Share

MEREBUT HATIMU
MEREBUT HATIMU
Penulis: Rosida20

1. Mendadak Mau Dilamar

Percakapan tentang rencana Kyai Haji Imran untuk bermenantukan dirinya, gadis bermata bulat bening itu mendengarnya sendiri..

 Saat itu motornya mogok hingga ia tinggalkan  di bengkel tak jauh dari rumahnya. Dan berjalan kaki pulang. Saat dilihatnya ada mobil milik Kyai Imran hatinya sempat heran kok tumben kyai yang merupakan tempatnya menimba ilmu agama itu datang tanpa memberi kabar. Ini tak biasanya pemilik Majelis Pengajian itu, bertandang ke rumahnya. Pasti ada yang sangat penting.

Anisa melangkah perlahan memasuki halaman rumahnya. Sengaja lewat pintu samping supaya tak mengganggu percakapan Kyai Haji Imran dengan ibunya.

Tapi saat ia memasuki pintu samping rumah yang tembus ke ruang makan dilihatnya bik Ani yang sehari hari membantu di rumah mereka tengah sibuk mengisi teh di cangkir.

"Untuk Pak Kyai, Bik Ani?" Suara Anisa merendah.

"Ya Mbak Nisa, "

"Mari biar aku ajah yang bawa, "

"Mbak Nisa baru pulang kuliah nggak capek?"

"Nggak apa apa, " segera Anisa meletakkan tas yang tersampir di pundaknya  pada kursi.

Gadis itu melangkah melewati ruang tengah, tapi saat sudah ada di balik ruang penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah langkahnya terhenti mendengarkan ucapan Kyai Haji Imran

"Dik Nurani kita ini sudah lama bersahabat. Isteriku Hasanah almarhumah sudah menganggapmu adik, begitu juga aku. Kita ini sebuah keluarga. Dan sebelum meninggal isteriku menginginkan Anisa menjadi menantu kami. Sofyan sekarang sudah selesai pendidikannya. Bagaimana menurutmu jika mereka tunangan ..."

Anisa tercekat. Berdiri bak patung enggan meneruskan langkahnya. Hingga terdengar suara ibunya.

"Saya senang saja Pak Kyai, jika Anisa mendapat calon suami yang bisa dijadikan imam dalam keluarganya, tapi namanya anak sekarang saya harus membicarakannya dulu dengan Anisa, "

"Ya sudah jangan lama lama supaya kita cepat besanan. Kita tentukan hari pertunangan mereka ..."

Berdebar dada Anisa. Lalu perlahan ia berbalik membawa nampan yang berisi dua cangkir teh itu, dan diberikan lagi pada bik Ani

"Kenapa Mbak?" Bik Ani heran menatap Anisa.

Anisa tak menjawab tapi ia memberi isyarat supaya perempuan empat puluh tahun itu tak meneruskan suaranya. Bik Ani mengerti. Segera mengambil nampan di tangan gadis itu, dan dibawa ke depan. Sedangkan Anisa segera menghilang ke kamarnya.

Gadis berhijab sembilan belas tahun yang cantik alami itu sungguh tak menyangkah jika kedatangan lelaki yang sangat dihormatinya itu, sangat membuatnya terkejut. 

Anisa belum mau terikat pertunangan. Cita citanya setelah lulus kuliah mau berkarier, mau membahagiakan ibunya yang sejak dirinya kecil telah menanggung kehidupan mereka seorang diri. tanpa suami, karena sang suami pergi dengan perempuan lain.

Kalau langsung bertunangan, lalu menikah bagaimana dengan cita cita untuk membawa ibunya berlibur ke beberapa kota?

Ibunya selalu sibuk bekerja dan bekerja. Tak ada waktu untuk membahagiakan diri sendiri.

Anisa menghela napas panjang. Tak mungkin ia mengikat diri dengan lelaki secepat itu. Terlebih lagi dirinya menganggap Ustadz Sofyan kakak sendiri. Dari kecil sudah saling kenal karena Anisa dan ibunya rutin datang ke majelis Anugerah.

Selisih umur mereka yang tujuh tahun membuat Anisa memanggilnya Kakak. Tapi enam tahu lalu Ustadz Sofyan berangkat ke Yaman. Kembali ke Indonesia enam bulan lalu. Tentu saja Anisa sudah sembilan belas tahun, tumbuh menjadi gadis cantik.

Mereka hanya bertegur sapa sekedarnya jika bertemu di Majelis, karena Anisa memang dua kali seminggu datang untuk memberi pelajaran mengaji pada anak anak sekitar Majelis milik kyai Haji Imran itu.

Kedatangan Kyai Haji Imran dirasa terlalu tiba tiba. Lelaki enam puluh tahun itu tak mengajaknya bicara terlebih dahulu. Bagaimana pun kelak yang akan menjalani rumah tangga adalah dirinya, bukan ibunya.

Anisa mendesah mengingat percakapan Kyai Imran dengan ibunya. Walau belum melamar secara resmi, namun setidaknya sudah ada ucapan. Bahwa Sang Kyai menginginkan antara dirinya dengan Ustadz muda itu untuk bertunangan.

Nurani tak tahu jika putrinya sudah mendengar percakapannya dengan Kyai Haji Imran. Makanya saat Anisa menyampaikan protesnya ia jadi sedikit bingung.

"Bu Nisa sudah dengar semua, harusnya kan Kak Ustadz Sofyan nanya Nisa dulu, nggak langsung Pak Kyai ke sini mau melamar, " protes Anisa. Padahal sejak kepulangan sang Ustadz yang sedang jadi idola anak muda itu, mereka sudah beberapa kali bertemu di Majelis.

"Mungkin ingin cara langsung melalui orang tua saja, setelah kamu mau kemudian menjalani Taaruf.  Kalian sudah lama berpisah "

Anisa tercengang mendengar ucapan ibunya, "Taaruf, mau berapa taun Taarufnya?" Ujarnya, "Taaruf kalau dua duanya sepakat menikah, aku akan masih mau kuliah, mau berkarier, Bu ..."

"Maksud Ibu kalian biar nggak canggung bisa lebih dekat , kan sejak Nak Ustadz Sofyan kuliah di Yaman kalian nggak saling ketemu, tuh ..." sebisa mungkin Nurani memberikan arahan pada Anisa.

"Nisa belum bisa memutuskan, Bu, tapi menurut Ibu bagaimana?"

Nurani terdiam sejenak, "Ustadz Sofyan lelaki muda yang sudah menentukan pijakan hidupnya berlandaskan ibadah. Sebagai orang tua Ibu ingin kamu mendapat pendamping seperti dia, tapi tentunya terserah kamu, Nak, "

Jika ditelaah memang Nurani condong untuk bermenantukan pemuda yang meniti hidup di jalan dakwa itu.

"Nisa masih ingin lanjut kuliah dan kerja, apa Ibu nggak ingin Nisa jadi Sarjana?"

"Nisa soal pendidikanmu pasti Ustadz Sofyan tak akan menghalanginya. Bukankan iman itu jika disandingkan dengan ilmu yang mumpuni, akan membuat hidup seseorang itu lebih terarah lagi?"

Anisa sudah menduga pasti ibunya setuju jika dirinya menerima Ustadz Sofyan sebagai pendamping hidupnya.

Ia tahu pasti tak sedikit gadis yang mau mendampingi Ustadz Sofyan yang sedang ngetop itu. Muda, tampan, dan anak seorang Kyai pula.

Jika ibunya merasa cocok memiliki calon menantu lelaki muda itu wajar menurutnya. Terlebih Ibu Haji Hasanah isteri Kyai Haji Imran adalah kakak kelasnya dulu waktu mereka bersekolah di sekolah menengah pertama yang berbasis agama,.sampai pada sekolah lanjutan atas.

Mereka berpisah saat lulus sekolah. Jika ibunya yang hobby masak mendapat bea siswa meraih diploma Tata Boga. Tapi ibu Hasanah sang sahabat menikah dengan Kyai Haji Imran karena dijodohkan.

Persahabatan mereka terus berlanjut, hingga Anisa dan ibunya sering mengaji di Majelis milik mereka. Tentu saja Anisa mengenal Ustadz Sofyan sejak masih anak anak.

Tapi mereka laki laki dan perempuan, jelas tak seperti kalau satu jenis. Otomatis tidak akrab. Terlebih lagi setelah lulus sekolah lanjutan atas Ustadz Sofyan berkuliah di Yaman. Dan pulang hanya setahun sekali. Jika orang tuanya kangen, maka mereka yang ke Yaman.

"Nisa..."

"Yah, Bu,"

"Kamu sungguh tak tertarik dengan keinginan Pak Kyaimu?"

Anisa menatap ibunya bimbang. Menolak jelas akan membuat ibunya kecewa, walau ibunya tak memaksa harus menerima sang Ustadz. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status