Share

Kebohongan Sandy

Sandy masih diam, ia tidak menyangka jika Ayuna mengetahui rahasia yang ia simpan. Sandy memang sengaja membuat buku tabungan atas nama Renita. Rencananya buku tabungan itu akan Sandy gunakan untuk biaya lahiran Renita nantinya. Sandy membuatnya setelah tahu Renita hamil.

"Sekarang kamu lancang ya, sudah berani mengambil sesuatu yang bukan hak kamu." Sandy merebut buku tabungan tersebut. Mendengar ucapan suaminya, Ayuna hanya menggelengkan kepalanya.

Ayuna juga masih tidak menyangka jika selama ini suaminya sudah membohonginya. Jika saja Ayuna tidak menemukan buku tabungan itu, mungkin ia tidak akan pernah tahu betapa busuk kelakuan suaminya. Dan mungkin buku tabungan itu akan semakin gendut karena setiap bulannya pasti akan diisi oleh Sandy.

"Aku tidak mengambilnya, mas. Kamu saja yang terlalu ceroboh, menyimpan barang rahasia tidak ditempat yang aman. Dan satu lagi, seekor bangkai baunya akan tercium, meskipun sudah ditutup serapat mungkin," ungkap Ayuna. Matanya menatap sosok laki-laki yang ada di hadapannya itu.

"Sama juga dengan kesalahan yang kamu perbuat, mas. Meskipun sudah kamu tutup-tutupi, tapi akhirnya terbongkar juga," ungkapnya lagi. Jujur, rasanya Ayuna tidak tahan lagi dengan pernikahannya. Ingin rasanya ia lepas dari laki-laki yang tidak bisa melupakan masa lalunya.

Sandy tidak menjawab, karena apa yang dikatakan istrinya memang benar. Entahlah, Sandy sendiri tidak tahu, kenapa dirinya bisa sampai tergila-gila kembali dengan wanita yang dulu pernah meninggalkannya, ketika sedang terpuruk. Dan setelah Sandy bangkit kembali, wanita yang tak lain Renita. Dengan mudah mendekatinya.

Setelah itu Sandy keluar dari kamar tersebut, laki-laki itu merasa bersalah karena sudah menghianati wanita sebaik Ayuna. Sandy sadar, tanpa Ayuna ia tidak akan bisa seperti saat ini. Jika boleh memilih, Sandy tidak ingin menikahi Renita, tapi Ayuna terus memaksa. Sandy tidak punya alasan untuk mengelak, karena perbuatannya memang harus dipertanggung jawabkan.

"Arrght, kenapa harus seperti ini." Sandy mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaan bersalah dan menyesal selalu hadir dalam dirinya. Terlebih ketika melihat Ayuna, karena berkat istrinya, Sandy bisa bangkit kembali dari keterpurukan.

Pukul sebelas malam, Ayuna keluar dari kamarnya, wanita itu merasa haus. Karena persediaan air minum di kamarnya habis, Ayuna terpaksa harus mengambilnya ke dapur. Kini Ayuna sudah berada di lantai bawah, ketika hendak melangkah ke dapur. Ia tidak sengaja melihat suaminya yang sedang duduk di sofa ruang tengah seraya merokok.

Ayuna memperhatikan suaminya yang nampak frustasi. Sandy akan merokok jika merasa frustasi dengan masalah yang menimpanya. Sejujurnya Ayuna kasihan melihat suaminya, tapi apa yang terjadi. Semua itu karena ulahnya sendiri, andai saja Sandy bisa lebih berhati-hati. Mungkin semua itu tidak akan terjadi.

"Sebenarnya kamu laki-laki yang baik, mas. Tapi sayang, iman kamu belum kuat. Kamu sangat mudah tergoda," gumam Ayuna. Ia masih ingat saat Sabrina lahir dulu, Sandy memperlakukan dirinya bak seorang ratu. Bahkan sampai sekarang juga, tapi tidak untuk lima bulan terakhir ini. Sandy sering keluar malam dan pulang kerja juga sampai larut. Setelah itu Ayuna memutuskan untuk ke dapur dan membiarkan suaminya.

***

Di lain tempat saat ini Renita sedang duduk santai di kamarnya. Ingin rasanya ia menghubungi Sandy dan memintanya untuk datang. Tapi rasanya itu tidak mungkin, karena suaminya sudah bilang kalau malam ini dia akan tidur di rumah Ayuna. Sejujurnya Renita tidak rela jika Sandy harus tidur di rumah Ayuna, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Huft, menyebalkan. Seharusnya mas Sandy malam ini tidur di sini, tapi kenapa harus tidur di rumah Ayuna sih." Renita menggerutu kesal. Tiba-tiba saja gawai miliknya berdering, khawatir ada yang penting Renita mengambil benda pipih miliknya itu.

[Halo, ada apa]

[ …. ]

[Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah berhasil menikah dengan mas Sandy lagi. Dan semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana]

[ …. ]

[Ya sudah. Besok kita ketemu saja di tempat biasa]

Sambungan telepon terputus, Renita tersenyum, rasanya ia tidak sabar ingin melihat orang yang dibencinya hancur. Renita menghembuskan napasnya, setelah itu ia memilih untuk tidur. Toh percuma juga jika menelpon Sandy, pasti suaminya itu akan banyak alasan kalau disuruh datang ke rumah.

***

Hari telah berganti, sebelumnya Ayuna sudah menyampaikan keinginan Sabrina, agar ayahnya datang ke acara pembagian raport. Dengan mudah, Sandy berjanji untuk datang, bahkan semalam laki-laki itu tidur di rumah Ayuna. Meskipun pisah ranjang, tapi Sandy merasa senang, karena Ayuna masih mengijinkan dirinya untuk tinggal di rumah mereka.

"Sudah siap?" tanya Sandy saat melihat putrinya datang dengan pakaian yang sudah rapi. Seragam sekolah merah putih sudah melekat di tubuhnya.

"Sudah, pa. Bunda juga sudah siap," kata Sabrina dengan penuh semangat. Senyum terus menghiasi wajahnya yang cantik.

"Ya sudah kita berangkat sekarang," ujar Sandy, lalu melangkah lebih dulu. Ayuna tersenyum melihat kedekatan dan keakraban suami dan putrinya. 

Jika boleh egois, Ayuna tidak ingin suaminya pergi menemui Renita dan juga Killa. TapiTapi Ayuna sadar, kalau Sandy mempunyai anak dari perempuan lain. Bahkan perempuan itu sudah menjadi istri Sandy kembali. Mau tidak mau, Ayuna harus rela berbagi, dan itu tidak akan lama, karena dia sudah mempunyai rencana.

Belum sempat mereka masuk ke mobil, tiba-tiba gawai milik Sandy berdering. Awalnya ia abaikan, tapi benda pipih itu terus berbunyi. Khawatir ada yang penting, Sandy mengambil gawai miliknya, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut.

[Halo ada apa]

[ …. ]

[Iya, iya. Aku ke sana sekarang]

Sambungan telepon terputus, Sandy menghembuskan napasnya. Lalu ia melirik istri dan putrinya yang sudah siap untuk berangkat. Jujur, Sandy tidak ingin membuat putrinya kecewa, susah payah mendapatkan maaf dari Sabrina. Dan Sandy tidak ingin putrinya kembali membencinya.

"Ada apa, pa?" tanya Sabrina.

"Ada telepon dari kantor, kalau papa harus ke kantor sekarang," dustanya. Karena tidak mungkin Sandy mengatakan yang sejujurnya.

"Yah, jadi papa tidak bisa datang dong." Sabrina nampak kecewa. Melihat itu Sandy tidak tega, tapi ia tidak punya pilihan lain.

"Papa nggak lama kok, setelah urusan kantor selesai. Papa langsung ke sekolah kamu," ujar Sandy. Berharap putrinya tidak marah.

"Ya sudah, tapi kalau papa bohong. Sabrina nggak mau ketemu sama papa lagi," kata Sabrina.

"Iya, sayang. Papa pergi dulu ya, nanti kalian diantar sama mang Ujang." Sandy mencium kening putrinya, lalu berpindah ke kening istrinya. Setelah itu Sandy bergegas masuk ke dalam mobil lalu pergi.

"Sayang kita pergi sekarang yuk." Ayuna menggandeng tangan putrinya untuk masuk ke dalam mobil lainnya.

Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke sekolah. Ayuna merasa jika ada yang disembunyikan oleh suaminya. Bukankah urusan kantor untuk hari ini akan di handle oleh Wisnu, asisten pribadi Sandy. Lalu untuk apa laki-laki itu datang ke kantor. Ayuna sangat yakin jika suaminya berpamitan bukan untuk ke kantor, tapi tempat lain.

"Bun, itu kan mobil papa. Kok lewat sini, katanya papa mau ke kantor." Sabrina menunjuk sebuah mobil yang melintas di sebelahnya. Mendengar itu, Ayuna lantas melihat mobil yang kini melaju di depan mobilnya.

"Mungkin papa …. "

"Kalau belok kanan kan ke sekolah kak Killa, bun. Terus kalau belok kiri ke sekolah Sabrina." Sabrina memotong ucapan ibunya. Bocah perempuan itu sangat hafal jalan menuju ke kantor ayahnya. Dan juga jalan ke sekolah Killa.

"Bun, ikutin mobil papa," kata Sabrina. Mendengar itu Ayuna hanya mengangguk, setelah itu ia meminta mang Ujang untuk mengikuti mobil Sandy.

Ternyata dugaan Sabrina tidak meleset, karena mobil ayahnya memang berhenti di sekolah Killa. Dan yang membuat Sabrina kecewa, kenapa ayahnya harus berbohong, kenapa tidak terus terang saja. Mata Sabrina terus memandang ayahnya yang menggandeng tangan Killa dengan raut wajah bahagia.

"Sayang kamu baik-baik saja kan." Ayuna mengusap bahu putrinya. Ia tahu bagaimana perasaan Sabrina, karena Ayuna sendiri kecewa dengan kebohongan suaminya itu.

"Setelah ini Sabrina tidak mau ketemu sama papa lagi, bun." Sabrina langsung menenggelamkan wajahnya di dada Ayuna, ibunya. 

"Bunda mengerti bagaimana perasaan kamu." Ayuna mengusap punggung putrinya dengan lembut, setelah itu ia meminta mang Ujang melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status