KARIN🌺🌺🌺"Sedang apa Mbak Ranti di sini?" tanyaku. Kaget melihat dia ada di kamarku seraya mencoba perhiasan dan berkaca."Eh? K–Karin." Dia langsung gelagapan. Membuka perhiasanku kembali, lalu dengan cepat mengembalikan ke tempatnya.Sudah dari seminggu yang lalu, Mbak Ranti akhirnya bekerja sebagai pembantu di sini. Cucu Bi Wati wafat. Jadi, beliau terpaksa cuti dan pulang kampung. Tanpa berpikir macam-macam, aku dan Mas Fandi sepakat memberi Mbak Ranti pekerjaan sementara waktu sampai Bi Wati kembali.Tadi, aku sempat bilang mau pergi ke rumah Ayu padanya. Tak kusangka, ponsel yang tertinggal membuatku tanpa sengaja memergoki kelakuan tidak sopannya ini."Kamu lancang, ya, Mbak. Siapa yang nyuruh Mbak masuk ke kamar ini?" tegasku dengan tatapan tajam."Maaf, Rin. Aku
KARIN🌺🌺🌺"Aku dan Ayu ... kami berdua sudah sepakat untuk menikah kembali, Dek."Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya senyum bahagia mengembang di wajah."Benarkah? Ini ... serius?"Ayu mengangguk dengan wajah tertunduk dan seulas senyum malu."Alhamdulillah. Aku ikut senang mendengar kabar baik ini. Kapan rencananya akad dan resepsi diadakan?""Aku dan Mas Malik sepakat tidak ada resepsi. Akad juga hanya akan dihadiri keluarga saja, kok. Iya, 'kan, Mas?" Ayu menoleh pada Mas Malik yang dijawabnya dengan anggukan."Tidak apa-apa. Yang penting kalian segera sah di mata agama dan negara. Aku ikut senang. Semoga ini menjadi pernikahan terakhir kalian sampai akhir hayat.""Aamiin," sahut keduanya serempak.
MALIK🌺🌺🌺Aku yang baru saja akan makan malam bersama Papa, langsung tersenyum ketika melihat nomor Karin memanggil. Pertama kalinya dia menghubungiku dengan nomornya sendiri. Biasanya, dia selalu menggunakan nomor Fandi."Kenapa senyum-senyum sendiri?""Ah? Tidak, Pah. Ini ... Karin telepon.""Ya sudah diangkat. Kenapa malah senyum-senyum begitu? Ingat, ya, Mal. Jaga hati. Kamu sebentar lagi akan menikah dengan Ayu. Jangan plin-plan!""Iya, Pah. Aku hanya senang saja Karin meneleponku langsung." Aku tersenyum kikuk, lalu segera menggeser ikon hijau di layar ponsel. "Asalamu'alaikum," sapaku seraya melirik Papa yang terus mengawasi."W-wa'alaikumsalam, Mas."
Setibanya di kantor polisi, kami bergegas masuk. Melihat Kamal, Karin langsung berlari mendekat dan memeluknya sambil menangis. Kamal pun menangis dan selalu berkata 'takut.'"Papaa ...." Kamal menoleh dan beralih ke gendonganku. "Takut, Pah. Om dan Tante itu jahat cemua. Aku dicubit telus," adu Kamal sembari menangis tergugu di pelukanku."Ssshh ... tenang, ya," ucapku seraya mengusap punggungnya. "Sekarang kamu sudah aman. Ada Mama dan Papa di sini. Tidak akan ada lagi yang berani menyakitimu." Aku melirik Karin yang tengah menunduk menyeka air matanya.Setelah melewati beberapa prosedur, kami diizinkan untuk kembali ke rumah sakit. Namun, sebelum itu Karin bersikeras ingin bertemu Ranti dulu meski awalnya sempat tidak diperbolehkan. Kamal yang sempat digendong lagi olehnya pun langsung dialihkan padaku, ketika melihat Ranti datang dengan kepala tert
Tiupan angin yang cukup kencang membuat dedauanan di area pemakaman berterbangan. Aku mendongak. Gumpalan awan hitam terlihat bergerombol menutupi sinar matahari pagi ini.Aku kembali menatap gundukan di hadapan, memanjatkan doa dan menaburkan bunga di atasnya. Tersenyum sembari mengusap batu nisan wanita yang pernah menjadi bagian di hidupku."Aku akan berusaha keras mengabulkan keinginan terakhirmu. Aku janji."Sudah bertahun-tahun lamanya aku berusaha mencari keberadaan dia, tapi belum berhasil. Dia seolah hilang ditelan bumi. Entah di mana dan bagaimana keadaannya sekarang, tapi aku berharap dia baik-baik saja.Dering ponsel membuatku tersadar dari lamunan tentang masa lalu. Kurogoh ponsel dan langsung menjawab panggilan tersebut."Ya?""Ada kabar baik, Pak.""Kabar baik apa?"
Karin tertegun dan kaget saat mendengar perkataanku ini."Innalillahi," lirihnya dengan air mata. "Ayu ... sudah meninggal?"Aku mengangguk."Ya Allah, Ayu. Maafkan aku. Maafkan aku tidak sempat melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Semoga kamu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya," lirih Karin seraya terus menyeka air matanya. "Aku turut berduka, Mas. Kamu pasti sangat kehilangan dan menderita.""Ya. Sama menderitanya saat aku kehilanganmu dan Kamal," balasku.Kami saling menatap sesaat. Sebelum akhirnya, Karin memutus kontak mata lebih dulu."Papa ....""Papa pun sudah tiada. Kalau bukan karena adanya putriku dan Ayu, entah seperti apa jadinya hidupku ini. Aku kehilan
Berhari-hari aku menunggu jawaban Karin berubah, tapi itu tidak terjadi. Sudah lima hari aku dan Ayesha berada di sini dan memilih tidur di mobil karena Karin meminta kami pergi. Akan tetapi, semua yang dilakukannya itu tidak akan menyurutkan niat dan langkah ini. Aku tidak akan menyerah."Papa, apa tidak sebaiknya kita pulang saja? Aku takut Bunda malah tertekan, Pah. Bagaimana kalau yang kita lakukan ini justru membuat kesehatannya semakin memburuk?"Aku diam. Otak mengiyakan, tapi hati menolak."Papa ....""Sehari lagi, Ayesha. Sehari lagi," sahutku dengan mata terpejam, "kalau sehari lagi jawaban Bunda tidak berubah, kita akan pulang. Sabar, ya.""Iya, Pah."Beberapa menit telah berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya, mata i
Aku merasa hampa dan tak berarti lagi. Semua orang telah meninggalkanku seorang diri. Pada akhirnya, aku tetap dihukum hidup dalam kesepian. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur masih sempat menemani Karin di hari-hari terakhirnya. Sudah seminggu Karin pergi, tapi rasanya masih sulit dipercaya kami takkan pernah lagi bertemu. Sungguh sakitnya tak terkira."Pah."Aku menyeka air mata dan menoleh pada Ayesha yang menyentuh lembut punggung tangan ini."Papa harus kuat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski air mata terus berjatuhan. Hampir setiap hari aku mengunjungi makamnya ditemani anak-anak."Papa ....""Papa baik-baik saja, Ayesha. Papa baik-baik saja," kataku yang nyatanya tetap gagal menahan tangis dengan wajah tertunduk."Papa." Ayesha ikut menangis dan memelukku erat dari samping.