Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.
Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.
Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah.
"Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
"Happy Anniversary, Mas!" seru Karin sesaat setelah pintu terbuka.Karin tersenyum lebar dengan kue di tangannya. Namun, seketika senyum itu hilang, ketika dia melihatku berdiri di ambang pintu dengan seorang wanita berambut cokelat yang bergelayut manja di lengan. Senyum bahagianya telah berubah dengan raut penuh tanya."Mas?" Karin menatapku dan Ayu bergantian.Aku tersenyum hambar. Mencoba melepaskan tangan Ayu, tapi dia menolaknya."Aku pulang, Karin," ucapku dengan rasa yang sulit dijelaskan. Kebahagiaan yang sempat kurasakan tiga hari lalu saat berbulan madu kedua bersama Ayu, kini hilang seketika melihat sorot mata Karin yang penuh tanya."Apa kita mau berdiri terus di sini, Malik?" tanya Mama dari belakangku dengan suara ketus."M–Masuk, Mas," ucap Karin setelah lama dia terdiam menatapku.Aku berjalan melewati Karin dengan
Semudah inikah pria terlena dengan sesuatu yang baru? Atau hanya aku sendirilah yang kurang bersyukur dan cepat tergoda dengan harum bunga lainnya?Beberapa waktu yang lalu, aku sempat lupa dengan air mata Karin ketika deru napas dan detak jantungku berpacu cepat di kamar tamu ini. Terlena dengan kepuasan dan kenikmatan sampai lupa ada yang terluka di kamar lain. Wanita yang mungkin tengah memeluk guling seorang diri dengan hatinya yang hancur berkeping-keping.Mata ini terbuka perlahan. Kuhela napas saat menyadari siapa yang tengah berada di pelukan. Bagaimanapun juga, sebuah keputusan sudah diambil. Ayu kini istri sahku juga secara agama. Aku akan berusaha adil untuk keduanya. Meskipun, memang ini tidaklah mudah.Kulepaskan tangan Ayu yang melingkar di pinggang dengan perlahan. Dia tertidur pulas setelah permainan panas kami yang cukup menguras tenaga. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Satu jam tertidur cukup me
"Karin ....""Aku mohon, Mas. Pergilah."Aku terdiam sembari mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes, dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Tak ingin membuatnya semakin terluka, aku pun bangkit.Namun, belum sempat turun dari ranjang, suara gedoran di pintu mengejutkan kami berdua. Aku menoleh pada Karin. Dia tersenyum."Ayu mencarimu, Mas," lirihnya. "Pergilah. Jangan membuatnya semakin marah!" Karij kembali mengubah posisi tidurnya membelakangiku.Aku menghela napas berat, mengusap wajah dengan kasar, lalu turun dari ranjang. Gedoran di pintu diiringi teriakan suara cempreng Ayu membuatku menggeram kesal.Tidak bisakah dia pengertian sedikit? Aku perlu merayu Karin. Perlu memenangkan kembali hatinya yang sedang terluka. Bagaimanapun juga, aku tidak rela jika harus kehilangannya.Susah payah dulu aku memperjuangkannya untuk
Pekerjaan yang menumpuk membuatku sedikit lupa akan masalah di rumah. Ayu sendiri sudah diantar ke tempat kerjanya. Kami memang tidak satu kantor. Dia anak dari sahabat Mama yang pernah mau dijodohkannya denganku, tapi batal. Ayu lebih memilih pria lain yang pada akhirnya malah mencampakkan setelah merebut mahkotanya."Sibuk?"Aku mendongak. Athony menumpukan dagunya di pembatas meja kerja."Lumayan. Ada apa?" tanyaku sembari tetap fokus menatap layar komputer."Aku dengar kamu menikah lagi. Beneran?"Gerakan tanganku yang sedang mengetik seketika terhenti, lalu menghela napas berat. Menatap Anthony dengan raut tidak suka."Dari mana kamu tahu itu?"Anthony berdecak dengan senyuman miringnya. "Satu kantor juga sudah pada tahu kali. Mau kamu sembunyikan gimana juga, tetap saja gosip itu cepat menyebar."Aku mengusap wa
Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam."Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru s
Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah."Hati-hati," ucapku saat membantunya turun."Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"Karin tersenyum dan mengangguk.Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.Ke mana semua orang?Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun
Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak
Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad