Share

Kecewa

Sabrina dan Ayuna sudah sampai di sekolah, meskipun kecewa dengan ayahnya. Tapi bocah perempuan itu memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Sabrina tidak ingin ibunya bersedih karena dirinya. Selama ini hanya ibunya yang mau mengerti, ayahnya memang menyayanginya. Tapi tetap ada perbedaan, terlebih sekarang sang ayah telah menikah lagi.

"Sayang, kamu baik-baik saja kan." Ayuna mengusap kepala putrinya.

"Sabrina baik-baik saja kok, bun." Sabrina mengangguk dengan tersenyum. Setelah itu mereka kembali fokus dengan acara yang ada.

Selama acara berlangsung, Ayuna sama sekali tidak peduli dengan pesan yang dikirim oleh suaminya. Wanita hamil itu memilih fokus dengan acara yang ada, terlebih ketika pengumuman siapa yang menjadi peringkat pertama. Sungguh, Ayuna benar-benar bangga dengan putrinya. Sabrina kembali menjadi juara kelas, bahkan bocah itu menjadi juara lomba Matematika tingkat nasional.

"Selamat ya, sayang. Bunda benar-benar bangga sama kamu." Ayuna menciumi wajah putrinya dengan begitu bangga. 

"Terima kasih, bun." Ayuna melingkarkan tangannya di pinggang ibunya. Ekor matanya melirik ke arah teman-temannya, di mana kedua orang tua mereka datang bersama, tidak seperti dirinya. Meskipun begitu Sabrina tetap harus semangat.

Setelah semuanya selesai, Sabrina dan Ayuna memutuskan untuk pulang. Ayuna juga sudah lelah, ketika hendak melangkah menuju ke mobil. Tiba-tiba seorang laki-laki datang menghampiri mereka. Sabrina tersenyum melihat siapa yang datang. Meskipun ayahnya sudah tidak perhatian seperti dulu lagi, tapi masih ada om Hans, adik Sandy dari pernikahan ayahnya yang kedua.

"Gimana nih, keponakan om jadi juara lagi tidak." Hans melangkah mendekati Sabrina.

"Jadi juara lagi dong, om. Hadiahnya mana, om." Sabrina menengadahkan tangan kanannya.

"Keponakan om ini memang paling hebat. Ini hadiah untuk kamu." Hans mengulurkan sebuah buket coklat. Dengan penuh semangat Sabrina menerima buket tersebut.

"Wah, makasih ya, om." Sabrina terlihat begitu bahagia. Melihat itu Ayuna tersenyum, begitu juga dengan Hans.

"Kak Sandy tidak datang?" tanya Hans.

"Tidak, mungkin sedang sibuk," jawab Ayuna. Mendengar itu Hans menyunggingkan senyumnya.

"Sibuk dengan mantan istri yang sekarang jadi istri mudanya," ujar Hans. Laki-laki itu cukup kecewa dengan kelakuan Sandy. Meskipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda, tapi ayah mereka sama. Hans turut prihatin dengan rumah tangga Sandy.

"Oya, kalian mau pulang kan. Aku anterin gimana," tawarnya. Mendengar tawaran dari Hans, sontak Ayuna menoleh ke arah putrinya.

"Boleh, om. Om udah lama nggak pernah main ke rumah, nanti temenin Sabrina main ya, om." Sabrina begitu bersemangat. Memang, Hans sering datang ke rumah untuk mengajak main Sabrina. Tapi akhir-akhir ini Hans sibuk dengan bisnisnya.

"Sayang, om Hans kan kerja," kata Ayuna.

"Hari minggu besok gimana? Nanti om ajakin jalan-jalan," ucap Hans. Mendengar itu Sabrina hanya mengangguk.

"Jangan bohong ya, om. Jangan kaya papa suka bohong," kata Sabrina.

"Sayang nggak boleh begitu," tegurnya, sementara Sabrina hanya tersenyum. Setelah itu mereka memutuskan untuk pulang. Sabrina dan Ayuna diantar oleh Hans, sedangkan mang Ujang pulang lebih dulu.

***

Malam harinya, Sabrina dan Ayuna tengah duduk santai di depan televisi. Tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang berhenti di halaman depan. Sabrina sudah sangat hafal, siapa pemilik mobil tersebut. Siapa lagi jika bukan ayahnya, Sabrina yang sudah terlanjur kecewa, memutuskan untuk bangkit dan masuk ke dalam kamar.

"Bun, kalau papa nanyain Sabrina. Bilang saja Sabrina sudah tidur, Sabrina nggak mau ketemu sama papa," kata Sabrina.

"Iya, sayang." Ayuna mengangguk, ia tabu bagaimana perasaan putrinya. Ayuna sendiri kecewa dengan suaminya.

Selang beberapa menit Sandy masuk, terlihat jika lelaki itu datang sembari membawa sebuah kotak berukuran sedang. Jujur, rasanya Ayuna malas bertemu dengan Sandy, kebohongan yang diciptakan. Membuat rasa percaya Ayuna hilang tak tersisa, karena sekali berbohong maka ke depannya akan kembali berbohong.

"Sayang, Sabrina mana." Sandy melangkah mendekati istrinya yang sedang duduk di sofa.

"Sabrina sudah tidur, mas." Ayuna menjawab seraya meraih tangan suaminya, lalu diciumnya punggung tangan tersebut.

"Tumben jam segini sudah tidur." Sandy nampak kecewa. Lalu menjatuhkan bobotnya di sebelah istrinya.

"Mungkin capek, jadi tidur cepet," kata Ayuna. Sedangkan Sandy hanya mengangguk.

"Padahal mas udah bawa hadiah untuk Sabrina. Oya, untuk tadi siang maaf ya. Karena mas tidak bisa datang, ada banyak kerjaan yang tidak bisa ditinggal." Sandy terpaksa berbohong, ia tidak ingin istrinya marah karena dirinya lebih mementingkan Renita dan Killa.

Ayuna menyunggingkan senyumnya. "Sudah dapat ditebak, sekali berbohong, maka ke depannya pasti akan berbohong."

Sandy mengernyitkan keningnya. "Berbohong, maksud kamu … sayang, mas benar-benar sibuk di kantor, sebagai gantinya liburan besok kita …. "

"Udahlah, mas. Aku capek mau istirahat." Ayuna bangkit dengan cukup hati-hati. Setelah itu ia melangkah meninggalkan suaminya yang masih duduk mematung di sofa ruang tengah.

Setelah itu, Sandy memutuskan untuk bangkit dan beranjak menuju ke kamar putrinya. Setibanya di sana, Sandy melangkah menuju ranjang di mana putrinya sudah terlelap. Padahal waktu menunjukkan pukul delapan, biasanya jam sembilan Sabrina baru akan tidur. Sandy menghela napas seraya menjatuhkan bobotnya di tepi ranjang.

"Sayang, maafin papa ya. Papa tidak bermaksud untuk berbohong, papa sayang sama Sabrina." Sandy mencium kening putrinya, lalu meletakkan kotak hadiah yang dibawa tepat di sebelah Sabrina. Setelah itu Sandy memutuskan untuk keluar dari kamar putrinya.

***

Seminggu telah berlalu, dan hari senin besok adalah hari ulang tahun Sabrina yang ke delapan. Seperti biasa, Sabrina akan merayakannya, dan kali ini bocah itu berencana untuk merayakan ulang tahunnya bersama dengan anak-anak dari panti asuhan. Sandy yang hampir seminggu ini tidak pernah bertemu dengan Sabrina, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

Ya, setelah kejadian seminggu yang lalu, Sabrina meminta ayahnya untuk tidak menemuinya. Sabrina benar-benar kecewa, karena ternyata ayahnya lebih menyayangi Killa dan Renita. Jujur, Sandy menyesal karena sudah membuat kecewa putrinya, tapi laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dan untuk menebus kesalahannya, Sandy berjanji akan menghabiskan waktunya di hari ulang tahun putrinya.

"Papa belum datang ya, bun?" tanya Sabrina. Kini bocah perempuan itu sudah berdiri di depan kue ulang tahunnya. Teman-teman dan anak panti asuhan juga sudah datang.

Seharusnya Sandy datang dari semalam, tapi selalu ada alasan. Sabrina berusaha untuk memaklumi, walaupun dalam hati ia kecewa. Karena ternyata ayahnya tidak bisa berbuat adil. Ayahnya juga tidak bisa menepati omongan dan janjinya. Karena pada kenyataannya sang ayah lebih mementingkan keluarga barunya.

"Belum, mungkin sebentar lagi." Ayuna berusaha untuk tetap meyakinkan putrinya, jika ayahnya akan datang.

Waktu terus berjalan, dentingan jam juga terus bergerak. Dan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, padahal acara seharusnya pukul sembilan. Satu jam sudah Sabrina menunggu ayahnya, karena tidak datang dan tidak ada kabarnya. Sabrina memutuskan untuk memulai acaranya. Lagi pula, kasihan dengan tamu undangan yang sudah datang.

"Kita mulai sekarang saja, bun." Sabrina berucap dengan hati yang kecewa.

"Ya sudah, lagi pula kasihan mereka yang sudah pada datang." Ayuna setuju. Setelah itu ia meminta bantuan Hans untuk memulai acara ulang tahun putrinya.

Acara berjalan dengan lancar dan meriah, meskipun bibir Sabrina tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Rasa kecewa yang berulang, entah alasan apa lagi yang akan ayahnya katakan nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status