"Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men
Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan
"Iya, Kang, aku juga heran, kampung kita yang dulu adem ayem, kok sekarang sering ada yang ngeluh kehilangan uang.""Apa mungkin, dugaan beberapa orang itu benar kalau Pak Bintang ngingu, (melihara) ya? Rasanya kok aneh. Padahal, setiap Jum'at dia rajin ke masjid kalau pas nggak dinas.""Lha, Kang, ora kabeh ( tidak semua) orang yang melihara begituan nggak shalat, lah." Kedua laki-laki yang tengah menyeruput kopi hitam dari cangkir keramik kecil itu mengangguk menanggapi pendapat temannya.Begitulah, warung kopi di pojok gang Desa Karanglor itu selalu ramai pengunjung setiap malamnya. Beberapa laki-laki, seperti sudah menjadikan tradisi, selalu berkumpul di situ. Hanya sekadar minum secangkir kopi, menikmati sebatang rokok, dan sepiring gorengan sudah menjadi modal untuk membicarakan banyak hal hingga berjam-jam."Iya, kemarin Mbok Wedok (istriku) yo sambat (mengeluh) duitnya hilang lima puluh ribu. Katanya, mau buat arisan, malah amblas uangnya," celetuk seorang laki-laki bertubuh a
Setelah berdiskusi dengan suaminya, Alisha menjadi lebih tenang. Seperti biasa, wanita muda berparas ayu itu, juga tersenyum ramah pada para ibu-ibu yang mengerubuti tukang sayur keliling. Seketika, mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika dari kejauhan melihat Alisha berjalan mendekat. "Selamat pagi, Ibu-Ibu," sapanya sopan.Dari beberapa ibu-ibu yang berada di situ, hanya satu orang ibu yang sejak tadi hanya memilih menjadi pendengar. Dia berkali-kali menggelengkan kepala mendengar pembicaraan mengenai uang Bu Siti, pemilik warung yang hilang tadi malam. Wanita paruh baya dengan hijab lebar itu lebih fokus pada apa yang akan dibelinya daripada menyahuti ucapan para tukang ghibah kampung."Mbak Alisha mau masak apa, Mbak?" tanyanya pada Alisha yang masih mengedarkan pandangan pada isi gerobak sayur."Belum tahu Bu, masih bingung.""Mas Bintang dinas to Mbak?" tanyanya lagi dengan ramah. Sedangkan tiga orang ibu-ibu yang tadi membicarakan pesugihan dan uang hilang hanya melirik-lir
"Dulu, desa ini aman Yuu, aman. Nggak ada kejadian aneh-aneh seperti ini. Tapi, kenapa sejak kedatangan kedua orang itu jadi banyak kejadian aneh ... ? Hu... huuu, benar-benar bawa sial. Bukan hanya sering ada duit yang hilang, tapi nyawa suamiku juga ikut hilang. Tadi pagi masih segar bugar, Buu ..." Racau seorang perempuan berusia 30 tahunan meratapi kepergian sang suami yang tiba-tiba. Kedua matanya bengkak memerah. Di sebelahnya, seorang anak perempuan remaja juga menangis sesenggukan."Sepertinya benar mereka punya pesugihan. Kemarin malam, warung Yu Siti habis didatangi orang itu, paginya kehilangan uang. Terus tadi pagi bertemu orang itu juga, eeh ... Kang Duki jatuh dari pohon cengkeh. Katanya, waktu mereka bertemu, orang itu sempat bilang suruh hati-hati karena pohon licin. Seolah sudah tahu bakalan terjadi," timpal ibu lain sambil melirik-lirik ke arah Alisha yang datang bersama Bu Halimah.Ucapan mereka yang tidak menyebut nama dan menggantinya dengan kata 'orang itu', teta
Ucapan frontal dari Farrel membuat kedua orang di depannya tampak terkejut. Farrel kembali tersenyum miring sekilas, pemuda bertubuh jangkung itu kembali bersuara dengan nada penuh penekanan. "Jangan asal fitnah, kalau kalian sendiri nggak ingin difitnah. Pak Bintang datang ke desa ini bukan atas kemauan sendiri. Dan Bapak, walaupun kalian nggak bekerja dengannya lagi, masih banyak yang bekerja untuk Bapak."Keduanya masih terdiam dengan salah tingkah lalu meninggalkan Farrel. Farrel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi otak dangkal orang-orang tersebut.*Sejak kejadian pemakaman Pak Duki, yang diwarnai desas-desus jika kematian Pak Duki akibat menjadi tumbal pesugihan, maka Desa Karanglor seolah menjadi desa mati. Setiap ba'da isya para penduduk desa yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi, kini mereka memilih di dalam rumah masing-masing. Warung Bu Siti tak seramai dulu, kini hanya anak-anak muda yang masih setia nongkrong di sana. Seperti biasa, t
Farrel terus mengguncang tubuh Danang, tetapi pemuda sebayanya itu tidak juga membuka mata. Bu Halimah dan Pak Haji Imran yang terbangun hendak shalat tahajud saling pandang, saat mendengar suara anaknya dari arah depan."Nyet, bangun Nyet. Kamu kenapa kok pingsan begini Nyet, siapa yang sudah nyakitin kamu?" tanya Farrel panik."Rel, kamu kenapa to, Le, malam-malam bukannya tidur malah rame sendiri. Mana ada monyet?" tanya Bu Halimah sambil mengusap-usap matanya."Pak, Buk. Tolong, ini Danang tiba-tiba ambruk," jawabnya tanpa menoleh dan masih menepuk-nepuk pipi Danang. Pak Haji Imran dan Bu Halimah bergegas mendekat. Mereka mengamati tubuh pemuda yang terlihat memprihatinkan di depannya. Lalu, Pak Haji Imran dan Farrel segera menggotong tubuh Danang dan menidurkannya di sofa."Ambilkan air, Bu," titah Pak Haji Imran pada sang istri.Farrel segera mengganti baju Danang yang basah dengan baju miliknya. Setelah itu, Pak Imran meminta Farrel menunggu Danang, sementara dirinya shalat tah
"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang."Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya.""Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar. Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk. "Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri."Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana ka