PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN
#MENIKAH DENGAN SULTAN (5)Subscribe dulu sebelum baca 🥰🥰🥰Tasya merapikan pakaiannya. Pergumulan panas itu baru saja selesai. Ada rasa perih pada bagian inti tubuhnya, akan tetapi itu tak apa yang terpenting sekarang ialah kunci mobil itu sudah di tangannya. Kemewahan bagi Tasya adalah tujuannya.
Dia menunggu Rendi yang masih membersihkan diri di kamar mandi. Tasya menyisir rambutnya yang basah. Duduk di depan cermin besar sambil menatap pantulan wajahnya yang tampak segar setelah mandi tadi. Sesekali senyum mengembang ketika terbayang jika dia bisa memamerkan mobil baru pada keluarganya. Dia pun sudah berencana akan membawa mobil barunya untuk mengunjungi tempat Rinai---saudara tiri yang sangat dibencinya.“Sampai kapanpun, hidupmu tak akan lebih baik dari pada aku, Rinai! Kamu dan ibumu pantas menderita.” Tasya tersenyum menyeringai. Baginya adalah sebuah kepuasan ketika bisa melihat Rinai menderita. Rendi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut. Dia menghampiri Tasya dan mengecup pucuk kepala kekasihnya. Dia berbisik pada daun telinga Tasya yang membuat rona merah pada wajahnya.“Kamu luar baisa, Sayang!” bisiknya. Kemudian dia berlalu dan segera mengenakan pakaiannya, karena setelah ini dia harus segera kembali ke kantor. “Mas, kamu ke kantor pakai apa? Mobilnya ‘kan aku bawa?” Tasya menatap lelaki yang sudah membuatnya mabuk kepayang itu. Lelaki yang mengenalkan surga dunia padanya. “Aku naik taxi saja. Mobil kamu bawa pulang saja!” ucap Rendi sambil mengerling pada kekasihnya. Tasya mengulas senyum. Tak sabar ingin segera memamerkan mobil itu pada keluarganya. Meskipun hari ini ayah dan ibunya sedang keluar kota, akan tetapi masih ada Tisya. “Ya sudah kalau gitu, kamu hati-hati!” ujar Tasya sambil berdiri dan mengambil tasnya. Keduanya berjalan bergandengan begitu mesra, bak pengantin baru yang sedang berbahagia. Sebelum keduanya berpisah, Rendi mengajak Tasya makan dulu di hotel mewah itu. “Mas, aku butuh STNK nya juga. Masa kunci mobilnya saja?” Tasya merengek pada Rendi. Lelaki yang tengah menyuap itu hampir tersedak. Dia tampak kikuk dan berdiam sejenak. “Kenapa, sih?” Tasya mengernyitkan alisnya yang baru saja dibentuk ulang itu. “Emhhh … gini, Sayang!” Rendi memulai merangkai kata. Tasya menatap lekat wajahnya. “Hmmm?” Satu alis Tasya terangkat menunggu Rendi melanjutkan ucapannya. “Mobil ini sebetulnya sudah aku hibahkan buat perusahaan. Ya, namanya juga cuma mobil murah gitu. Jadi namanya masih nama perusahaan. Gak apa?” Rendi menatap Tasya setelah berhasil mencari alasan yang paling masuk akal. “Ya ampuuun, kirain ada apa?” Tasya terkekeh dan melanjutkan makannya. Rendi menunggu jawaban kekasihnya itu dengan was-was.“Aku malah bangga sama kamu, perusahaan sekelas Dharma grup saja masih kamu sumbang inventaris mobil! Betapa kaya rayanya kamu, Mas! Aku makin tak sabar bisa jadi istri kamu,” ucap Tasya dengan mata berbinar bahagia. Rendi tersenyum lega. Ternyata semua tak serumit yang dia pikirkan. Lelaki itu kemudian mengeluarkan STNK dari dalam dompetnya dan menyerahkan pada Tasya.“Ya, mau gimana juga, aku ini kan 'kerabat dekat mereka, Sayang! Siapa lagi kalau bukan aku yang mendukung penuh perusahaan keluarga kami! Toh kalau ada keuntungan lebih, aku pun kebagian bagian cukup besar juga!” ucapnya dengan penuh kesombongan. Tasya semakin kagum dan sangat bahagia mendengar semua itu. Sudah terbayang kehidupan seperti apa yang nantinya akan didapatkan olehnya di masa depan. “Ya ampuuun! Kamu keren banget sih, Mas! Aku makin sayang rasanya!” ucap Tasya dengan netra berbinar. Rendi mengangkat satu alisnya dan tersenyum. Cukup bahagia ketika berhasil membuat wanita itu percaya dengan mudah terhadapnya. Keduanya berpisah. Rendi kembali ke kantor menggunakan taxi, sedangkan Tasya langsung mencoba mobil barunya menuju rumah. Dia memijit klakson berulang agar kakaknya---Tisya segera keluar. Gadis yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu menghampiri ketika melihatnya melambaikan tangan. Tisya mengerutkan kening heran. “Kamu pake mobil Rendi, Sya?” Tisya menatap adiknya, menunggu jawaban dari perempuan dengan senyum mengembang itu. “Tadi pagi sih mobil Rendi, tapi sekarang udah jadi mobil aku!” ucap Tasya dengan percaya diri. “What? Rendi kasih mobil ini buat kamu?” Tisya membelalak tak percaya. Tasya mengangguk yakin. “Iyalah, aku ini calon istri kerabat pemilik perusahaan Dharma Grup yang cabang perusahaannya di mana-mana. Nanti kalau dia udah nikahin aku … mobil aku mau ganti tiap bulan. Buat apa kekayaan laki yang banyak kalau gak dinikmati, iya gak?” Tasya menatap kakaknya dengan wajah bahagia. “Kapan Mbak dapet pacar setajir Rendi, ya? Mas Hengki boro-boro beliin mobil, malah pinjem duit mulu!” gerutu Tisya sambil mengeluh.“Tar aku cariin, ya kali Rendi masih punya sepupu-sepupuan gitu! Ayo Mbak ikut gak? Aku mau ke tempat si Udik, pengen lihat wajah cengonya. Puas rasanya melihat dia melongo nanti!” kekeh Tasya sambil membayangkan wajah Rinai.
“Oke, Mbak sudah lama juga gak bully dia. Gatel rasanya ini mulut. Eh, tapi beneran, ya! Cariin Mbak pacar dari kerabatnya Rendi! Mbak nanti langsung putusin Mas Hengki, deh! Males banget punya cowok kek gitu!” keluh Tisya sambil duduk di samping Tasya. “Oke, beres!” Tasya mengangkat satu alisnya ke atas.Keduanya melaju menuju tempat tinggal Rinai yang berada di area pinggiran sungai. Tempat yang sebetulnya lebih mirip perkampungan kumuh. Rumah-rumah tidak standard dan hanya terbuat dari papan berjejer di sana. Ada juga yang sudah dibuat menggunakan bata tetapi tidak penuh sampai atas. Begitu pun kediaman Rinai, hanya terbuat dari papan-papan saja dengan luas tidak seberapa.Dari jauh, tampak Rinai tengah menjajakan rempeyeknya pada meja kecil yang terbuat dari kayu di tepi jalan. Tempat dia berjualan sedikit jauh dari rumahnya karena inilah tempat yang agak ramai. Di mana ada pertigaan menuju pasar.
Tasya sengaja melajukan mobilnya lebih kencang dan mengambil tepi. Ketika sudah dekat, dia sengaja menabrak meja kecil itu hingga meja tempat Rinai menjajajkan jualannya terjungkal. Semua bungkusan rempeyeknya berhamburan. Sebagian remuk terinjak mobil yang melaju dan berhenti beberapa meter setelahnya.“Astaghfirulloh!” Rinai memekik kaget. Dirinya pun hampir saja terserempet hingga terjatuh. Beruntung tidak apa-apa.
Tasya dan Tisya turun sambil melipat tangan di dada. Menatap nyalang pada Rinai yang tengah memunguti dagangannya. Keduanya tak sadar. Ada sepasang mata elang menatapnya penuh kemarahan. Sepasang mata dari pemulung tampan yang tengah mendorong gerobak ke arah mereka.Dua minggu sudah berlalu, Abian berangkat ke rumah sakit ditemani Steven untuk mengambil hasil test DNA. Hatinya harap-harap cemas, Almeera yang cantik itu adalah darah dagingnya. Jika bukan, Abian hanya mengkhawatirkan nasib Almeera di masa depannya. Bagaimanapun seorang perempuan jika hamil di luar nikah, maka anaknya bernasab pada ibunya. Satu lembar amplop putih itu sudah diterima Abian. Dia melirik Steven yang turut menyaksikan isinya. Berulang kali, Steven meminta maaf karena dia baru tahu apa yang sebetulnya terjadi. Selama ini, Angel hanya bercerita pada Elissa---maminya. Sementara itu, Steven menganggap semuanya baik-baik saja. Bahkan ketika Angel memutuskan untuk tinggal di rumah mereka pun alasannya karena Abian sering pulang malam dan jadi kesepian. Dia percaya begitu saja. Keduanya duduk di lorong rumah sak
Abian yakin, Milalah yang mengompori Azizah untuk menikahkannya lagi. Abian sadar jika Mila iri pada Angel karena langsung hamil dan Azizah mengistimewakannya. Karena itu, dia kini ingin melihat reaksi perempuan itu, jika suaminya yang harus menikah.Seketika wajah Mila memucat. Dia lupa karena terlalu sibuk mengurusi ibu mertuanya agar membenci Angel, dia pun sama memiliki kekurangan. Usia pernikahannya dengan Abizar sudah cukup lama, tetapi cucu yang dinantikan keluarga belum juga ada. Dia lupa setiap ujian pernikahan itu berbeda, jika Abian diuji dengan kehamilan Angel yang terlalu cepat, maka dirinya pun sama yaitu diuji dengan menunggu buah hati yang tak kunjung datang.“Abian! Kamu gak pantas bicara seperti itu pada kakak iparmu, di depan tamu pula!” Azizah merasa tak enak. Dia melirik pada keluarga calon besannya yang kini tampak tak nyaman.&ld
“Nanti kamu paham!” bisik Satrio sambil menarik tubuh istrinya untuk berbaring di tempat tidur yang sama.Wajah Maila semakin memanas. Tubuhnya serasa melayang ketika Satrio mulai menyentuhnya. Dia memejamkan mata karena malu. Perasaan bercampur baur menjadi satu. Awalnya keduanya pun masih canggung melakukannya. Namun naluri akhirnya menuntunnya, tubuh Maila yang awalnya tegang karena gugup pun sudah semakin rilex. Perlahan penyatuan itu terjadi, meski sakit dan perih pada awalnya, tetapi perlahan membawanya membumbung menuju puncak surga dunia.Udara yang dingin karena AC tak lagi terasa, keringat membanjiri tubuh Satrio, begitupun Maila. Ada tetes air mata terjatuh pada sudut netra Maila ketika mereka usai melakukannya. Satrio mengecup pucuk kepala gadis yang sudah menyerahkan hidupnya padanya.“Kenapa nangis, May?”
“Saya hanya gak percaya diri, Pak! Saya hanya gadis yatim piatu yang miskin, tak berani bermimpi jadi istri Bapak!” tukas Maila lirih.Satrio mendekat. Tangannya mengambil dagu itu agar wajah Maila terangkat. Ditatapnya manik hitam yang selah terhipnotis itu dengan lekat. Entah magnet apa yang membuat wajahnya semakin mendekat, mendekat dan hampir tak menyisakkan jarak bersama gelayar hangat yang menjalar di dadanya.Satrio kembali menjauhkan wajahnya dari Maila setelah mereguk manis bibir yang gemetar itu. Wajah Maila merona dan memanas. Seluruh dunia rasanya berhenti ketika mereka melakukannya. Bahkan kaki Maila saja masih gemetar, ini sentuhan pertama yang di dapatnya dari seorang lelaki.“Aku tak pernah mempermasalahkan status sosial. Hanya saja aku mempermasalahkan ketidak konsistenan kamu
Satrio melirik ke arah Maila yang masih bengong. Dia berdiri lalu menarik tangan Maila menuju kamarnya. Maila setengah menolak, tetapi tak kuasa. Bingung juga harus berbuat apa, tiba-tiba dirinya kini tengah berduaan dengan atasan yang mendadak menjadi suaminya.Keduanya memasuki kamar yang cukup luas itu. Satrio menggiring Maila untuk duduk di tepi tempat tidur. Hati Maila berdentum, terlebih ketika Satrio memegang dagunya dan membuat wajahnya terangkat.“Ya Tuhaaan? Apakah hari ini kami akan melewati malam pertama?” batin Maila seraya debaran dalam dadanya bertalu tak karuan.Maila sudah memejamkan mata, akan tetapi Satrio melepas tangannya. Dia menjauh dan mengambil kotak P3K. Satrio kembali dan duduk di tepi ranjang berhadapan dengan Maila. Dia mengeluarkan alkohol dan kapas, lalu tangannya kembali mendekat ke wajah Maila yang masih terpejam.&nbs
“Mas, andai kamu gak ridho … maka ceraikan saja aku! Aku ikhlas, aku tak ingin membuat kamu dan keluargamu kecewa pada akhirnya! Aku akan menerimanya dengan lapang dada, Mas!” tukas Angel dengan suara parau karena tangisan.Menatap kedua netra Angel yang mengembun, sontak membuat Abian terkesiap. Dia sadar ada sosok rapuh di depannya yang butuh dikuatkan, tetapi pernyataan Angel yang diluar dugaan membuatnya shock. Bahkan kebahagiaan yang belakangan ini hadir karena dirinya akan mejadi ayah, gelar baru yang diidam-idamkannya.Abian hanya bergumam, tak terdengar jelas. Namun tangannya merengkuh Angel dan disandarkan pada dadanya. Dikecupnya pucuk kepala Angel. Ada hembusan napas berat terdengar.“Jangan bicara seperti itu, Sayang! Aku tak akan menceraikanmu! Sab