Seleb 7
.
"Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.
Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad.
"Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.
Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah.
"Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim.
"Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.
Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.
Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.
Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untuk Naufal.
"Sini!" panggilku. Entahlah, gak tega aja rasanya mematahkan keinginan anak kecil itu, karena dia mintanya cuma es krim. Bukan hal yang besar. Pun kulihat kondisinya sedang baik-baik saja. Tidak sedang pilek seperti yang dituduhkan ibunya.
"Beliin buat Tante Shela satu ya, nenek satu, dan kau satu! Pake roti ya," kataku sengaja agak keras agar Mayra mendengar.
Terlihat binar mata Naufal bahagia, ia mengangguk mengerti. Usianya sudah tujuh tahun. Kemudian ia berlari ke luar dan membeli es krimnya.
"Makasih ya, Tante." Naufal kembali dan memberiku satu es krim dalam plastik kecil.
"Sama-sama," kataku.
Aku dan Naufal makan es krim bersamaan. Sengaja makan di depan Mayra dan Adel yang sedang membahas perkontenan. Sengaja juga tidak menawarkan mereka, karena ya ke diri sendiri pelit mereka tuh.
Kulihat sesekali mereka menatap kami, mencuri pandang pada es krim kami. Ya makin menggoda lah cara makan es krimku. Biar apa, ya biar mereka kepengen juga.
Mau minta keknya malu tuh.
Sementara Naufal santai saja, menikmati layaknya anak kecil lainnya. Yang ia tahu bahwa Ibunya memang tak suka es krim.
Aku amati, dua adik ipar perempuanku ini memang pelit. Adel diam-diam selalu beli makanan dan disembunyikan di kamar. Entahlah, aku tidak pernah masuk ke kamarnya. Dia makan di kamar mungkin.
Perempuan itu tega, bahkan ketika dia beli sesuatu pun kulihat ibu tidak dibaginya.
Sampai aku membeli beberapa makanan yang Ibu sukai, membiarkan Ibu makan sepuasnya. Aku hanya mengamati, lalu mencoba peka bahwa mungkin Ibu juga melihat Adel beli makanan dan kepengen.
Aku beliin snack sampai berplastik-plastik, kalau lagi banyak waktu aku juga sering bikin kue, karena memasak sebenarnya adalah healingku.
Mayra juga terlihat beda tipis dengan Adel. Ia datang ke rumah Ibu pun, jangankan menenteng bawaan, uang jajan anak pun disuruh minta sama Ibu.
Entah dari mana mereka mencontoh sifat pelit. Padahal sejak mereka kecil, Bang Fahri bekerja kerasa untuk mereka, harusnya itu menjadi contoh untuk gemar memberi.
.
"Ini, Kak." Ozan menyerahkan kelapa yang sudah diparut.
Hari ini, Ibu pengen makan rendang bebek. Jadi, tadi Ozan udah ke pasar dan membeli semua kebutuhan. Ia juga yang metik kelapa plus langsung diparut manual. Itu anak baik plus rajin banget deh.
Beda sama Adel dan Mayra yang malah sangat membangongkan.
"A day in my live versi aku," seru Adel yang mulai membuat kontennya.
Adel mulai merekam video tentang kesehariannya di rumah, begitu ceritanya.
"Jadi, biasanya sebelum ngelive, aku beres-beres rumah dulu gais. Nyapu depan belakang, luar dalam, nyuci dan segala jenis bersih-bersih."
Aku hanya mendesis kata wow, sambil meremas santan kental untuk bahan rendang. Perasanku makin kuat karena membayang Adel yang swdnag kuperas, ih geram.
"Lalu, lanjut masak ya gais. Karena meskipun wanita karir, tapi harus tetap jaga makan minum suami, biar gak pindah ke pelakor," kata Adel lagi.
Ia bahkan begitu pedenya di depan Ibu.
Aku menahan tawa. Plis tolong gais, aku hampir saja menyemburkan tawa, mengingat Adel bahkan tak pernah kulihat menghidangkan makanan untuk suaminya. Suami Adel sering pergi subuh, pulang malam.
Aku sekilas menatap Ibu tang sedang membersihkan bebek di dapur. Mulut Ibu dimiringkan sebelah seolah ingin ikut menertawakan Adel.
Tawaku tertahan, saat Adel mendekat dan mendelik padaku yang sedang merajang bumbu. Ia membuat gerakan untuk menyuhku menjauh. Tanpa tanya, aku pun ikut saja, menjauh dari bumbu-bumbu yang sedang kusiapkan. Aku gak mau ikut terekam kamera.
"Oke, aku hari ini mau masak rendang gais. Aku udah siapin bumbu-bumbunya," seru Adel sambil menunjukkan bumbu-bumbu, juga menyebutkan satu persatu namanya.
Dia yang ngomong, malah aku yang takut. Takut kalau Adel salah bilang, misal lengkuas dibilangnya kunyit. Atau lada dibilangnya ketumbar.
Untung Adel pintar, pas ketemu sama bumbu-bumbu halus itu dia skip dan bilang 'dan lain-lain.'
Adel beralih ke santan yang udah diperas, lalu ke bebek yang udah dibersihkan dan digarami. Ia mau menunjukkan seolah paling rajin.
Astaghfirullah dusta sekali. Batinku.
Beda lagi Mayra, dia bahkan tak terlihat di dapur. Rupanya dia sedang selonjoran di ruang tengah sana.
"Siniin hapenya, jangan kau pegang hp kalau belum siap masak!" kata Ibu sambil merebut ponsel kedua iparku.
Lagi, rasanya pengen cekikikan.
Seleb 32.Beberapa hari setelah perdebatan itu, aku langsung mencairkan uang empat ratus juta setelah Mayra menemukan harga yang menurutku cocok. Tanah ini lumayan luas sampai ke belakang tempat suamiku biasanya berkebun."Aku pengennya dibagi sama, Bang," kata Mayra saat aku telah meletakkan bergepok uang merah di atas meja. Ijo gak tuh matanya.Terdengar Bang Fahri mengela napas lelah."Kau tahu harusnya kau dapat berapa bagian?" tanya suamiku.Kami kembali berkumpul malam itu.Mayra menggeleng."Kau, Adel?" tanya suamiku pada adik perempuannya yang lain.Adel juga menggeleng."Kau, Ozan?" Kembali Bang Fahri bertanya pada adik bungsunya."Setahuku anak laki-laki dapat seperdua, sementara anak perempuan dapatnya dua pertiga kalau dalam hukum faraid," jawabnya dengan tegas."Iya, betul." Suamiku berkata."Berarti kau bisa hitung sendiri kan harusnya dapat berapa?" tanya suamiku pada Adel dan Mayra.Keduanya mengangguk lesu, kek gak niat mengangguk gitu."Tapi kita harus bagi adil, Ba
Seleb 31."Bang Fahri, Ozan!" teriakku lagi. Bang Fahri sedang menonton televisi di ruang tengah. Sementara Ozan yang lagi di kamar, langsung keluar saat mendengar teriakanku."Kenapa, Dek?" tanya suamiku."Mamak … Bang," kataku dengan suara yang bergetar.Ponsel masih di tanganku, masih hidup. Aku berikan pada Bang Fahri dan ia mulai bertanya pada orang di seberang sana."Innalilahi wa inna ilaihi raji'un, Mamak …." Tangis Bang Fahri juga ikut pecah. Ozan berdiri mematung, terlalu stok dengan kabar yang ia dnegar barusan. "Ya Allah … Mamak," lirih Ozan.Kami menangis, teringat kembali terakhir kali bertemu dan memeluknya di bandara. Kami baru sadar bahwa itu ternyata menjadi momen terakhir kebersamaan kami di dunia ini.Bang Fahri masih berusaha tenang dan bertanya beberapa hal pada seorang ustadz yang melakukan badal haji Bapak.Katanya, Ibu sempat pusing dan mengeluh lemas. Lalu muntah dua kali, hingga dibawakan ke rumah sakit terdekat di sana. Tak berapa lama kemudian, Ibu men
Seleb 30.Gema takbiran berkumandang di kampungku. Seperti biasa, saat lebaran aku selalu pulang ke kampung, menikmati waktu bersama Ibu dan Nenek, sesibuk apa pun itu.Kalau aku tidak pulang, Ibu dan Nenek pasti nangis, karena pernah seperti itu dulu saat aku belum punya banyak karyawan."Apa gunanya banyak duit, Nak, kalau lebaran aja gak bisa kumpul sama keluarga," kata Nenek sambil nangis pas aku pulang beberapa minggu setelah lebaran waktu itu.Jangan ditanya bagaimana reaksiku, langsung sesenggukan sambil mengangguk membenarkan Nenek dan berulang kali minta maaf. Setelah itu, setiap lebaran aku pasti pulang, takut membuat hati mereka bersedih."Anak satu-satunya, udahlah hari-hari ditinggal, lebaran pun tak pulang," tambah Ibu.Nyes banget waktu itu. Sedih dan nyesek sampai ke ubun-ubun rasanya. Mereka bukan tak mengerti aku sibuk, justru sangat mengerti, tapi dalam dua puluh empat jam berhari, berbulan, bertahun-tahun, mereka hanya meminta beberapa waktu untuk bersama. Karena
Seleb 29.Rutinitasku masih sama, bolak balik Jakarta-Medan. Adik-adik iparku juga masih sama, kelakuannya.Adel dan Mayra masih sibuk live di Tiktok, sambil bikin konten. Penjualannya meningkat kulihat, hingga akhirnya Adel bisa beli motor impian. Meskipun bukan uang dari hasil ngelive, karena yang dari penjualan live hanya bisa buat jajan bakso atau beli pakaian yang ia suka."Biar senang istriku, Kak." Hendra duluan bilang ke aku dan Bang Fahri saat mau beli motor Honda PCX.Makin ke sini, hubungan Adel dan Hendra makin membaik. Lelaki itu juga telah memutuskan hubungan dengan gadis di luar sana tanpa sepengetahuan Adel, sebelum terlambat, katanya.Beda Adel, beda lagi Mayra. Perempuan satu anak itu berkali-kali menghubungiku untuk meminta pinjaman uang."Bayar yang sebelumnya dulu," kataku saat ia meminta.Aku bahkan tak segan berkata seperti itu jika di depan Bang Fahri, karena aku tahu posisiku benar. Mudah sekali lidahnya mengatakan pinjam dulu, ngutang dulu, sementara yang se
Seleb 28.Beberapa hari setelah pesta pernikahan, aku kembali ke kampung. Banyak yang berubah setelah aku kembali di sana. Kini aku memang sudah dikenal sebagai owner, bukan lagi orang biasa seperti saat dulu pertama pulang ke rumah suami.Sebagian mengagumi, menyemangati, sementara sebagiannya lagi bermanis di depan, lalu kudengar mereka mengataiku di belakang. Mengatai aku aoke jurus dukun biar laris dan tuduhan serupa lainnya.Lucu memang!Sikap Mayra dan Adel juga berubah. Entah mengapa mereka jadi lebih suka meminta dengan cara yang agak maksa, dan seolah sebuah keharusan untuk aku memberi."Kak, minta uang buat beli peralatan ngonten, dong!" kata Adel sambil manyun manja. Sekilas aku menatapnya, lalu menatap suamiku."Pakai yang udah ada aja," kata suamiku.Aku yakin Bang Fahri malu dengan sikap adiknya itu. Bukan apa, soalnya waktu itu Hendra bilang, ia sudah melengkapi peralatan ngonten untuk istrinya itu. Tinggal sampelnya aja yang belum, nunggu uang gaji bulan depan katany
Seleb 27."Selamat ya, Bu Bos. Aku doakan semoga pernikahannya sakinah mawadah warahmah," kata Sonia sambil salim dan memelukku.Gadis itu pun menangis di pelukanku entah sebab apa. Mungkin kembali teringat olehnya saat ia pulang dari luar negeri, karena ibunya sakit, saat itu ia sedang kesusahan mencari pekerjaan di Jakarta. Lalu, aku dan Sonia bertemu, dan menawarkam pekerjaan untuknya."Jangan nangis, kita lagi bahagia," kataku sambil puk puk bahunya."Yah, kan nangis bukan hanya tentang sedih, Bu Bos. Ini air mata bahagia."Aku mengangguk, lalu menangkupkan telapak tangan di wajahnya. Diantara semua karyawan yang paling dekat, Sonia lah yang paling lebih dekat denganku. Kemudian ia juga memberi ucapan selamat untuk Bang Fahri seraya menangkupkan dua tangan di dada."Bang, doain aku cepat nyusul ya," katanya."Nyusul ke mana?" tanya Bang Fahri dengan nada becanda."Nikah lah, Bang.""Owh, sama adekku aja, mau nggak?" tanya Bang Fahri."Boleh juga, Bang," ucap Sonia sambil tertawa