Seleb 6
.
"Maaaak, apa ini apa ini?" Mata Adel membeliak saat menerima sebuah paket dari kang kurir.
"Lah mana kutau, itu punya kau!" kata Ibu.
"Beneran? Cubit aku, Mak. Cubit aku," kata Adel pada Ibu yang kini berada di sampingnya.
Sudah tak heran lagi kalau di rumah ini sering diisi dengan teriakan Adel, katanya live memang harus seru dan gokil biar gak pada pindah lapak.
Kadang aku merasa dia terlalu heboh dengan teriak-teriak. Kadang emang udah kayak itu tuh, neriakin monyet yang lagi nyolong mangga tetangga.
Apa harus serame itu untuk live? Entahlah.
Aku pernah juga ngepoin livenya, yang nonton cuma sekitar lima puluhan. Entah mereka co semua atau tidak. Belum berani kutanyakan ke Adel.
Ibu pun mencubit pipi Adel atas perintahnya, ia pun meringis kesakitan.
"Maaaak sakit, pen nangis."
"Ya nangis aja lah kau. Suruh nyubit sendiri, habis tu bilang sakit sendiri. Lama-lama kau makin sarap kau gini, Nak." Ibu mendumel panjang lebar, lalu ia kembali ke tempat jualan es tebu.
"Gak mimpi ternyata," ucap Adel kini lebih ke jumawa sih.
Ia melihat-lihat paket yang kini berada di tangannya.
"Apaan itu, Adel?" tanyaku kepo.
Ya, disadari atau tidak, umumnya perempuan memang sifatnya kepo.
"Sampel gratis pertama lah," Adel mengibaskan jilbabnya dengan pongah.
Mataku berbinar, lagi-lagi kepo apa isinya.
"Bukalah, mau liat aku apa isinya."
"Ogah!" kata Adel masih dengan soknya.
Dih, aku diam. Namun, masih sempat membaca tulisan si pengirim yang tertera di kertas resi. Aku hanya mengangguk, dan mengamati wajah Adel. Senangnya bukan main.
Adela meletakkan paketnya di atas meja di teras. Kemudian ia masuk ke dalam, tapi beberapa detik kemudian ia balik.
"Awas aja ya kalau dibuka," katanya memperingatkanku.
Aku hanya mengangguk dan melihat saja. Mana berani aku menyentuh barang-barangnya.
Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa ponsel, tripod dan mic nirkabel yang biasa ia pakai. Sepertinya dia mau review atau bikin konten.
Mau lihat ah!
"Sana sana! Ganggu aja kau!" Adel mengusirku dari hadapannya.
Dengan wajah yang menekuk, aku pun pergi dari hadapannya.
Kemudian, lewat jendela aku mengintip Adel. Bagaimana cara ia mereview produk sampel yang telah diberikan untuknya.
Entah berapa konten yang ia buat, mulai dari unboxing, review produk, hingga review bahan-bahan yang terkandung dalam produk.
Sampel gratisnya adalah satu set produk skincare, dari tampilannya sih mewah.
Beberapa tetangga lewat dan malah memperhatikannya, bahkan ada anak-anak yang nonton. Adel malah terlihat senang dan makin keras suaranya. Entahlah, apa mungkin pamer ke tetangga bahwa ia baru saja dikirim sampel gratis.
Pamer seleb euy!
Ayo, Del. Ke tetangga yang kemarin julid sama Ibu aja ya, yang lain jangan, dosa!
Batinku dalam hati.
"Yang mau samaan, cek keranjang kuning ya."
Karena mendengar Adel, aku langsung cek Tiktok dengan akun kloninganku. Eh, lupa, kan baru dibuat kontennya, belum di-posting. Mungkin harus edit sana sini dulu.
Adel selesai. Aku kembali menghampirinya. Dia lagi beres-beres tripod dan lainnya. Aku malah mendekat pada skincare yang sepertinya sangat dibanggakan Adel.
"Eh eh, ngapain tuh?" tanya Adel yang melihat kedatanganku.
"Pengen kakak cobain, boleh?" tanyaku.
Sepertinya ini skincare mahal. Boxnya cantik, dan potnya juga mewah campuran pink soft dan gold.
Ada facial wash, toner, masker, serum, day cream, night cream, dan sunscreen.
"Enak aja kau minta minta," sergahnya mencegah tanganku untuk menyentuh produk mahal itu.
"Kau pikir berapa ini harganya?" sungut Adel.
Aku menggeleng.
"Tiga ratus lima puluh ribu satu set, kau ingat itu jumlahnya!" katanya.
Aku hanya bisa menelan ludah.
"Beli. Jangan minta-minta,"
"Eh, pengangguran mana sanggup beli ya!" ledeknya.
"Tapi kan, kau juga gak beli. Gratis ini, kan?" tanyaku agak sinis.
"Kelas kita beda bos!" jawabnya dengan pongah.
"Kalau mau, ya kerja kek aku. Jangan cuma nganggur."
Wih, aku sampe memejamkan mata, pedih kata-kata Adel sampe nusuk mata rasanya.
Mungkin Adel sesekali perlu kuajak masuk kamarku dan memperlihatkan skincareku di sana.
Seleb 32.Beberapa hari setelah perdebatan itu, aku langsung mencairkan uang empat ratus juta setelah Mayra menemukan harga yang menurutku cocok. Tanah ini lumayan luas sampai ke belakang tempat suamiku biasanya berkebun."Aku pengennya dibagi sama, Bang," kata Mayra saat aku telah meletakkan bergepok uang merah di atas meja. Ijo gak tuh matanya.Terdengar Bang Fahri mengela napas lelah."Kau tahu harusnya kau dapat berapa bagian?" tanya suamiku.Kami kembali berkumpul malam itu.Mayra menggeleng."Kau, Adel?" tanya suamiku pada adik perempuannya yang lain.Adel juga menggeleng."Kau, Ozan?" Kembali Bang Fahri bertanya pada adik bungsunya."Setahuku anak laki-laki dapat seperdua, sementara anak perempuan dapatnya dua pertiga kalau dalam hukum faraid," jawabnya dengan tegas."Iya, betul." Suamiku berkata."Berarti kau bisa hitung sendiri kan harusnya dapat berapa?" tanya suamiku pada Adel dan Mayra.Keduanya mengangguk lesu, kek gak niat mengangguk gitu."Tapi kita harus bagi adil, Ba
Seleb 31."Bang Fahri, Ozan!" teriakku lagi. Bang Fahri sedang menonton televisi di ruang tengah. Sementara Ozan yang lagi di kamar, langsung keluar saat mendengar teriakanku."Kenapa, Dek?" tanya suamiku."Mamak … Bang," kataku dengan suara yang bergetar.Ponsel masih di tanganku, masih hidup. Aku berikan pada Bang Fahri dan ia mulai bertanya pada orang di seberang sana."Innalilahi wa inna ilaihi raji'un, Mamak …." Tangis Bang Fahri juga ikut pecah. Ozan berdiri mematung, terlalu stok dengan kabar yang ia dnegar barusan. "Ya Allah … Mamak," lirih Ozan.Kami menangis, teringat kembali terakhir kali bertemu dan memeluknya di bandara. Kami baru sadar bahwa itu ternyata menjadi momen terakhir kebersamaan kami di dunia ini.Bang Fahri masih berusaha tenang dan bertanya beberapa hal pada seorang ustadz yang melakukan badal haji Bapak.Katanya, Ibu sempat pusing dan mengeluh lemas. Lalu muntah dua kali, hingga dibawakan ke rumah sakit terdekat di sana. Tak berapa lama kemudian, Ibu men
Seleb 30.Gema takbiran berkumandang di kampungku. Seperti biasa, saat lebaran aku selalu pulang ke kampung, menikmati waktu bersama Ibu dan Nenek, sesibuk apa pun itu.Kalau aku tidak pulang, Ibu dan Nenek pasti nangis, karena pernah seperti itu dulu saat aku belum punya banyak karyawan."Apa gunanya banyak duit, Nak, kalau lebaran aja gak bisa kumpul sama keluarga," kata Nenek sambil nangis pas aku pulang beberapa minggu setelah lebaran waktu itu.Jangan ditanya bagaimana reaksiku, langsung sesenggukan sambil mengangguk membenarkan Nenek dan berulang kali minta maaf. Setelah itu, setiap lebaran aku pasti pulang, takut membuat hati mereka bersedih."Anak satu-satunya, udahlah hari-hari ditinggal, lebaran pun tak pulang," tambah Ibu.Nyes banget waktu itu. Sedih dan nyesek sampai ke ubun-ubun rasanya. Mereka bukan tak mengerti aku sibuk, justru sangat mengerti, tapi dalam dua puluh empat jam berhari, berbulan, bertahun-tahun, mereka hanya meminta beberapa waktu untuk bersama. Karena
Seleb 29.Rutinitasku masih sama, bolak balik Jakarta-Medan. Adik-adik iparku juga masih sama, kelakuannya.Adel dan Mayra masih sibuk live di Tiktok, sambil bikin konten. Penjualannya meningkat kulihat, hingga akhirnya Adel bisa beli motor impian. Meskipun bukan uang dari hasil ngelive, karena yang dari penjualan live hanya bisa buat jajan bakso atau beli pakaian yang ia suka."Biar senang istriku, Kak." Hendra duluan bilang ke aku dan Bang Fahri saat mau beli motor Honda PCX.Makin ke sini, hubungan Adel dan Hendra makin membaik. Lelaki itu juga telah memutuskan hubungan dengan gadis di luar sana tanpa sepengetahuan Adel, sebelum terlambat, katanya.Beda Adel, beda lagi Mayra. Perempuan satu anak itu berkali-kali menghubungiku untuk meminta pinjaman uang."Bayar yang sebelumnya dulu," kataku saat ia meminta.Aku bahkan tak segan berkata seperti itu jika di depan Bang Fahri, karena aku tahu posisiku benar. Mudah sekali lidahnya mengatakan pinjam dulu, ngutang dulu, sementara yang se
Seleb 28.Beberapa hari setelah pesta pernikahan, aku kembali ke kampung. Banyak yang berubah setelah aku kembali di sana. Kini aku memang sudah dikenal sebagai owner, bukan lagi orang biasa seperti saat dulu pertama pulang ke rumah suami.Sebagian mengagumi, menyemangati, sementara sebagiannya lagi bermanis di depan, lalu kudengar mereka mengataiku di belakang. Mengatai aku aoke jurus dukun biar laris dan tuduhan serupa lainnya.Lucu memang!Sikap Mayra dan Adel juga berubah. Entah mengapa mereka jadi lebih suka meminta dengan cara yang agak maksa, dan seolah sebuah keharusan untuk aku memberi."Kak, minta uang buat beli peralatan ngonten, dong!" kata Adel sambil manyun manja. Sekilas aku menatapnya, lalu menatap suamiku."Pakai yang udah ada aja," kata suamiku.Aku yakin Bang Fahri malu dengan sikap adiknya itu. Bukan apa, soalnya waktu itu Hendra bilang, ia sudah melengkapi peralatan ngonten untuk istrinya itu. Tinggal sampelnya aja yang belum, nunggu uang gaji bulan depan katany
Seleb 27."Selamat ya, Bu Bos. Aku doakan semoga pernikahannya sakinah mawadah warahmah," kata Sonia sambil salim dan memelukku.Gadis itu pun menangis di pelukanku entah sebab apa. Mungkin kembali teringat olehnya saat ia pulang dari luar negeri, karena ibunya sakit, saat itu ia sedang kesusahan mencari pekerjaan di Jakarta. Lalu, aku dan Sonia bertemu, dan menawarkam pekerjaan untuknya."Jangan nangis, kita lagi bahagia," kataku sambil puk puk bahunya."Yah, kan nangis bukan hanya tentang sedih, Bu Bos. Ini air mata bahagia."Aku mengangguk, lalu menangkupkan telapak tangan di wajahnya. Diantara semua karyawan yang paling dekat, Sonia lah yang paling lebih dekat denganku. Kemudian ia juga memberi ucapan selamat untuk Bang Fahri seraya menangkupkan dua tangan di dada."Bang, doain aku cepat nyusul ya," katanya."Nyusul ke mana?" tanya Bang Fahri dengan nada becanda."Nikah lah, Bang.""Owh, sama adekku aja, mau nggak?" tanya Bang Fahri."Boleh juga, Bang," ucap Sonia sambil tertawa