~MALIK~
🌸🌸🌸Aku yang masih berada di bengkel mendapatkan panggilan dari Fandi. Dia memberitahu kalau sekarang tengah dalam perjalanan menuju rumahnya Ayu bersama Karin. Lekas kutinggalkan motor yang masih di periksa dan bergegas menyusul keduanya ke sana.
Bertepatan dengan aku yang turun dari ojek, mobil Fandi pun baru tiba di sana. Keduanya kompak melempar senyum ramah seraya berjalan mendekat. Melihatku, Kamal langsung meronta-ronta dari gendongan Karin dengan tangannya yang terjulur ke arahku.
"Kangen papanya dia," ujar Fandi sembari tersenyum.
"Jagoan papa. Sini," ucapku seraya mengambilnya dari gendongan Karin. Mencium kedua pipinya berkali-kali hingga dia tertawa geli. "Maaf, ya, Jagoan. Seminggu ini papa nggak datang," ucapku seraya mengusap kepalanya. "Ayo kita masuk!"
&nb
~KARIN~ 🌸🌸🌸 Terkadang, dalam hidup kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan, kisah hidup kadang tak sejalan dengan impian. Tak jarang kita melepas sesuatu yang berharga dan baru menyesal setelah kehilangan. Sebenarnya, kita tidak pernah kehilangan apa pun dalam hidup. Mungkin saja semua itu ditukar atau diganti dengan sesuatu yang lebih indah. Seperti kisah hidupku sekarang. Aku pernah kehilangan pria yang sangat kucintai, tapi lihatlah sekarang. Aku mendapatkan pria yang jauh berkali-kali lipat lebih baik dan tahu bagaimana menghargai pasangan. Tak perlu kita menyesal apa yang terjadi dalam hidup karena itu semua sudah menjadi skenario-Nya. Begitu juga dengan yang tengah dialami Ayu sekarang. Dia mungkin kehilangan dua orang yang p
~MALIK~ 🌸🌸🌸 Aku tersenyum melihat interaksi Fandi dan Karin yang romantis. Ikut merasakan bahagia meski tak kupungkiri cemburu itu masih ada. Keduanya menoleh saat aku memanggil untuk berpamitan pulang. Sempat kulambaikan tangan yang dibalas Fandi dengan melambaikan tangan mungil Kamal. Ketiganya benar-benar terlihat serasi dan harmonis. Gambaran keluarga bahagia yang tak Karin dapatkan saat bersamaku dulu. Motor melaju sedang membelah keramaian jalanan. Sempat terbayang adegan ketiganya tadi seolah Fandi berubah menjadi diriku. Aku tersenyum, menggeleng cepat demi mengusir pikiran yang sempat melintas itu. Karin sudah bahagia ... itu yang terpenting sekarang. Kuhembuskan napas panjang saat sesak kembali mendera. Susah sekali melupa
~KARIN~🌸🌸🌸Tak pernah diduga berita duka itu akan datang pagi ini. Aku yang tengah menyiapkan sarapan dibantu Bi Wati, seketika syok saat mendengar kabar dari Mas Malik bahwa Mama meninggal. Beliau memang lumpuh, tapi kondisi fisiknya sehat. Tak kusangka beliau akan pergi secepat ini. Sudah pasti Mas Malik terpukul berat. Bisa terdengar dari bagaimana dia menangis tadi.Aku dan Mas Fandi bergegas ke sana. Kamal yang masih tertidur pulas pun terpaksa dibangunkan. Hanya diganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, aku masih tak bisa berhenti menitikkan air mata meski Mas Fandi berusaha menenangkan.Kilas balik hubungan kami kembali hadir satu per satu memenuhi kepala. Beliau memang tak pernah sekali pun bersikap baik, tapi tak pernah aku menyimpan dendam. Meski beliau tak pernah menerima diri ini sebagai menantu, ta
~KARIN~ 🌸🌸🌸🌸 Aku tertegun melihat wanita dengan pakaian celana jeans ketat dan atasan polos yang dibalut dengan cardigan. Bukan hanya itu yang membuatku terkejut, tapi luka lebam di wajahnya . "Maaf, siapa, ya?" tanyaku lembut. "Ini rumahnya Fandi?" Wanita itu bertanya balik. "Fandi?" "Iya. Fandi Setiawan." "Benar. Kamu ada perlu apa mencari suamiku?" "Em, boleh aku masuk dulu?" "Oh ... iya, iya. Silakan masuk," ucapku meski sempat sedikit bingung. Ayu yang sedang duduk di karpet bersama Kamal, seketika menatap pada kami yang berjalan beriringan. "Duduklah,"
~Malik~🌸🌸🌸Kehidupan perekenomian kami semakin membaik sejak aku bekerja di perusahaan papanya Ayu. Sayang, Mama tidak bisa ikut menikmati karena sudah lebih dulu dipanggil saat keadaan ekonomi masih terpuruk. Aku pun kini bisa kembali memiliki mobil meskipun hanya mobil second.Sejak kepergian Mama, Papa jadi lebih pendiam. Beliau sering terlihat merenung sendiri dan lebih sering sakit-sakitan. Hal itu sungguh membuat khawatir. Ketika kuceritakan ini pada Fandi dan Karin, dengan baiknya mereka sering datang berkunjung membawa Kamal untuk menghiburnya.Malam ini, aku diminta datang ke rumah Om Prambudi untuk membicarakan sesuatu. Entah apa. Mungkin masalah pekerjaan di perusahaan. Bergegas aku turun setelah berganti pakaian."Pah," panggilku, tapi Papa tak menjawab. Matanya memandang lurus ke layar televisi, ent
KARIN🌺🌺🌺"Sedang apa Mbak Ranti di sini?" tanyaku. Kaget melihat dia ada di kamarku seraya mencoba perhiasan dan berkaca."Eh? K–Karin." Dia langsung gelagapan. Membuka perhiasanku kembali, lalu dengan cepat mengembalikan ke tempatnya.Sudah dari seminggu yang lalu, Mbak Ranti akhirnya bekerja sebagai pembantu di sini. Cucu Bi Wati wafat. Jadi, beliau terpaksa cuti dan pulang kampung. Tanpa berpikir macam-macam, aku dan Mas Fandi sepakat memberi Mbak Ranti pekerjaan sementara waktu sampai Bi Wati kembali.Tadi, aku sempat bilang mau pergi ke rumah Ayu padanya. Tak kusangka, ponsel yang tertinggal membuatku tanpa sengaja memergoki kelakuan tidak sopannya ini."Kamu lancang, ya, Mbak. Siapa yang nyuruh Mbak masuk ke kamar ini?" tegasku dengan tatapan tajam."Maaf, Rin. Aku
KARIN🌺🌺🌺"Aku dan Ayu ... kami berdua sudah sepakat untuk menikah kembali, Dek."Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya senyum bahagia mengembang di wajah."Benarkah? Ini ... serius?"Ayu mengangguk dengan wajah tertunduk dan seulas senyum malu."Alhamdulillah. Aku ikut senang mendengar kabar baik ini. Kapan rencananya akad dan resepsi diadakan?""Aku dan Mas Malik sepakat tidak ada resepsi. Akad juga hanya akan dihadiri keluarga saja, kok. Iya, 'kan, Mas?" Ayu menoleh pada Mas Malik yang dijawabnya dengan anggukan."Tidak apa-apa. Yang penting kalian segera sah di mata agama dan negara. Aku ikut senang. Semoga ini menjadi pernikahan terakhir kalian sampai akhir hayat.""Aamiin," sahut keduanya serempak.
MALIK🌺🌺🌺Aku yang baru saja akan makan malam bersama Papa, langsung tersenyum ketika melihat nomor Karin memanggil. Pertama kalinya dia menghubungiku dengan nomornya sendiri. Biasanya, dia selalu menggunakan nomor Fandi."Kenapa senyum-senyum sendiri?""Ah? Tidak, Pah. Ini ... Karin telepon.""Ya sudah diangkat. Kenapa malah senyum-senyum begitu? Ingat, ya, Mal. Jaga hati. Kamu sebentar lagi akan menikah dengan Ayu. Jangan plin-plan!""Iya, Pah. Aku hanya senang saja Karin meneleponku langsung." Aku tersenyum kikuk, lalu segera menggeser ikon hijau di layar ponsel. "Asalamu'alaikum," sapaku seraya melirik Papa yang terus mengawasi."W-wa'alaikumsalam, Mas."