PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN
#MENIKAH DENGAN SULTAN (6)“Astaghfirulloh!” Rinai memekik kaget. Dirinya pun hampir saja terserempet hingga terjatuh. Beruntung tidak apa-apa. Tasya dan Tisya turun sambil melipat tangan di dada. Menatap nyalang pada Rinai yang tengah memunguti dagangannya. Keduanya tak sadar. Ada sepasang mata Elang menatapnya penuh kemarahan. Sepasang mata dari pemulung tampan yang tengah mendorong gerobak ke arah mereka. Rinai menatap bungkusan rempeyek miliknya yang berserakan, setengahnya hancur karena terinjak mobil. Rinai memungutinya satu-satu. Pungguh ringkihnya membuat hati Wira terasa sesak. Namun jarak dia lebih jauh dari pada Tasya dan Tisya yang sudah melenggang mendekatinya. “Hey, anak pelakor! Kasihan banget, sih! Peyek sudah hancur juga masih kamu pungutin! Semiskin itukah hidup kalian sekarang?” Tisya yang sama bermulut pedas berdiri sambil memicing merendahkan. Diinjaknya bungkusan rempeyek yang sedang Rinai punguti oleh heelsnya. Tasya ikut tergelak melihat kelakuan kakaknya. Dia menatap wajah Rinai yang menatap mereka tajam. Tak ada sedikitpun kilat takut terpancar. “Kalian kenapa, sih? Apakah hidup kalian tidak tenang jika tidak mengganggu orang?! Tolong pergi dari sini!” hardik Rinai. Tangannya mengepal menahan kesal. “Mbak, kita disuruh pergi?” kekeh Tasya sambil melirik Tisya. “Ya pastilah, Sya! Kita juga mana mau berlama-lama tinggal di tempat kumuh seperti ini! Jijik, penuh kuman, bias-bisa kulit kita nanti gatal-gatal kalau kelamaan. Kita di sini Cuma mau bilang, kalau kami anak dari ibu yang pernah disakiti oleh ibumu itu hidupnya pasti lebih senang dan bahagia. Hmmm, asal kamu tahu … Tasya sekarang sudah punya mobil sendiri. Tuh, kamu bisa lihat! Kalian, jangankan punya mobil, rumah saja kayak kandang bebek!” celoteh Tisya panjang lebar. “Kadang aku bingung dengan pola pikir orang yang merasa kaya seperti kalian. Apa untungnya ngerecokin hidup orang? Kami tidak pernah merepotkan kalian lagi. Aku bahkan tidak pernah menuntut lelaki yang kalian panggil ayah untuk datang ke sini sekadar memberi nafkah! Aku tak pernah ingin berurusan dengan kalian, kenapa kalian selalu ingin berurusan denganku?!” Rinai memandang penuh kemarahan.Wira yang tadi sudah mempercepat langkahnya berhenti beberapa meter. Perempuan yang disangkanya lemah dan tak berani melawan itu ternyata begitu menakjubkan. Kedua netra Wira menatap lekat wajah Rinai yang tengah berbicara panjang lebar.
Tasya dan Tisya saling melempar pandang. Keduanya kembali mendekat dan menyisakkan jarak beberapa langkah. “Gadis udik ini ternyata begitu pandai bersilat lidah! Cih!” ucapnya sambil meludah ke arah tumpukkan rempeyek baru beberapa bungkus Rinai susun kembali. Rinai mengatur napas turun naik. Menocba tidak terpancing oleh provokasi mereka yang semakin menjadi. “Jangan kepedean kamu, Nay! Aku juga malas berurusan dengan orang miskin sepertimu! Kami di sini datang hanya untuk mengingatkan jika sakit hati ibu kami tak akan pudar oleh waktu! Selain itu, kamu hanya ingin bilang ke kamu … kalau kehidupan kami selalu jauh lebih baik dari kamu! Duhai anak pelac*r!” celoteh Tasya. Amarah Rinai kembali memuncak setiap kali ada seseorang yang menghina ibunya. Dia mengulangkan tangan untuk menampar mulut Tasya yang tak bosan-bosan menghina ibunya. Namun kali ini Tisya menghadang. Dia menangkap tangan Rinai dan melipatnya ke belakang. Tasya maju menarik kerah baju Rinai. Tangannya mengulang hendak menjatuhkan tamparan. Namun sebuah tangan kekar menangkapnya lalu menepisnya kasar hingga tulang kering di pergelangan tangannya terasa ngilu. “Hentikan! Hentikan perbuatan kalian!” suara berat seorang lelaki dengan nada sedikit tinggi. Tasya dan Tisya menoleh. Tampak lelaki dengan caping kain tengah berdiri. Handuk yang sudah lusuh tersampir di bahunya. Wajahnya tampak kotor meskipun tidak menutupi garis ketampanannya.“Siapa kamu? Kenapa ikut campur masalah kami?!” Tasya memekik sambil menatap lekat wajah itu.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Jika dia Rinai, maka aku adalah Badai dan kami bisa menghancurkan kalian!” ucap Wira dingin. Sorot matanya penuh kemarahan. “Bisa apa kamu? Cuma seorang pemulung rupanya!” kekeh Tisya ketika menoleh gerobak berisi botol-botol bekas terparkir tidak jauh dari sana. Wira menyeringai. Lalu memutar tubuh dan menjauh dari mereka. Wira mengambil sebuah dahan patah yang tergeletak tidak jauh dari sana. Lalu mendekat ke arah mobil yang terparkir. Tanpa kedua perempuan itu duga, Wira mengangkat kayu itu tinggi-tinggi dan memukul bagian depan mobil itu hingga penyok. “Astagaaa! Hentikan kamu!” Tasya berlari terbirit-birit menghampiri Wira yang tengah mengangkat potongan dahan kayu yang cukup besar itu. Tisya mendorong tubuh Rinai sebelum mengejar adiknya, akan tetapi Rinai menghindar sehingga tubuhnya oleng dan membentur tepi meja kecilnya. “Kamu, ya!” Tisya melotot yang dijawab oleh senyum miring Rinai. Perempuan itu pun menyusul adiknya yang hendak memaki lelaki yang telah merusak mobilnya. Tasya mendorong tubuh Wira, akan tetapi tidak tergeser sama sekali. Lelaki itu menatap kedua perempuan itu dengan mata penuh kemarahan. “Kalian mau pergi sekarang? Atau mau saya hancurkan benda kesayangan kalian ini?” ucap Wira sambil melirik kembali ke arah mobil. “Awas, ya! Kami akan melaporkan perbuatanmu ke kantor polisi! Dasar orang miskin gak tahu diri!” ucap Tasya dengan penuh kemarahan. “Heh, asal kamu tahu! Adik saya ini calon istri dari Pak Rendi---kerabat dekat pemilik perusahaan Dharma Grup yang cabang perusahaannya di mana-mana! Kamu siap-siap dijadikan peyek oleh calon suami adikku nanti! Dasar orang miskin!” bentak Tisya pada lelaki bercaping yang masih berdiri tak jauh dari mereka. Wira mengernyit. Sejak kapan dia memiliki kerabat bernama Rendi. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Rupanya banyak orang yang menjual namanya di luaran. Lalu dia menatap kembali Tasya dan Tisya bergantian. “Pergi sekarang atau mobil ini saya hancurkan!” ucapnya dingin sambil mengangkat kembali dahan yang cukup besar itu. Tasya dan Tisya saling melempar pandang. Lalu keduanya bergegas masuk ke dalam mobil karena takut lelaki itu kembali memukul mobilnya. “Awas, ya! Besok Mas Rendi ke sini dan bawa polisi buat nangkep kamu! Siap-siap hidup di penjara!” teriak Tasya sambil terburu-buru melajukan mobilnya.Dua minggu sudah berlalu, Abian berangkat ke rumah sakit ditemani Steven untuk mengambil hasil test DNA. Hatinya harap-harap cemas, Almeera yang cantik itu adalah darah dagingnya. Jika bukan, Abian hanya mengkhawatirkan nasib Almeera di masa depannya. Bagaimanapun seorang perempuan jika hamil di luar nikah, maka anaknya bernasab pada ibunya. Satu lembar amplop putih itu sudah diterima Abian. Dia melirik Steven yang turut menyaksikan isinya. Berulang kali, Steven meminta maaf karena dia baru tahu apa yang sebetulnya terjadi. Selama ini, Angel hanya bercerita pada Elissa---maminya. Sementara itu, Steven menganggap semuanya baik-baik saja. Bahkan ketika Angel memutuskan untuk tinggal di rumah mereka pun alasannya karena Abian sering pulang malam dan jadi kesepian. Dia percaya begitu saja. Keduanya duduk di lorong rumah sak
Abian yakin, Milalah yang mengompori Azizah untuk menikahkannya lagi. Abian sadar jika Mila iri pada Angel karena langsung hamil dan Azizah mengistimewakannya. Karena itu, dia kini ingin melihat reaksi perempuan itu, jika suaminya yang harus menikah.Seketika wajah Mila memucat. Dia lupa karena terlalu sibuk mengurusi ibu mertuanya agar membenci Angel, dia pun sama memiliki kekurangan. Usia pernikahannya dengan Abizar sudah cukup lama, tetapi cucu yang dinantikan keluarga belum juga ada. Dia lupa setiap ujian pernikahan itu berbeda, jika Abian diuji dengan kehamilan Angel yang terlalu cepat, maka dirinya pun sama yaitu diuji dengan menunggu buah hati yang tak kunjung datang.“Abian! Kamu gak pantas bicara seperti itu pada kakak iparmu, di depan tamu pula!” Azizah merasa tak enak. Dia melirik pada keluarga calon besannya yang kini tampak tak nyaman.&ld
“Nanti kamu paham!” bisik Satrio sambil menarik tubuh istrinya untuk berbaring di tempat tidur yang sama.Wajah Maila semakin memanas. Tubuhnya serasa melayang ketika Satrio mulai menyentuhnya. Dia memejamkan mata karena malu. Perasaan bercampur baur menjadi satu. Awalnya keduanya pun masih canggung melakukannya. Namun naluri akhirnya menuntunnya, tubuh Maila yang awalnya tegang karena gugup pun sudah semakin rilex. Perlahan penyatuan itu terjadi, meski sakit dan perih pada awalnya, tetapi perlahan membawanya membumbung menuju puncak surga dunia.Udara yang dingin karena AC tak lagi terasa, keringat membanjiri tubuh Satrio, begitupun Maila. Ada tetes air mata terjatuh pada sudut netra Maila ketika mereka usai melakukannya. Satrio mengecup pucuk kepala gadis yang sudah menyerahkan hidupnya padanya.“Kenapa nangis, May?”
“Saya hanya gak percaya diri, Pak! Saya hanya gadis yatim piatu yang miskin, tak berani bermimpi jadi istri Bapak!” tukas Maila lirih.Satrio mendekat. Tangannya mengambil dagu itu agar wajah Maila terangkat. Ditatapnya manik hitam yang selah terhipnotis itu dengan lekat. Entah magnet apa yang membuat wajahnya semakin mendekat, mendekat dan hampir tak menyisakkan jarak bersama gelayar hangat yang menjalar di dadanya.Satrio kembali menjauhkan wajahnya dari Maila setelah mereguk manis bibir yang gemetar itu. Wajah Maila merona dan memanas. Seluruh dunia rasanya berhenti ketika mereka melakukannya. Bahkan kaki Maila saja masih gemetar, ini sentuhan pertama yang di dapatnya dari seorang lelaki.“Aku tak pernah mempermasalahkan status sosial. Hanya saja aku mempermasalahkan ketidak konsistenan kamu
Satrio melirik ke arah Maila yang masih bengong. Dia berdiri lalu menarik tangan Maila menuju kamarnya. Maila setengah menolak, tetapi tak kuasa. Bingung juga harus berbuat apa, tiba-tiba dirinya kini tengah berduaan dengan atasan yang mendadak menjadi suaminya.Keduanya memasuki kamar yang cukup luas itu. Satrio menggiring Maila untuk duduk di tepi tempat tidur. Hati Maila berdentum, terlebih ketika Satrio memegang dagunya dan membuat wajahnya terangkat.“Ya Tuhaaan? Apakah hari ini kami akan melewati malam pertama?” batin Maila seraya debaran dalam dadanya bertalu tak karuan.Maila sudah memejamkan mata, akan tetapi Satrio melepas tangannya. Dia menjauh dan mengambil kotak P3K. Satrio kembali dan duduk di tepi ranjang berhadapan dengan Maila. Dia mengeluarkan alkohol dan kapas, lalu tangannya kembali mendekat ke wajah Maila yang masih terpejam.&nbs
“Mas, andai kamu gak ridho … maka ceraikan saja aku! Aku ikhlas, aku tak ingin membuat kamu dan keluargamu kecewa pada akhirnya! Aku akan menerimanya dengan lapang dada, Mas!” tukas Angel dengan suara parau karena tangisan.Menatap kedua netra Angel yang mengembun, sontak membuat Abian terkesiap. Dia sadar ada sosok rapuh di depannya yang butuh dikuatkan, tetapi pernyataan Angel yang diluar dugaan membuatnya shock. Bahkan kebahagiaan yang belakangan ini hadir karena dirinya akan mejadi ayah, gelar baru yang diidam-idamkannya.Abian hanya bergumam, tak terdengar jelas. Namun tangannya merengkuh Angel dan disandarkan pada dadanya. Dikecupnya pucuk kepala Angel. Ada hembusan napas berat terdengar.“Jangan bicara seperti itu, Sayang! Aku tak akan menceraikanmu! Sab