Seperti biasa jika ada suatu peristiwa yang terjadi maka hal itu, akan dijadikan bahan pembicaraan hangat. Tak terkecuali, berita meninggalnya Hasan yang notabene adalah teman baiknya Farrel ketika keduanya sama-sama masih kecil.Mereka dengan antusias membicarakan kematian Hasan yang diyakini memang dibius terlebih dahulu sebelum dibunuh. Ada yang mendapatkan bocoran berita jika orang yang membunuh Hasan adalah orang yang tahu betul akan pemuda tersebut.Lagi dan lagi dugaan diarahkan ke Farrel walaupun pada saat kejadian pemuda ganteng berambut biru itu tengah berada di tempat latihan. Dan itu juga disaksikan oleh teman-teman juga anak didik Farrel."Bisa jadi kan, dia nyuruh orang buat habisin Hasan? Orang pintar kan begitu, nggak mungkin mengotori tangan sendiri untuk membuat dosa.""Tahu dari mana, Kang?" tanya temannya dengan tatapan mata curiga."Ya ... kan di berita TV begitu, Lek. Polisi menjelaskan, kalau dugaan sementara orang dekat.""Iya, kita tunggu saja hasilnya gimana!"
"Serius Ndul?" tanya Dino dan Vio bersamaan. Farrel menoleh sebentar pada kedua sahabatnya dan mengangguk lemah. Dino kembali bertanya untuk memastikan pendengarannya. "Jadi, kamu pernah jadi sasaran tumbal?" "Menurut yang dialami Pak Bintang di mimpinya, aku sama Rafli, Nyet." Farrel menjawab lirih."Gila, jahat banget orang, licik. Benar-benar pemuja iblis!" sahut Dino dengan geram. Farrel kembali mengangguk dengan wajah murung.Tiba-tiba ada rasa menyesakkan di dalam dada, mengingat dirinya lolos dari sasaran tumbal pesugihan yang entah dilakukan oleh siapa. Sakit, marah, dan dendam mengingat jika Hasan yang tidak mengetahui apa pun harus menjadi korban. "Aku harus cari tahu orang itu, Nyet," lirihnya. "Aku nggak bisa tenang sampai kapan pun sebelum pemilik pesugihan itu mengakui perbuatannya," ujarnya sembari melangkah menuju ke motornya, diikuti oleh Vio dan Dino."Tapi, bagaimana caranya kita tahu, Ndul?" tanya Vio bingung. Farrel terdiam lalu mendengus kasar. "Temani aku ke
"Pak Bintang, kenapa Bapak malam-malam ada di sini?" Bintang menoleh setelah bisa menguasai diri dari keterkejutannya. Laki-laki itu tersenyum sekilas kemudian menggeleng samar. "Nggak apa-apa kok, Pak Agus, tadi saya pulang kerja terus berhenti di sini," jawabnya ragu sambil kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Tempat ini sangat sepi, Pak, apalagi sejak ditemukan Hasan meninggal di sini. Jadi, masyarakat semakin jarang lewat sini. Mereka lebih suka lewat jalan lain kalau mau ke Desa Karanglor," ucap Agus sambil ikut memperhatikan sekeliling."Iya Pak, kalau saya ya, sudah biasa mau lewat pemakaman sekali pun. Sudah risiko.""Apa ada perkembangan mengenai kasusnya Hasan, Pak?" tanya Agus lagi.Bintang mengangguk sekilas. "Iya Pak, semoga pelakunya itu segera tertangkap," jawabnya.Kemudian Bintang berjongkok di rerumputan, ketika melihat suatu benda. Sementara, Agus mengikuti Bintang dengan pandangannya. "Kancing baju?" gumam Bintang lirih, kemudian mengambil benda kecil itu
Dibandingkan dengan Sigit? Farrel hanya tertawa dalam hati. Seandainya Bu Marni tahu, seperti apa anak yang begitu dibanggakan itu. Maka dia tidak akan membandingkan dirinya dengan Farrel sekalipun.Farrel sadar, dia memang tidak punya pekerjaan tetap. Dicap berandalan, suka mabuk-mabukan, dan hal itu adalah semacam aib jika hidup di lingkungan pedesaan. Sekali lagi, pemuda jangkung berambut nyentrik berwarna biru itu tersenyum miris."Syangnya aku dan Sigit sangat berbeda, Budhe. Aku nggak suka digaji, aku maunya gaji orang. Budhe, ini undangan untuk Sigit, besok lusa ada tahlilan di rumah Pak Aziz. Tolong sampaikan ya Budhe," jawab Farrel dengan sikap tak acuhnya sambil mengulurkan selembar kertas undangan ke arah perempuan paruh baya itu."Yowes, nanti malam kalau dia pulang aku kasihkan Rel.""Terima kasih Budhe, pulang dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Bu Marni sambil mengamati undangan tahlilan tujuh hari Hasan di tangannya."Kasihan ya, masih muda, ganteng. Si Hasa
Bintang dan Alisha benar-benar dibuat penasaran dengan ungkapan Pak Haji Imran mengenai tetangga mereka yang diperkirakan memiliki pesugihan. Namun, lelaki paruh baya dengan wajah ramah itu, memilih tidak mengatakan pada mereka berdua untuk saat ini.Karena jika hal itu hanya prasangka Pak Haji Imran semata maka akan menimbulkan fitnah. Pak Haji Imran perlu bukti yang benar-benar kuat untuk membuktikan dan mencegah adanya tumbal-tumbal baru.Dia hanya mengatakan secara samar dan meminta Alisha dan Bintang untuk selalu berhati-hati. "Ada dua orang, Mas, Mbak. Sebenarnya yang satu ini masih belum lama, baru menjalani ritual itu. Dan itu pun karena mendapat komporan dari yang satu ini. Kalau yang satu ini memang sudah lama, dari anaknya masih remaja. Sekarang anak-anaknya sudah mapan," ucapnya. Bintang dan Alisha memperhatikan Pak Haji Imran dengan seksama. Sembari berharap laki-laki di depannya itu kelepasan bicara sehingga setidaknya, mereka berdua tahu biang onar di Desa Karanglor ini
Setelah Alisha dan Bintang pulang maka Pak Haji Imran menyempatkan bertanya pada Farrel mengenai rencananya menjebak tuyul. Pertanyaan itu mewakili Vio yang dari tadi memperhatikan interaksi ayah dan anak tersebut."Apa rencanamu, Rel?" tanya Pak Haji Imran pada sang anak. Sama seperti dirinya yang suka membuat teka-teki maka Farrel juga menanggapi pertanyaan ayahnya itu hanya dengan senyuman."Ya, nanti kita bicarain lagi lah, Pak. Kalau Pak Bintang pindahan pasti Bapak tahu apa rencanaku," jawab Farrel cengengesan."Ya sudah, tapi jangan membuat onar Rel," nasihat Pak Haji lagi yang diangguki oleh sang anak.Farrel tertawa lirih lalu mengangguk. "Nggak onar Pak, tapi sedikit sadis," ucapnya dengan santai.Pak Haji Imran mengelus dada mendengar jawaban sang anak. "Bapak bilang, jangan bikin onar malah akan membuat yang sadis. Kapan kamu tobat sih, Rel, Vio? Kalau Bapak sama ibumu sudah meninggal, bagaimana kalau kamu nggak bisa mendo'akan Bapak sama ibumu? Bagaimana kalau kamu nggak
Gadis itu berlari, lalu menangis di pinggir jalan. Dia bingung dan syok dengan apa yang tadi dilihatnya.Dia mengusap air mata dengan kasar, lalu menatap ke arah rumahnya dengan pandangan berkabut."Kalau makhluk itu ada di rumahku dan bermain-main seperti itu, artinya ... artinya, Bapak dan Ibuk ..." kata hatinya tidak ingin mempercayai. Akan tetapi, Nur kembali ingat, bapaknya membelikan motor baru. Ibunya membelikan kalung dan sepasang anting emas. Hal yang tidak pernah dia miliki semenjak dia sekolah. Jangankan untuk membeli kalung dan motor, untuk biaya sekolah saja, sering mendapatkan bantuan dari Pak Haji Imran karena bapaknya hanyalah buruh tani yang kebetulan sudah lama berkerja untuk sang ustadz. Sedangkan ibunya, menjadi pekerja paruh waktu di rumah anak-anaknya Pak Lurah. Tentu, membeli motor baru dan perhiasan bukanlah hal sepele bagi orang-orang seperti keluarganya.Sekali lagi, Nur menggeleng keras menyakinkan hatinya jika apa yang tadi dilihatnya adalah salah. "Nggak
Bintang menoleh sebentar pada Alisha meminta persetujuan. Akhirnya, laki-laki itu memutuskan mengangguk."Masuk saja Dik, kita bicara di dalam," ucapnya setelah mendapat persetujuan dari sang istri.Nur mengangguk, kemudian memasuki mobil Bintang dan duduk di belakang Alisha. Gadis itu menoleh ke kanan kiri dengan gelisah, bahkan sampai memutar tubuhnya menatap ke belakang. Bintang yang melihat hal tersebut dari center mirror merasa heran. "Sebenarnya ada apa, kenapa kamu ketakutan seperti ini, Dik?" tanyanya.Nur terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya tentang rahasia besar kedua orang tuanya. Mereka sudah terlibat dalam kematian Hasan dan Pak Duki.Nur takut kedua orang tuanya itu masuk penjara. Terlebih jika dia mengatakan hal yang sebenarnya maka nenek yang begitu dia sayangi, akan dijadikan tumbal pesugihan kedua orang tuanya. Dan jika hal itu terjadi, bukan tidak mungkin, Nur sendiri suatu saat akan bernasib sama.Merasa tak ada jawaban, Bintang kembali melirik