Di ruang kantor yang senyap, hanya ditemani cahaya lembut fajar yang merambat lewat celah tirai, Dastan tersentak bangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk, bingung sejenak sebelum menyadari dirinya tertidur di sofa kantor. Masih dengan setelan lengkap yang dikenakannya semalam.Dengan gerakan malas, ia mengusap wajah, menghalau rasa lelah yang masih menggantung di pelupuk mata. Saat pandangannya jatuh pada jam tangan di pergelangan, napasnya tertahan.Pukul enam pagi.Sial. Dia benar-benar tidak pulang.Baru saja ia hendak berdiri, pintu terbuka pelan. Charlie masuk sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul, alisnya terangkat begitu melihat Dastan sudah terjaga.“Tuan, sudah bangun?” tanyanya dengan nada terkejut, meski wajahnya tetap tenang.Dastan mendesah panjang, menerima cangkir kopi itu dan meneguknya sedikit sebelum bicara. “Kenapa tidak membangunkanku?”Charlie menahan napas sejenak sebelum menjawab hati-hati, “Kupikir Anda tidak ingin pulang...”Jawaban itu membuat
Suasana kamar pengantin begitu sunyi. Hanya detak jam dinding dan desah napas Lyra yang terdengar. Ia duduk di tepi ranjang, saat pintu diketuk.Lyra refleks menoleh dengan harapan yang segera padam ketika menyadari orang yang mengetuk tidak mungkin Dastan."Siapa?" tanya Lyra lirih."Ini Alba, Nyonya."Pintu kamar terbuka pelan. "Permisi, Nyonya," sapa Alba dengan senyum sopan. "Maaf mengganggu. Aku ingin memastikan semua pakaian yang tadi diantarkan sudah dikemas untuk dilaundry. Supaya bisa dipakai secepatnya.” Alba melirik sejenak ke arah kemeja yang dipakai Lyra, lalu tersenyum kecil. “Tapi sepertinya Nyonya sudah menemukan sesuatu yang nyaman, ya?”Lyra jadi salah tingkah, mengeratkan ujung kemeja Dastan yang menjuntai di pahanya. “Ini… hanya karena udara agak dingin.”Alba mengangguk pelan, lalu matanya bergerak ke arah lemari. “Ngomong-ngomong, kenapa Nyonya tidak memakai gaun-gaun yang sudah kami siapkan?”Lyra tidak langsung menjawab. Ia sempat ragu, namun akhirnya memutusk
Gurat ceria di wajah Lyra seketika redup begitu pintu terbuka dan sosok yang masuk ternyata bukanlah orang yang sejak tadi ia tunggu-tunggu. Dadanya yang sempat berdebar karena harapan kini perlahan menegang, matanya menatap kosong pada ajudan yang datang membawa kantong belanja besar dan beberapa kotak yang menutupi pandangan. "Oh, maaf, Nyonya! Aku tidak tahu kamar ini sudah ditempati," ucap ajudan itu tergesa, nyaris tersandung karena banyaknya barang yang dibawanya. Lyra mengerutkan dahi, memperbaiki posisi duduknya. "Untuk apa kau kemari? Apa Tuan yang menyuruhmu?" tanyanya curiga, nada suaranya pelan tapi penuh dorongan ingin tahu. Langkah si ajudan terhenti. Ia menunduk hormat. "Benar, Nyonya. Tuan memintaku membawa semua barang ini ke sini." "Di mana, Tuan sekarang?" Ajudan itu sempat menoleh sejenak, sebelum kembali menunduk. "Aku tidak tahu pasti, Nyonya. Kami hanya menerima perintah lewat telepon. " Lyra menghela napas pelan. Ia membiarkan ajudan itu menjalanka
Lyra yang duduk di tepi ranjang memperhatikan perubahan ekspresi itu dengan rasa was-was. Wajah Dastan seperti baru saja mendapatkan kabar yang tidak dia sukai dan entah mengapa, insting Lyra mengatakan bahwa kabar itu ada hubungan dengannya.Dastan menurunkan ponselnya perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dari Lyra. Mata Lyra dipenuhi tanda tanya dan kecemasan, tapi pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi.Lalu Dastan mulai melangkah. Perlahan. Penuh tekanan. Suara sepatunya di lantai marmer terdengar berat, dramatis. Hingga ia berdiri tegap di hadapan Lyra yang kini diam membeku, seolah bersiap menghadapi dakwaan.“Ada yang ingin kau ceritakan?” Suaranya tenang. Terlalu tenang.Lyra membuka mulut, namun tak ada kata yang keluar. Tenggorokannya tercekat.“Jangan paksa aku menebak, Lyra,” lanjut Dastan, matanya tak berkedip. “Aku sudah cukup bersabar.”“Aku tidak tahu apa maksudmu...” suara Lyra terdengar lemah, nyaris berbisik.Dastan menyipitkan mata. Wajahnya terlihat tidak puas.
Lyra tak bisa mengelak ketika Dastan tiba-tiba telah berdiri di hadapannya. Pria itu membungkukkan tubuh di depan Lyra. Kedua tangannya bertumpu di tempat tidur. Melingkupi Lyra yang kini duduk menengang."Jadi katakan, kenapa kau memakai bajuku, Nyonya Adiwangsa?" Suaranya terdengar datar, tapi ketegangannya terasa menusuk.Lyra menjawab tergagap. "A-aku tak punya pakaian.""Kau punya banyak di dalam lemarimu." Dastan membalas cepat, seakan tak memberi ruang untuk alasan."Tapi itu tidak layak—" Kalimat Lyra terjeda saat melihat alis Dastan terangkat. "Maksudku... aku tidak terlalu nyaman mengenakan pakaian seperti itu..."Tatapan mengintimidasi Dastan tidak berkurang. Lyra makin merasa tersudut. "Lyra... aku sudah berusaha untuk menahan diri sejauh ini, membiarkan semuanya mengalir dengan pelan. Tapi jika kau terus bertindak begini...." Dastan menghela napas sejenak kemudian melanjutkan, "aku mungkin akan betul-betul kehilangan kendali."Alis Lyra bertaut rapat. Tak paham apa arti
Lyra masih bergelung rapat di bawah selimut, hanya ujung kepalanya yang tampak mencuat keluar seperti kura-kura mengintip dunia. Keringatnya sudah seperti banjir di balik kain tebal itu, tapi ia tetap bergeming."Kenapa dia belum pergi juga sih..." gumamnya dalam hati sambil melirik ke arah kursi di dekat jendela.Dastan duduk tenang di sana. Membuka laptop, membolak-balik dokumen digital, seolah dunia ini tak ada yang lebih penting dari pekerjaan, selain menjaga keberadaan istri baru yang terlihat betah menyembunyikan diri."Harusnya dia tidak mengambil cuti," desis Lyra pelan. “Untuk apa juga libur dari kantor? Kami tidak akan bulan madu. Tidak kemana-mana.”Peluh makin mengalir di pelipis. Lyra mulai panik. Dia harus segera mandi. Tapi kalau bergerak sedikit saja, Dastan mungkin akan datang mengganggunya lagi."Ini menyiksa," gerutu Lyra saat udara dalam selimut kian pengap. Dia butuh udara segar. Atau lebih bagus lagi jika itu air segar. “Kau akan terus membungkus dirimu seperti
"Kau minta kesempatan setelah membuat kekacauan yang hampir menghancurkan kehormatan keluarga ini?"Suara David Adiwangsa menggema di ruangan besar itu. Penuh kemurkaan. Darren makin menunduk."Aku sudah terlalu banyak memberimu toleransi, Darren. Ini bukan soal siapa benar dan siapa salah. Ini soal siapa yang harus dihormati… dan siapa yang harus tahu diri.""Aku… tidak berniat membuat onar, Kek," suaranya jelas terdengar ketakutan. "Aku hanya ingin bicara dengan Lyra. Aku pikir… dia juga masih—""Masih apa?" potong David, tajam. "Masih mencintaimu? Jadi kau mabuk di saat semua orang bersiap untuk sebuah momen penting, menyusup ke ruang rias calon istri pamanmu, memaksanya kabur, lalu pingsan karena dihantam vas bunga? Itu caramu menunjukkan cinta?"Leona cepat buka suara untuk membela putranya. "Ayah, Darren hanya tertekan. Semua ini terlalu cepat untuknya. Dalam keadaan sadar, Darren tidak akan melakukan tindakan sebodoh itu."David menoleh tajam. "Kalau begitu mungkin anakmu suda
**Pria ini sungguh tak bisa dipercaya. Batin Lyra mendongkol.Dastan menangkap sorot tajam dari Lyra yang tengah memeluk bantal dengan wajah sedikit cemberut.“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya santai, seolah tak merasa bersalah.Lyra mengerucutkan bibir. “Karena kau menyebalkan.”Dastan tertawa pelan. “Tenang saja… kau hanya perlu menebusnya dengan menjadi istri yang baik. Jangan berpikiran yang aneh-aneh.”Mata Lyra membelalak. “Siapa yang berpikiran aneh-aneh?!”“Kalau bukan kau, siapa lagi?"Lyra menghela napas panjang dan mengatur posisi bantal. Tak mau terjebak obrolan aneh lagi. Dia memilih berbaring setelah rasa nyerinya berkurang. Tubuhnya jadi lebih lelah.Tapi Dastan tidak. Dia justru begadang, bolak-balik mengganti air hangat di baskom dan mengompres kaki Lyra untuk keempat kalinya.Tangannya cekatan, gerakannya tenang. Tidak ada kalimat romantis, tidak ada rayuan manis atau godaan lagi. Tapi semua tindakannya terasa lebih tulus dari seribu gombalan.Lyra memper
Pria itu selalu mencari kesempatan untuk menyinggung tentang malam panas mereka. Di balik semua kekesalan itu, jantung Lyra berdetak sedikit lebih cepat. Apalagi ketika Dastan terus menatapnya penuh arti.Dastan menyeringai, sangat pelan, nyaris seperti predator yang baru saja menemukan kelemahan mangsanya. “Aku ingat jelas… waktu itu kau dengan manisnya menawariku untuk menemanimu satu malam.”Lyra langsung menunduk. Nafasnya tersendat. Ia ingat. Sangat ingat. Tapi kenapa pria ini harus membangkitkan memori itu sekarang? Apa tujuannya? Dia bahkan tidak berniat berhenti. “Tapi, karena aku pria yang sangat murah hati…” lanjut Dastan tanpa ampun, “aku putuskan untuk memberimu bonus. Malam… yang lebih banyak.” Tatapan nakalnya kemudian turun ke jubah mandi yang melingkupi tubuh Lyra yang mungil. “Kau pasti akan suka.”Wajah Lyra langsung memerah seperti kepiting rebus yang dilempar kembali ke panci mendidih. Uap panas di seluruh tubuhnya seolah mengepul dari kulit. Mulutnya terkatup ra