dapet
Rinai membuka lemari es, kemarin dia belanja kebutuhan harian mereka untuk satu minggu. Wira tak membolehkannya keluar dari apartemen sendirian, karena itu belanja kebutuhan dapur pun hanya seminggu sekali.Diambilnya satu bungkus daging sapi segar, bawang bombay dan beberapa bumbu lainnya untuk membuat beef teriyaki. Sebuah menu baru yang dipelajarinya beberapa waktu lalu dari laman web. Akhir-akhir ini, untuk membunuh kejenuhan karena belum memiliki kegiatan. Rinai sering sekali mengeksplor kemampuannya dalam mengolah makanan.Semua bahan sudah disiapkan, minyak sudah dipanaskan, hanya saja tengah menunggu satu jenis saus yang ternyata habis. Akhirnya dia memesan online pesanan tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore ketika daun pintu diketuk. Rinai tersenyum sumringah, mengira yang ditunggunya sudah datang.Rinai membukakan pintu apartemen. Dia lupa pesan W