Aku menangis tergugu di depan rumah orang tuaku sendiri, masih berlutut di tempat yang sama, ketika aku datang tadi.
Aku mendongak saat mendengar pintu rumah terbuka, ada sedikit rasa senang di hati ini, hampir saja bibir ini tersenyum. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi, seluruh tubuhku basah, karena tersiram oleh air yang dibawa oleh bapak.
"Cepat pergi dari rumahku! Jangan kamu kotori halaman rumah ini dengan dosa-dosa yang melekat di tubuhmu!" Bapak mengusirku lagi anak kandungnya sendiri. Lelaki cinta pertamaku itu benar-benar telah termakan oleh kebohongan mas Anwar.
Diriku seperti orang yang benar-benar hina, seolah tubuh ini adalah barang yang sangat najis, sehingga bapak, orang yang telah mengukir jiwa ragaku tega memperlakukan hal seperti itu.
"Pergi!" Kali ini bapak berteriak sambil melempar ember padaku. Sakit akibat terkena lemparan ember tak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan.
Tetangga sekitar sudah banyak yang keluar rum
Sudah hampir setahun aku berada di kota kecil ini dan selama itu pula masih terus belajar menata hati dan hidupku, sungguh suatu keberuntungan bisa tinggal di lingkungan yang dikelilingi dengan orang-orang baik.Karena kedekatan diantara kami, para warga meminta agar aku membantu mengajar di sebuah taman kanak-kanak yang ada di kampung ini, karena mereka masih kekurangan tenaga pengajar dan dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Sementara siang sampai sore hari aku menerima jasa les untuk anak sekolah dasar. Syukurlah mereka dan para orang tua merasa puas dengan hasil didikan dariku.Sedikit demi sedikit aku juga mulai belajar lagi tentang agama. Hal yang terlupakan selama berumah tangga dengan Mas Anwar. Adalah Pak Imron dan Bu Dewi pasangan suami-istri yang sangat berjasa dalam hidupku. Mereka lah yang selalu menuntun den
"Kita harus secepatnya menikah, Lis. Kalau kamu tidak mau, aku akan mencari wanita lain," katanya seusai kami melakukan aktivitas yang sangat menggairahkan. Kembali Anwar mengungkit tentang pernikahan, sebuah pembahasan yang selalu membuatku jengah.Saat ini lelaki itu sedang duduk di sofa, sepertinya dia sangat kelelahan setelah menuntaskan hasratnya. Aku yang sedang berdiri di depan meja pantry, hanya menatapnya sendu. Dia lelakiku, pujaan hatiku, kini telah dilanda dilema karena tuntutan untuk segera menikah oleh orang tuanya."Kenapa harus menikah sih, Dear? Bukankah begini lebih asyik? Kita bisa saling mencintai tanpa harus terikat satu sama lain," ujarku sambil mendekatinya, memberikan segelas jus jeruk."Papa dan Mama, mereka selalu mendesak agar aku lekas menikah, Lisa. Usiaku sudah 30 tahun, jadi ... kamu mau kan menikah denganku?" tanyanya sekaligus sebuah permintaan yang sangat sulit untuk terkabulkan. Dia mener
Setelah cukup lama berbincang, Papa Haris dan Mama Ana akhirnya berpamitan. Mereka berjanji akan sering-sering datang ke sini untuk menengok Bintang. Sebenarnya mereka sangat berat jika harus berpisah dengan cucunya ini. Namun, mereka tidak mau egois, Mama Ana paham kalau Bintang lebih membutuhkanku, ibunya.Mereka juga menawarkan agar Mbak Sari—baby sitter—yang selama ini mengasuh Bintang, untuk tinggal di sini. Namun, dengan sopan aku menolaknya."Semua akan baik-baik saja, Ma. InsyaAllah aku bisa merawat Bintang dengan baik. Terima kasih atas segala perhatianmu." Mama Ana menatapku kemudian tersenyum lembut sambil mengangguk."Aku percaya padamu, Rin. Seharusnya dari dulu kami melakukan ini, maaf," ucapnya. Aku pun hanya tersenyum menanggapi ucapanya.Sebelum mereka beranjak keluar rumah, Mama Ana memberikan sebuah amplop yang cukup tebal padaku, kembali dengan sopan aku menolaknya.
Ayo! Lekas padamkan apinya!" Teriakan itu terdengar diantara riuh suara orang-orang yang ada di sini, mereka bersorak kegirangan menyaksikan si jago merah yang sedang mengamuk membakar apa saja yang disentuhnya."Padamkan apinya!" Kembali suara itu terdengar. Seorang lelaki berhasil menembus kerumunan, samar-samar terlihat dia tengah membawa ember dan menyiramkan air pada api yang berkobar semakin besar.Beberapa warga yang menyaksikan lelaki itu tergerak ikut membantu. Mereka berlarian berhamburan mencari apa saja untuk mengambil air.Aku tidak begitu jelas melihat siapa lelaki itu, pandangan ini kabur tertutup oleh air mata. Seseorang telah memapah diri ini, hanya bisa pasrah kerena tubuh terasa lemas tak berdaya.Dengan tertatih aku terus melangkah sambil mendekap Bintangku, meninggalkan rumah yang ebtah bagaimana bentuknya. Dengan tegas aku menolak saat seseorang mencoba membatu dengan mengambil alih B
"Mungkin dia kangen denganku, Rin." Tanpa melihatnya, aku bahkan bisa tahu siapa pemilik suara itu. Seketika emosi menguasai hati ini. Berkali-kali aku mengucapkan istighfar, agar bisa mengendalikan diri. Jangan sampai aku kehilangan kendali, melupakan tentang sopan santun kepada orang lain.Aku masih menggendong Bintangku, tanpa sadar diri ini begitu erat mendekapnya, hingga balita itu meronta karena merasa kurang nyaman."Bagaimana pun juga aku adalah papanya, jadi wajar kalau dia merindukanku. Jadi berikan juniorku padaku." Dengan percaya diri lelaki itu menyebut dirinya papa. Aku sungguh tak bisa menahan lagi, ingin sekali melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.Lelaki yang pernah menjadi suamiku itu memegangi pipinya yang berwarna merah dan bergambar dengan lima jari sempurna, dia sedikit menggeram setelah tamparan yang cukup keras sudah kuhadiakan untuknya. Pemilik pipi itu nam
"Ajaklah Lisa datang bersamamu," pesanku saat berbicara di telepon dengannya, tak ada jawaban hanya hembusan napasnya saja yang kedengaran, sepertinya dia sedang menahan sesuatu. Hingga nafasnya terdengar memburu."Kamu mendengarkan aku kan, Pak? Hallo?! Dia hanya berdehem, kuputar mataku jengah, dari tadi cuma hamhem hamhem aja."Jangan lupa ajak istrimu itu, agar tak timbul fitnah. Apa kamu tahu, Pak? Kalau fitnah itu sangatlah kejam, bahkan lebih kejam dari pembunuhan."Pernyataanitu sengaja aku lontarkan padanya, agar dia mengingat apa yang pernah dilakukannya padaku dulu. Dia tetap diam tak bersuara, tiba-tiba saja panggilan terputus.Aku tersenyum membayangkan ekspresinya saat ini. Antara marah dan kesal menjadi satu. Marah? Mungkin, karena tadi aku meladeni setiap obrolannya dengan sangat manis. Namun, di akhir obrolan aku menyuruhnya datang bersama istrinya. Apalagi aku tadi juga sempat menyinggun
"B-Bu Rina?" Khoir terbata menyebut namaku. Tunggu bukankah putra bu Dewi bernama Irul? Jadi apa hubungan Khoir dan bu Dewi?"Nak Rin, kenal Irul?" tanya bu Dewi dan itu sudah menjawab kebingunganku."Iya, Bu. Bu Rina, ini dulu bosnya Irul." Khoir menjawab pertanyaan ibunya. Namun, Bu Dewi masih nampak kebingungan."Dulu itu, aku ini sopirnya suaminya Bu Rina, Bu. Namun, tugasku lebih sering mengantarkan Bu Rina ke mana-mana." Dengan lembut Khoir menjelaskan pada ibunya. Wanita yang sedang memakai gamis batik itu menganggukkan kepalanya, faham.*****Khoir dan beberapa temannya sedang membersihkan semak belukar yang ada di lahan bekas rumahku yang terbakar. Di lahan itu rencananya akan kudirikan sebuah taman pendidikan Al-Qur'an. Nanti aku akan membicarakan itu dengan Khoir.Mereka semua bekerja cukup cekatan, hanya dalam waktu beberapa jam saja, lahan itu sudah kelihatan
"Kenapa, kalian masih saja menunda-nunda?! Sudah jelas mereka ini pasangan selingkuh! Maling mana ada yang ngaku, sih?" Kembali Lisa berteriak kesal. Wanita itu begitu bersemangat agar aku segera dengan Khoir."Ibu, bisa tenang?!" hardik pak Husain pada Lisa. Wanita itu mendengus kesal karena ucapannya tak dihiraukan.Pak Husain dan yang lainnya hanya menggeleng menyaksikan kelakuan wanita yang sedari tadi tak bisa tenang.Semua kembali hening, aku masih terisak sambil terus mendekap Bintang. Balitaku ini sepertinya ketakutan, badannya gemetar dan tangannya begitu erat memelukku."Bagaimana, Rul? Apa kamu bersedia menikahi Nak Rina?" tanya pak Husain serius pada Khoir. Setelah beberapa saat Khoir terdiam, akhirnya dia mengangguk. Aku menutup mata ketika melihatnya mengangguk, apa tujuannya mau menyetujui pernikahan itu?Tak berselan