Langkah Lyra terhenti tepat di ambang pintu kamar. Dia baru saja selesai makan siang di ruang makan saat menyadari televisi di dinding telah menghilang. “Alba?” panggilnya, bingung. Wanita paruh baya itu muncul dari arah koridor, membawa setumpuk handuk bersih. “Ada yang bisa kubantu, Nona?” “Kemana televisi di kamarku?” Alba tersenyum kaku, “Tuan Dastan memerintahkan untuk menggantinya. Katanya, terlalu kecil.” Lyra mengernyit. “Kecil? Itu ukuran yang cukup besar.” “Justru itu, Nona. Tuan mau yang lebih luas... mungkin memenuhi dinding.” “Alba,” desah Lyra, menatap curiga, “apa kalian sedang menyembunyikan sesuatu dariku?” Alba berdiri tegak, memasang wajah polos yang hampir meyakinkan. “Menyembunyikan? Oh, tentu tidak, Nona. Kami hanya menjalankan instruksi demi kebaikan Anda. Percayalah, ini semua untuk kenyamanan dan... keseimbangan emosional.” Lyra tidak membalas. Hanya menghela napas panjang. Malamnya, saat tiba di ruang makan, Lyra mendapati beberapa pelayan
Lyra terdiam. Menajamkan pendengaran. Ketukan lembut kembali terdengar. Gadis itu bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Dengan memberanikan diri, dia bertanya tegas. “Siapa?” “Ini saya, Nona. Alba.” Lyra menghela napas lega, tapi tetap lanjut bertanya dengan curiga. "Ada apa?" "Aku hanya membawa cemilan buah, tadi nona makan malam sedikit sekali. Aku khawatir Nona akan lapar tengah malam." Lyra berpikir sejenak, dia memang kehilangan selera makan karena memikirkan banyak hal. Tapi jika menolak tawaran Alba, perutnya mungkin akan melilit seperti kejadian terakhir kali. Akhirnya dia membuka pintu, walau hanya sedikit. Cukup untuk menampakkan wajahnya yang celingak-celinguk memeriksa lorong. Matanya menyapu kanan dan kiri seakan mencari seseorang. Alba yang berdiri dengan nampan berisi potongan buah di tangan, dan segelas air menaikkan sebelah alisnya. “Nona sedang mencari siapa?” tanyanya dengan nada heran. Lyra buru-buru menghindar dari tatapan Alba. “
Mata mereka bertemu hanya sedetik. Tapi cukup untuk membuatnya panik. Dengan cepat, Lyra menarik tirai jendela, tubuhnya menempel ke dinding, napasnya tertahan. “Astaga! Dia melihatku?” Lyra menutup mulutnya, takut suaranya terdengar. Pipi memanas. Dada sesak. Dan satu suara batin tak henti bergema: ‘Kenapa aku merasa ketakutan? Seperti ketahuan mengintip pacar sendiri.’ Buru-buru dia memadamkan lampu dan membenamkan wajahnya di bawah bantal. Di bawah sana, Dastan menatap tirai yang tidak tertutup rapi. Charlie berdiri tegak di samping tuannya, menahan senyum. Sebenarnya sejak tadi dia sudah menyadari itu, tapi segan memberi tahu Dastan. Apalagi majikannya itu sedang membahas hal penting. Jadinya Charlie tidak bisa fokus. “Sepertinya Nona Lyra orang yang mudah penasaran,” gumam Charlie sambil mencoba terdengar netral. Dastan kembali menatap lurus ke depan. “Gadis itu memang unik. Terlihat lemah dan lugu, tapi nyatanya dia sering galak dan kuat membantah.” Charlie
Lyra tak bisa menahan senyum yang pelan-pelan terbentuk.Tangannya meremas tali tas itu erat-erat, seolah ingin menjaga degup jantungnya yang mendadak tak beraturan. Kenapa dia jadi begini hanya karena sebuah pemberian?Ia menghela napas dan berjalan pelan ke bangku taman. Angin sore menyapu wajahnya, menenangkan sedikit kegugupan dalam dada. Duduk perlahan, ia membuka isi paper bag. Sebuah kotak terbungkus kain furoshiki warna marun. Di dalamnya… bukan perhiasan, bukan benda mewah seperti dugaannya.Melainkan… kue mochi. Empuk, berwarna pastel, dengan aroma manis yang familiar.Lyra terdiam sejenak, membeku oleh kenangan yang tiba-tiba datang menabrak pikirannya. Restoran tua itu...“…Tempat ini kerap dikunjungi Tuan saat ingin menenangkan diri." Ucapan Charlie tempo hari melintas jelas di benaknya.Jadi… Dastan baru saja menenangkan diri di sana?"Dia pasti sangat banyak pikiran."Lyra menunduk, jemarinya menggenggam kotak mochi itu dengan rasa bersalah yang perlahan menguar. Jadi s
Suara langkah Alba menggema ringan di koridor, mendekat ke arah kamar disertai ketukan. "Nona Lyra," panggilnya lembut. "Waktunya makan malam."Pintu terbuka.Lyra menoleh, tersentak sedikit dari lamunannya. Ia buru-buru meletakkan ponsel di meja. “Baik, aku ke turun sekarang.”Alba mengangguk lalu berjalan di belakang Lyra, mengekor dengan ekspresi geli yang tak disembunyikan. “Bagaimana ponsel barunya, Nona?” tanyanya menggoda. “Kelihatannya sangat bagus… dan mahal.”“Hmm,” gumam Lyra malas, wajahnya datar.Tadi, saat pertama kali melihat ponsel itu, Lyra begitu gembira. Seolah dunia kembali berwarna. Tapi setelah dia mulai menjelajahinya, semangat itu runtuh seketika.Bukan karena ponselnya bermasalah, melainkan isinya. Dia tidak bebas memasukkan aplikasi apapun tanpa izin. Internetnya dibatasi. Yang paling membuatnya kesal, hanya satu nomor yang tersedia di kontak. Satu.Nomor Dastan.Lebih parah lagi, ada secarik kertas kecil terselip di dalam kotaknya. Bertuliskan:“Jangan tamba
Sungguh sulit dipahami.Seluruh negeri ini tahu kejeniusan seorang Dastan Adiwangsa dalam dunia bisnis. Tidak ada masalah yang tak bisa dia tangani. Tak ada solusi yang akan luput dari jangkauan akalnya. Tapi... sudah setengah jam dia berkutat dengan ponsel dan tetap tidak berhasil mengirimkan satu pesan pun. Yang ada, dia malah uring-uringan sendiri. Charlie menggaruk kepala.Tangannya gatal ingin menawarkan bantuan. Namun tentu saja, itu akan melukai harga diri sang majikan. "Tuan, sudah hampir pukul tujuh malam." Charlie mengingatkan. Dastan mendongak sejenak, matanya memerah karena terlalu lama menatap layar ponsel.“Aku tahu,” jawabnya pendek, tapi tak beranjak dari kursinya. Jarinya masih memainkan ponsel yang sama sejak setengah jam lalu. Membuka layar pesan, mengetik… lalu menghapusnya lagi.Charlie menarik napas pelan. Dastan terdiam sesaat. Matanya berpindah ke ponsel yang sejak tadi hanya menampilkan layar diam. Tiba-tiba dorongan itu muncul. Hanya sebuah pesan singkat,
Tuannya akan pulang sendiri?Mata Charlie membelalak lebar. Ini pertama kalinya dalam karir Charlie sebagai ajudan. "Tapi, Tuan, berkeliaran sendiri sangat berbahaya," bisiknya, kali ini benar-benar cemas.Dastan berbalik setengah, matanya berkilat penuh kemarahan. "Semua ini karena ulah siapa? Hah? Ide siapa membeli kue itu?"Charlie terdiam. Lidahnya kelu."Kau membuatku berjanji tanpa sengaja, dan sekarang kau juga yang membuatku mengingkarinya. Kau mau aku terlihat tak punya kata-kata di depan Lyra?"Charlie tercekat. Astaga. Jadi ini penyebab Tuannya uring-uringan sejak tadi. Bukan karena macet. Tapi karena takut terlihat buruk di mata calon istrinya. Dastan Adiwangsa—pria yang dikenal tak pernah peduli pada opini siapa pun—ternyata bisa setakut dan sesensitif itu saat urusannya menyangkut Lyra.Kalau saja tidak takut dipecat, Charlie sudah tertawa keras. Tapi tentu saja, dia menahan diri. Kini dia hanya bisa menawarkan solusi."Tuan, bagaimana kalau saya hubungi sopir cadangan
Langkah Lyra terhenti tepat di ambang pintu.Matanya membelalak, tubuhnya gemetar melihat sosok Dastan yang duduk bersandar di ranjang dengan tubuh sebagian terbuka, dada dan lengannya dipenuhi perban, bekas luka, dan darah yang mulai mengering. Di sekelilingnya, para ajudan dan pelayan masih sibuk membereskan sisa perawatan. Beberapa alat medis kecil berserakan di atas nampan. Seorang dokter tampak sedang menyusun peralatan ke dalam tasnya.Sesaat tadi, waktu Lyra membuka pintu kamar, Alba berdiri di sana dengan wajah panik, mata merah dan berkaca-kaca.“Nona... T-Tuan mengalami kecelakaan...” suara Alba bergetar. “Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Sekarang... sedang dirawat di kamarnya.”Lyra tak sempat berkata apa pun. Panik dan takut menyergap. Dia langsung berlari ke arah kamar Dastan, menepis siapa pun yang mencoba menghalangi jalannya.Dan kini... dia berdiri terpaku. Dada sesak. Lidah kelu.Dastan, yang awalnya sibuk menahan nyeri, memalingkan wajahnya begitu melihat Lyra mun
Talia menatap puas. Tangan Lyra gemetar menggenggam lembaran-lembaran hasil pemeriksaan medis dari dalam amplop. Helaan napasnya tertahan ketika matanya menelusuri kalimat demi kalimat.Diagnosis terbaru. Penurunan fungsi vital. Potensi komplikasi.Laporan dokter menyebutkan bahwa obat-obatan yang biasa diberikan mulai dihentikan secara bertahap karena alasan administratif. Ada catatan kecil di bagian bawah: "Atas permintaan keluarga wali pasien."Lyra menatap Talia yang kini duduk dengan kaki bersilang di jok mobil mewah. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa kau melakukan ini?" Suaranya serak, lebih seperti bisikan penuh guncangan.Talia mengambil kembali map itu dengan tenang, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas kulit mahalnya. “Mau bagaimana lagi?” ucapnya santai. “Keuangan keluarga Sasmita mulai goyah. Bisnis terus melemah. Perusahaan butuh penyokong baru, atau setidaknya, penghubung yang bisa membuka akses ke kekuasaan dan modal yang lebih besar.”Lyra menoleh ragu ke arah rumah
Lyra keluar dari kamar Dastan dengan langkah hati-hati, menenangkan detak jantungnya yang masih belum sepenuhnya stabil usai kejadian absurd tadi.Udara di lorong terasa lebih segar, atau mungkin itu hanya efek dari dirinya akhirnya bisa mengambil napas panjang setelah terus berada dalam ketegangan. Ia menuju dapur utama, berniat menanyakan soal minuman untuk tamu yang tak lain adalah calon mertuanya sendiri.Begitu melangkah ke dalam, beberapa pelayan langsung menoleh dan tersenyum ramah. Alba, menyambut Lyra dengan tatapan penuh arti."Selamat pagi, Nona Lyra. Kami sudah siapkan teh jahe dan camilan ringan untuk Tuan Besar. Apakah boleh langsung kami antar?"Lyra mengangguk pelan, lalu tersenyum sopan. "Boleh. Maaf, aku terlambat menyampaikannya, barusan... suasananya agak canggung di kamar."Salah satu pelayan muda menutup mulutnya, terkikik. "Wah, canggung karena Tuan Besar datang tanpa kabar, atau... karena Nona terlalu betah di kamar Tuan Dastan?"Pelayan lain menyikut temannya
Kaki Lyra refleks mundur, menjauh dari pintu.Handuk yang tersampir begitu saja di lengannya nyaris jatuh ke lantai. Sementara itu, teriakan kesal Dastan makin jelas menyusul sosoknya yang keluar dari kamar mandi. Langkahnya tegap dan kaku.“Lyra, kau benar-benar keterlaluan! Kau mau membuatku masuk angin? Pakaian dalamku—” Kalimat Dastan terhenti begitu menyadari pintu terbuka lebar.Lyra menoleh dengan ekspresi horor. Dastan berdiri di tengah ruangan, masih basah kuyup. Selain perban di area bahu, dia hanya mengenakan pelindung terakhir yang menutupi barang pribadinya.Dastan menggumam kaget. "Ayah?!"David Adiwangsa, berada di ambang pintu dengan alis terangkat, didampingi dua ajudan dan penasehatnya. Ekspresi mereka—terutama David—sangat sulit untuk dijelaskan.Tak ada yang bicara.Kecanggungan menggantung seperti kabut tebal. Hanya suara mesin pendingin dan detak jam yang terdengar.Lyra tersentak sadar. “Ya Tuhan, maaf!” serunya, lalu buru-buru mendorong pintu dan menutupnya de
Apa Dastan bisa membaca pikirannya?Pipi dan telinga Lyra memanas seketika. Ia segera membuang muka ke arah lain.“Aneh apa? Aku hanya… hanya takut menyakitimu,” elaknya cepat. Suaranya sedikit gemetar tapi ia berusaha menjaga wibawa dan lekas menuju lemari, berpura-pura mencari handuk. Dastan tak bisa menahan senyum. Bibirnya terangkat samar, matanya menyipit sedikit seperti menertawakan kepanikan gadis di hadapannya.Lyra menarik napas dalam, menepuk-nepuk pipinya sendiri diam-diam, lalu berbalik. “Oke, aku bantu. Tapi tanggung sendiri akibatnya.” Ucapannya terdengar tegas, tapi tak mampu menyembunyikan kegugupannya yang tetap kentara.Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Lyra mengeluarkan handuk kecil berwarna putih, lalu merapikan baskom dan botol sabun cair. Tangannya sibuk menyusun, mempersiapkan, apa pun yang bisa membuatnya terlihat fokus—padahal pikirannya justru makin kacau.Uap air hangat di baskom kecil mengepul tipis seperti meniru suasana hatinya yang mendidih pelan. Ses
Dastan ikut mengangkat alisnya. Seolah bertanya mengapa Lyra masih bergeming. Gadis itu lalu menghela napas dan berpangku tangan. Tak mengira akan terjebak seperti ini. “Aku akan panggil Charlie. Biar dia membantumu,” tawarnya memberi solusi. Tapi Charlie yang sedari tadi diam mendengarkan, langsung angkat tangan dan melangkah mundur. “Maaf Nona, aku harus ke kantor. Ada urusan penting. Sangat penting,” ucapnya buru-buru.Lyra menatap tak percaya. “Charlie—”“Aku titip Tuan pada Nona!” serunya cepat sebelum menghilang di balik pintu.Keheningan menggantung.Lyra mendesah panjang dan menatap Dastan dengan curiga. “Kau sengaja, ya?”Dastan menatapnya datar. “Aku lapar.”“Panggil saja pelayan lain,” elak Lyra.“Lalu untuk apa kau di sini jika tak mau membantu?"Lyra tercekat. Kalimat itu menohok. Dia bukannya tak mau membantu, hanya... merasa canggung. "Yah, sudahlah... aku akan menunggu Charlie pulang, karena pelayan lain belum tentu mau membantu juga," gerutu Dastan dengan wajah p
"Apa ini?" tanya Lyra lirih. Padahal jelas itu sebuah kotak kue mungil berhias pita emas.“Ini… ini dari Tuan…,” jawab si ajudan sambil membungkuk sedikit. “Dia menjaga ini lebih dari nyawanya sendiri… bahkan saat kecelakaan tadi… dia tetap memeluk kotak ini, Nona…”Sejenak, lorong itu sunyi. Charlie melotot tajam, ingin membekap mulut si ajudan. Tapi semuanya sudah terlambat.Pandangan Lyra beralih dari kotak kue ke wajah si ajudan, lalu ke Charlie yang hanya bisa menunduk.“Jadi,” ucapnya lirih, “dia pulang membawa ini untukku?”Tak ada jawaban. Tapi ekspresi semua orang sudah menjawab cukup banyak.Genggaman Lyra menguat di kotak kue itu. Hatinya berdenyut aneh. Luka di tubuh Dastan kini terasa berbeda, karena ia tahu—luka itu didapat saat mencoba membawa pulang hadiah kecil untuknya.**Fajar bahkan belum muncul ketika Lyra membuka pintu kamar Dastan dengan sangat perlahan. Engselnya mengeluarkan bunyi lirih, namun tak cukup untuk membangunkan siapa pun di dalam ruangan.Udara pag
Langkah Lyra terhenti tepat di ambang pintu.Matanya membelalak, tubuhnya gemetar melihat sosok Dastan yang duduk bersandar di ranjang dengan tubuh sebagian terbuka, dada dan lengannya dipenuhi perban, bekas luka, dan darah yang mulai mengering. Di sekelilingnya, para ajudan dan pelayan masih sibuk membereskan sisa perawatan. Beberapa alat medis kecil berserakan di atas nampan. Seorang dokter tampak sedang menyusun peralatan ke dalam tasnya.Sesaat tadi, waktu Lyra membuka pintu kamar, Alba berdiri di sana dengan wajah panik, mata merah dan berkaca-kaca.“Nona... T-Tuan mengalami kecelakaan...” suara Alba bergetar. “Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Sekarang... sedang dirawat di kamarnya.”Lyra tak sempat berkata apa pun. Panik dan takut menyergap. Dia langsung berlari ke arah kamar Dastan, menepis siapa pun yang mencoba menghalangi jalannya.Dan kini... dia berdiri terpaku. Dada sesak. Lidah kelu.Dastan, yang awalnya sibuk menahan nyeri, memalingkan wajahnya begitu melihat Lyra mun
Tuannya akan pulang sendiri?Mata Charlie membelalak lebar. Ini pertama kalinya dalam karir Charlie sebagai ajudan. "Tapi, Tuan, berkeliaran sendiri sangat berbahaya," bisiknya, kali ini benar-benar cemas.Dastan berbalik setengah, matanya berkilat penuh kemarahan. "Semua ini karena ulah siapa? Hah? Ide siapa membeli kue itu?"Charlie terdiam. Lidahnya kelu."Kau membuatku berjanji tanpa sengaja, dan sekarang kau juga yang membuatku mengingkarinya. Kau mau aku terlihat tak punya kata-kata di depan Lyra?"Charlie tercekat. Astaga. Jadi ini penyebab Tuannya uring-uringan sejak tadi. Bukan karena macet. Tapi karena takut terlihat buruk di mata calon istrinya. Dastan Adiwangsa—pria yang dikenal tak pernah peduli pada opini siapa pun—ternyata bisa setakut dan sesensitif itu saat urusannya menyangkut Lyra.Kalau saja tidak takut dipecat, Charlie sudah tertawa keras. Tapi tentu saja, dia menahan diri. Kini dia hanya bisa menawarkan solusi."Tuan, bagaimana kalau saya hubungi sopir cadangan
Sungguh sulit dipahami.Seluruh negeri ini tahu kejeniusan seorang Dastan Adiwangsa dalam dunia bisnis. Tidak ada masalah yang tak bisa dia tangani. Tak ada solusi yang akan luput dari jangkauan akalnya. Tapi... sudah setengah jam dia berkutat dengan ponsel dan tetap tidak berhasil mengirimkan satu pesan pun. Yang ada, dia malah uring-uringan sendiri. Charlie menggaruk kepala.Tangannya gatal ingin menawarkan bantuan. Namun tentu saja, itu akan melukai harga diri sang majikan. "Tuan, sudah hampir pukul tujuh malam." Charlie mengingatkan. Dastan mendongak sejenak, matanya memerah karena terlalu lama menatap layar ponsel.“Aku tahu,” jawabnya pendek, tapi tak beranjak dari kursinya. Jarinya masih memainkan ponsel yang sama sejak setengah jam lalu. Membuka layar pesan, mengetik… lalu menghapusnya lagi.Charlie menarik napas pelan. Dastan terdiam sesaat. Matanya berpindah ke ponsel yang sejak tadi hanya menampilkan layar diam. Tiba-tiba dorongan itu muncul. Hanya sebuah pesan singkat,