Shela dan Fahri baru saja menikah karena perjodohan. Ia pun tinggal di rumah suaminya, dan sangat senang karena mertuanya itu baik padanya. Namun, ia baru tahu bahwa ternyata ipar-iparnya adalah selebgram. Macam-macam tingkah polah mereka, kadang ngelive, kadang bikin konten di media sosial. Sementara Shela hanya diam dan mengamati mereka. Melihat Shela hanya diam tanpa aktivitas, dan dianggap tidak mandiri karena tidak bekerja, ipar-iparnya pun sering meremehkan dan menghina Shela. She tetap diam sambil tertawa dalam hatinya, "jangan pingsan ya kalau nanti kalian tau siapa aku sebenarnya."
View MoreSeleb 1
.
"Aaaaaaaaaaa …."
"Mamaaaak! Mamaaak"
Saat sedang berjualan es tebu dengan Ibu mertua, eh kenapa narasinya sudah seperti kalimat Debm, wkwk. Oke, leave it!
Aku mendengar Adelia, adik iparku berteriak seperti sedang terjadi sesuatu di dalam.
Aku dan Ibu bahkan saling menatap karena khawatir terjadi apa-apa pada Adelia. Saat itu sedang tak ada pembeli, jadi aku dan Ibu langsung masuk ke dalam.
"Kenapa pula kau?" tanya Ibu menatap putri kandungnya itu dengan khawatir.
Aku juga ikut menunggu jawaban Adelia, karena yang kulihat kondisinya baik-baik saja.
"Eh, kenapa, malah cengengesan gak jelas kau!" kata Ibu.
Bukan dijawab, itu orang malah loncat-loncat gak jelas kek pocong di siang bolong. Jadi bukan kasihan, tapi malah jadi oemgen baca ayat kursi.
"Huaaaa … haha, dapat paus aku, Mak!" kata Adelia kegirangan.
"Wah digoreng, tapi siapa yang bakalan bersihin ikan segede itu?" tanya Ibu.
"Mamak gak mau, kau aja Adel. Atau tunggu Abang kau pulang kerja," ucap Ibu duarius.
Lalu, aku dan Ibu mengamati di mana ikan besar yang disebut Adelia. Ia menoleh ke sana sini. Mana pula ada ikan, emangnya dia tiba-tiba ngelaut?
"Lah, mana pausnya?" tanya Ibu akhirnya tak tahan dengan rasa penasaran.
"Bohong pula kau, mana ada paus tiba-tiba jatuh dari langit. Jatuh ketiban matek kau!" kata Ibu lagi dengan logat Medan yang kental.
Adelia malah menunjukkan ponselnya pada kami. Terlihat sebuah potongan video live, beberapa detik setelahnya ada paus yang terbang. Eh, malah keingat tayangan ikan terbang di televisi.
"Bukan ikan paus beneran lho, Mak. Tapi hadiah, Mak, hadiah, nanti bisa ditukar koinnya!" jelas Adelia.
"Lah, terus?" tanya Ibu bingung. Ya, mana ngerti emak-emak tentang dunia live.
Aku hanya menyimak.
Kemudian Adelia menjelaskan bahwa saat ia sedang live jualan di Tiktok, sedang spil spil ke calon pembeli beberapa produk yang ia punya, malah ada yang nyawer paus. Katanya harga gift paus itu sekitar tiga ratus ribuan kalau dicairin, tergantung kurs dolar.
Ah, pantas aja sekarang rame yang live di Tektok, bahkan aku sering lihat para pengemis pada pindah ke sana. Menadah tangan dengan aksi yang membangongkan sekaligus meng meng lainnya.
"Ooooo," ucapku dan Ibu bersamaan.
"Bulat," kata Adelia yang mungkin merasa kami ini terlalu norak yang begitu aja gak tau.
Adelia, adik iparku yang usianya 25 tahun. Sepertinya ia baru bergabung menjadi affiliator di Tektok. Aku tak tahu penghasilannya berapa sebulan di sana, tapi yang sering kulihat adalah Adelia yang marah marah setelah selesai live, atau minimal cemberut. Capek mungkin.
Kesehariannya memang full ngonten yang entah apa apa lah. Konten Sopi, konten di Tektok, dan di beberapa platform lainnya.
Ia memanfaatkan satu sudut ruang keluarga untuk live. Dindingnya ditempeli wallpaper cukup untuk seukuran masuk kamera. Ada beberapa baju yang tergantung di rak gantungan, tak banyak, karena masih pemula. Paling sampelnya juga dia beli sendiri hasil ngumpulin sisa uang belanja dari suami.
Eh, belanja apa pula. Setahuku semua belanjaan di rumah ini suamiku yang tanggung. Entah suami Adelia memang tak memberikan uang, atau Adelianya sendiri yang udah nilep uang itu.
Bahkan kulihat Ibu mertuaku yang usianya udah lima puluhan, masih berjualan es tebu di halaman depan rumah.
"Ya sudahlah, Mamak mau lanjut jualan. Kau, Shela, istirahat saja itu." Ibu berkata padaku. Lalu, ia bergegas langsung kembali ke luar. Tepat saat ia keluar, kudengar ada yang memangil Ibu karena ingin membeli es tebu.
Tinggallah aku dan Adelia di sini.
"Jangan sirik pula kau, Kak. Bentar lagi aku jadi orang kaya, haha." Adelia menatapku meremehkan.
"Hmmm … syukur kali lah aku dikasih wajah yang cantik, banyak peluangku untuk cari duit di sosmed ini," kata Adelia sambil membenarkan kemeja yang sedang di try on saat live tadi.
Aku hanya mengangguk, tak berniat meladeninya.
Kuakui keluarga suamiku memang cantik ganteng. Suamiku dan adik bungsunya ganteng, Adelia dan adik iparku satu lagi juga cantik, tapi sayangnya terlalu sok.
"Kau …," tunjuk Adelia padaku dari atas sampai bawah. Aku pakai daster biasa karena lagi di rumah.
"Memanglah cantek, tapi ya gak sebanding lah dengan aku. Apalagi gaya pakaian kau itu, Kak. Kuno pake banget. Tengok tuh jelbab, selalu pake jelbab kurung terus, gaul dikit napa?" celotehnya yang selalu protes aku yang suka pakai jelbab kurung atau bergo.
"Norak!" katanya lagi sambil mengibaskan tangan, kemudian mematikan ring light dan masuk ke kamar.
Aku hanya menganggap omongannya seperti angin lalu. Bomat! Dia hanya tidak tahu siapa aku yang sebenarnya.
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 6."Maaaak, apa ini apa ini?" Mata Adel membeliak saat menerima sebuah paket dari kang kurir."Lah mana kutau, itu punya kau!" kata Ibu."Beneran? Cubit aku, Mak. Cubit aku," kata Adel pada Ibu yang kini berada di sampingnya.Sudah tak heran lagi kalau di rumah ini sering diisi dengan teriakan Adel, katanya live memang harus seru dan gokil biar gak pada pindah lapak.Kadang aku merasa dia terlalu heboh dengan teriak-teriak. Kadang emang udah kayak itu tuh, neriakin monyet yang lagi nyolong mangga tetangga.Apa harus serame itu untuk live? Entahlah.Aku pernah juga ngepoin livenya, yang nonton cuma sekitar lima puluhan. Entah mereka co semua atau tidak. Belum berani kutanyakan ke Adel.Ibu pun mencubit pipi Adel atas perintahnya, ia pun meringis kesakitan."Maaaak sakit, pen nangis.""Ya nangis aja lah kau. Suruh nyubit sendiri, habis tu bilang sakit sendiri. Lama-lama kau makin sarap kau gini, Nak." Ibu mendumel panjang lebar, lalu ia kembali ke tempat jualan es tebu."Gak mimp
Seleb 5.Minggu sore kulihat Ozan kembali duduk di gazebo belakang rumah. Itu anak-anak benar-benar adem banget jiwanya. Dia mengalah lagi dari Adel.Bang Fahri beberapa hari ini masih menghabiskan waktu di sawah. Suamiku memang tipe orang yang gak bisa duduk diam rumah, harus gerak biar berkeringat.Ibu pun seperti itu kulihat. "Bang, kenapa Mamak masih kerja? Kasian kali lah Adek tengok. Bisa gak Mamak gak usah kerja lagi?" kataku pada Bang Fahri saat kami akan tidur malam hari."Mamak tuh gak bisa kalau gak kerja. Bisa sakit badannya, Dek!""Lah, kok gitu?""Ya gitu, karena memang udah dari dulu Mamak jualan es tebu. Langganan pun udah banyak, katanya kalau beli di tempat lain banyakan campur air atau pemanis buatan biar makin banyak untung."Bang Fahri menjelaskan. Katanya, Ibu jualan es tebu sejak setelah Bapak meninggal.Dulu Bapak kerja di pabrik, nanam sayur, bajak sawah, apapun ia kerjakan. Ia sempat beli lahan dan membangun rumah ini dari hasil kerjanya. Namun, takdir mere
Seleb 4.Aku baru keluar dari kamar setelah mandi pagi. Namun, kulihat Ozan membuat beberapa gerakan dan berbisik pada Adel yang sedang live. Terlihat Adel hanya melihat sekilas, tanpa peduli.Ozan tak mau suaranya malah terekam live Adel, sebab itu ia hanya mengisyaratkan dengan gerakannya dan menunjukkan pada kakaknya itu.Ia malah asik dengan live jualannya."Harganya cuma 60 ribuan, buaruan di co ya. Kapan lagi dapat harga murah, gais, khusus di room live aku ya. Setelah live, harga balik ke normal."Adel malah masih terus mempromosikan barang-barang yang dijualnya melalui live. Entahlah dengan Adel, entah berapa pendapatannya sehari dari live itu hingga ia mengabaikan Ozan yang mau ngomong sama dia.Ozan pasrah, terlihat ia yang menghembuskan napas lelah."Kenapa, Zan?" tanyaku.Hari ini Sabtu, Ozan libur kuliah. Bang Fahri juga libur kerja, tapi ia tak di rumah. Bang Fahri ke sawah, karena ingin membersihkan rumput liar di sawah agar tak mengganggu padi yang sedang hijau."Ribu
Seleb 3."Lewat sini, Bang!" kataku pada seorang lelaki yang mengantarkan mesin cuci ke rumah Ibu mertua.Sore ini aku mengajak Ibu untuk membelikan mesin cuci di sebual toko elektronik. Jujur saja, aku kasihan melihat Ibu yang nyucinya masih pakai tangan. Udah tua, banyak kerjaan, kasian. Bahkan baju Adelia dan suaminya pun ikut dicuci. Itu yang membuat hatiku semakin miris."Cuci sendiri, Adel. Kau itu sudah besar, harus mandiri!""Ozan aja nyuci sendiri bajunya, lah kau!""Ya, aku lagi sibuk, Mak. Aku mau live ini, nyari duit!" kata Adelia.Memang Ibu selalu mengomel jika Adel memasukkan pakaian kotornya dan suami ke dalam keranjang saat Ibu akan mencuci. Aku menggelengkan kepala saat melihat tingkahnya. Ada ya anak udah sebesar itu, tapi masih merepotkan orangtua.Beberapa hari aku tinggal di sini, aku memang cuci baju sendiri, baju milik suami juga. Namun, sejujurnya aku tak sanggup jika harus mencuci pakai tangan, lelah.Pekerjaan Ibu jadi bertambah banyak, dan semua gara-gara
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments