Seleb 5
.
Minggu sore kulihat Ozan kembali duduk di gazebo belakang rumah. Itu anak-anak benar-benar adem banget jiwanya. Dia mengalah lagi dari Adel.
Bang Fahri beberapa hari ini masih menghabiskan waktu di sawah. Suamiku memang tipe orang yang gak bisa duduk diam rumah, harus gerak biar berkeringat.
Ibu pun seperti itu kulihat.
"Bang, kenapa Mamak masih kerja? Kasian kali lah Adek tengok. Bisa gak Mamak gak usah kerja lagi?" kataku pada Bang Fahri saat kami akan tidur malam hari.
"Mamak tuh gak bisa kalau gak kerja. Bisa sakit badannya, Dek!"
"Lah, kok gitu?"
"Ya gitu, karena memang udah dari dulu Mamak jualan es tebu. Langganan pun udah banyak, katanya kalau beli di tempat lain banyakan campur air atau pemanis buatan biar makin banyak untung."
Bang Fahri menjelaskan. Katanya, Ibu jualan es tebu sejak setelah Bapak meninggal.
Dulu Bapak kerja di pabrik, nanam sayur, bajak sawah, apapun ia kerjakan. Ia sempat beli lahan dan membangun rumah ini dari hasil kerjanya. Namun, takdir merenggut nyawanya terlalu dini. Bapak mengalami kecelakaan di pabrik saat ia bekerja.
Saat itu Bang Fahri sedang menempuh pendidikan di pesantren modern yang biayanya lumayan untuk seukuran orang desa yang kerjanya hanya di pabrik ditambah serabutan lainnya. Setelah Bapak meninggal, Bang Fahri terpaksa keluar dari pesantren dan melanjutkan sekolah di SMA Negeri yang biayanya lebih murah.
Setelah tamat SMA, Bang Fahri mencari pekerjaan sana sini untuk membantu Ibu. Lalu, saat ada sedikit uang, Ibu menyuruh Bang Fahri untuk membeli mesin penggiling tebu.
Saat itu adik-adiknya masih kecil-kecil, jadi segala tanggungan mereka otomatis terbebani pada Ibu dan Bang Fahri.
Kata Bang Fahri, masih mending mereka punya rumah. Tak harus memikirkan di mana akan tinggal, bayar kontrakan pakai uang dari mana. Sehari-hari hanya memikirkan keperluan sekolah adik-adiknya dan kebutuhan makan.
Sebab itu, Bang Fahri telat menikah. Ia baru menikah di usianya yang ke tiga puluh lima tahun. Aku juga telat, kini usiaku sudah tiga puluh tahun.
Kami sama-sama telat nikah, dengan alasan yang berbeda.
Sebab itu pula, rumah ini hanya tampak lumayan besar di luar, untuk seukuran rumah di kampung. Tapi di dalamnya tak ada perabotan. Tak ada televisi, sofa, rak kaca mewah atau apa pun yang menarik perhatian. Yang ada hanya kulkas biasa, penanak nasi dan blender.
"Seperti apa rupa Bapak, Bang?" tanyaku pada suami.
Kemudian ia bangun dan membuka lemari mengambil sesuatu. Lalu, ditunjukkan padaku.
Terlihatlah seorang lelaki yang masih terlihat muda, dengan kumis tipis. Rambutnya agak cepak gitu, khas orang jaman. Tapi, kalau diperhatikan Bapak ganteng juga, pantas aja nurun ke anaknya. Di samping Bapak, ada Ibu yang tersenyum dengan selendang yang menutupi kepalanya.
Fix, aku harus minta Bang Fahri untuk mencuci foto lawas ini menjadi lebih besar. Nanti akan dipajang di dinding sebagai kenangan.
"Bapak ganteng ya, Bang," kataku.
"Iya, tapi gantengan Abang, kan?" tanyanya seraya tersenyum menggoda.
"Dih, narsis Abang ini."
"Narsis sama istri sendiri boleh, kan?"
Ya boleh dong, Bang. Masa aku harus ngaku duluan kalau Abang ini ganteng. Malu dong, Bang. Batinku dalam hati.
"Dek …," panggil Bang Fahri.
"Apa?" tanyaku yang melihat suami senyam senyum.
"Abang lapar," katanya.
"Makan, Bang."
"Lapar mata," katanya lagi.
"Emang mata bisa makan?" tanyaku. Sebenarnya aku paham maksudnya apa. Tapi ya masih malu.
Ia mengangguk, lalu makin mendekat padaku hingga deru napasnya yang hangat bisa kurasa menyapu wajahku. Setelah itu you know lah apa yang terjadi.
.
"Zan …," panggilku seraya meletakkan kue dan teh hangat di dekatnya.
Cuaca mendung sangat mendukung untuk ngemil dan ngeteh.
"Wah, makasih banyak ya, Kak. Baik kali kakak satu ini. Kemarinnya bolu karamel, sekarang bolu pisang. Enak pula," kata Ozan panjang lebar.
Aku hanya tersenyum. "Makasihnya belajar yang giat aja biar sukses sidangnya, sukses juga karirnya nanti. Aamiiin."
Ozan tersenyum padaku. "Aku makan ya, Kak."
"Iyalah, masa diliatin doang, mana kenyang?"
Kami tertawa.
"Eh, Zan. Emangnya sawah Bang Fahri di mana?" tanyaku penasaran.
"Wah, parah Abang nih. Kakak belum pernah diajaknya jalan-jalan keliling kampung?" tanya Ozan.
Aku menggeleng.
Lalu, ia memberitahuku di mana Bang Fahri nyawah. Aku mengangguk, sepertinya tidak akan tersesat, karena hanya beda lorong dari rumah ini.
Oke, langsung tancap gas ke lokasi. Saat keluar rumah, Ibu bertanya aku mau ke mana. Saat aku menjawab ingin menyusul Fahri ia hanya mengangguk sambil bilang.
"Bawa saja payung, Sela. Keknya mau hujan pula nih."
"Gapapa, Mak."
Aku terus menyusuri pematang sawah, sampai kakiku jadi kotor karena lumpur. Hitung-hitung nostalgia masa kecil. Entah sudah berapa lama aku tidak pergi ke sawah. Dulu, Nenek dan Kakek juga kerja di sawah, dan aku sering menyusul mereka di sana.
"Abang …," teriakku memanggil Bang Fahri.
"Iya, Dek." Lelaki itu menoleh dan seketika aku menyembunyikan wajah karena salah panggil. Lelaki itu malah tertawa, aku jadi balik arah karena malu.
"Dek …,"
Aku mendengar panggilan itu, tapi tak berniat menoleh.
"Dek Shela …," panggil seseorang lagi. Di sawah yang luas ini, suara agak tidak jelas. Aku berbalik dan tersenyum saat melihat Bang Fahri yang memanggil.
Ternyata sawahnya berada di sebelah kanan yang aku salah panggil tadi. Dua pematang sawah berselang.
Segera saja aku menghampiri suamiku.
"Istri kau, Fahri?" tanya orang yang salah kupanggil tadi.
"Iya," jawab suamiku.
"Cantik cantik jangan pula kau suruhnya ke sawah,"
Bang Fahri hanya tertawa. Siapa yang nyuruh, wong aku sendiri yang inisiatif. Eh!
Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Langit sudah gelap, sejak tadi memang mendung. Semua orang dengan cepat turun dari sawah menghindari hujan dan akan pulang.
Bang Fahri juga melangkah padaku, menjajakan kakinya di bawah lumpur.
Aku menatap langit dan merasakan tetes demi tetes air hujan. Duh, komplit banget deh. Sawah, hujan, perpaduan yang pas untuk nostalgia.
Jadi pengen nyanyiin lagu India.
Yaudah aku nyanyi aja deh, kapan lagi romantisan di tengah sawah hujan-hujanan gini.
Yeh mausam ki baarish
Yeh baarish ka paani
Yeh paani Ki bondein
Tujhe hi toh dhoondhe
…
Aku terus berjalan pada Bang Fahri yang juga berjalan padaku. Aku mengulurkan tangan padanya bak gaya artis film India yang lagi jatuh cinta. Manisnya Bang Fahri juga mengulurkan tangan padaku, hingga kini kami berdua menari di pematang sawah.
Aku membelalakkan mata mendengar Bang Fahri menyambung lirik lagu yang kunyanyikan.
Yeh milne Ki khwahish
Ye khwahish purani
Ho poori thuji se Meri heh kahaani
Ah, makin jatuh cinta. Baru tau kalau Bang Fahri juga suka Bollywood.
"RI, hujan, Ri …!" teriak laki-laki yang tadi salah kupanggil.
Apaan sih, orang itu ganggu aja. Aku mau lanjut chori chori chupke chupke nih.
"Fahri, hujan!"
Seleb 13.Aku terbangun setelah semalam menyatukan rasa. Kulirik jam di ponsel yang ternyata masih menunjukkan pukul empat pagi, belum subuh. Di sampingku Bang Fahri masih terpejam.Kesempatan nih buat puas-puasin natap wajah tampannya. Aku mendekatkan wajah di dekatnya, menatap wajah itu sambil tersenyum. "Kek ada yang lagi natap nih!" Tiba-tiba aku mendengar suara Bang Fahri. Ternyata ia sudah bangun juga, tapi pura-pura tidur.Spontan aku langsung menjauh dan membalikkan badan, entahlah rasanya malu kek udah ketahuan nyolong apa gitu. Nyolong hati mungkin ya.Bang Fahri terdengar tertawa kecil, kemudian ia meraih bahuku dan membuat jarakku dengannya makin dekat."Apa sih, kek orang dipaksa dijodohin dan gak bisa cinta aja," katanya. "Ayo, tatap aja wajah Abang yang ganteng ini sepuasnya.""Dih, narsis!" kataku."Ya iya, kan sama istri sendiri. Kalau narsisnya sama istri orang emang boleh?" "Awas aja, Bang! Berani Abang gitu ingatlah!" ancamku.Dia malah tertawa."Iya, Dek, iya.
Seleb 12."Adek masih hutang penjelasan kan sama Abang?" Bang Fahri sejak tadi menatapku penuh selidik, dia masih sangat penasaran denganku.Setelah aku puas ditertawakan oleh Mayra dan Adel, aku dan suami pun masuk kamar. Ibu tampak percaya saja saat kukatakan itu uang tabungan dan hasil tunjuangan, bukan bermaksud membohonginya, tapi aku juga ingin melihat orang-orang bersikap alami denganku.Aku tak mau ada drama membandingkan antara menantu satu dan yang lainnya, ipar satu dan yang lainnya.Aku tak mau saat orang tahu aku banyak uang, mereka akan berpura-pura baik seperti pen jil at yang hanya ingin dekat denganku karena uang.Muak aku dengan keadaan seperti itu."Iya," kataku pada Bang Fahri sambil tersenyum.Kemudian aku menuntun Bang Fahri untuk duduk di sampingku. Malam ini aku akan menjelaskan semuanya tentang siapa aku ini. Tentang semua hal yang tidak diketahui suamiku selama ini."Apa yang mau Abang tanyakan? Apa yang Abang pengen tau?" tanyaku."Semuanya, Dek! Uang Adek
Seleb 11."Kenapa pula ini, Bang? Kok narik narik tangan, masih jam 10 ini, masih banyak orang di luar, Bang!" kataku pada Bang Fahri seraya menggodanya."Sakit lah, Bang." Sengaja mengeluh sakit agar suami segera melepas tanganku. Padahal dia nariknya biasa aja, gak nyeret juga."Eh, maafin Abang, Dek." Bang Fahri memeriksa tanganku yang memang gak kenapa-napa."Lagian kenapa sih, Bang. Kita kan lagi ngomong sama Mamak!" kataku yang sedikit tak terima karena Bang Fahri seperti memotong pembicaranku dan Ibu tadi.Bang Fahri menatapku dengan serius, kemudian ia menepuk kasur dengan tangannya."Masih jam 10, Bang. Adek juga capek banget malam ini,""Bukan itu, Dek.""Jadi, apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.Kembali Bang Fahri menatapku sangat serius."Dek …," panggilnya.Aku menatapnya bertanya ada apa"Abang tau, Mamak pengen banget naik haji, tapi jangan pula kasih harapan untuk Mamak dengan menjanjikan haji untuknya." Bang Fahri berkata dengan lembut, mungkin takut aku tersinggung.
Seleb 10."Ini sarungnya, Bang." Aku menyiapkan sarung beserta baju koko untuk Bang Fahri. Aku sendiri sudah siap dengan gamis dan bergo seperti yang biasa kupakai."Iya," sahut suamiku seraya memakaikan sarungnya.Malam ini, di rumah ada acara tahlilan tahunan untuk mengenang kepergian Bapak. Nanti akan ada Ustadz yang memimpin doa bersama. Kami juga sudah menyediakan nasi berkat yang dimasak siang tadi.Aku dan Bang Fahri keluar setelah siap. Beberapa orang sudah berkumpul di tikar yang kami gelar. Hanya menunggu ustad pemimpin doa yang belum datang.Aku menatap Bang Fahri saat melihat Mayra dan Adel yang pakaiannya terlihat tak sopan di acara agamis seperti ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Apa mereka memang gak terlalu memikirkan adab atau terlalu bablas stylenya.Adel mengenakan celana jeans robek robek yang ketat banget di kaki jenjangnya. Ia memadukan dengan kemeja yang dimasukin ke dalam celana. Jilbabnya dipakai, tapi gak dipentulin, cuma dipakai gitu aja d
Seleb 9."Wah, Adel, barang baru kau ya?" seru Mayra saat baru sampai di rumah Ibu dan melihat sudut kecil tempat Adel biasa live.Saat itu aku sedang berada di kamar, tapi bisa mendengar obrolan mereka. Aku sengaja keluar keluar untuk menyapa Mayra, dan anaknya. Juga ingin mendengar apa selanjutnya yang mereka obrolkan.Terkadang bagiku, obrolan mereka bisa jadi lelucon. Tentang bagaimana mereka saling menunjukkan viewer, follower, dan konten-konten yang fyp menurut mereka.Lucu juga kalau lagi liat mereka ngonten. Saling adu keestetikan. Apalagi saat mereka saling berbagi pengalaman untuk mengambangkan konten, yang terkadang bagiku tersakiti kurang tepat dan lucu."Iya, Kak," kata Adel sambil cengengesan.Masih kuingat saat kemarin barangnya sampai. Adel berteriak kesenangan karena tripod yang kuberikan model kokoh dan punya kaki tiga. Duh, udah kek larutan penyegar aja ya, kaki tiga.Ya begitulah, aku juga memberikannya soft box biar pencahayaannya bagus, dan lebih meningkatkan ku
Seleb 8.Aku keluar dari kamar, seperti uring-uringan bolak balik dari ruang tengah, teras, dan ke kamar. Gak biasanya sinyal seperti lumpuh total, padahal sejak lama aku sudah pakai provider yang bisa dibilang paling kuat sinyalnya. Aku berkali-kali berdecak kesal karena harus mengecek beberapa data di ponsel ini, juga harus mengirimkan beberapa keperluan lainnya untuk orang lain. Namun, karena masalah sinyal, jadi terhambat.Ah, menyebalkan sekali. Padahal sejak awal menikah, aku sudah bertanya pada Bang Fahri mengenai sinyal di rumahnya. Bagus katanya.Aku kembali ke teras, dan menarik salah satu kursi. Bahkan aku tak peduli pada Adel yang sedang sibuk mereview salah satu produk bodycare lokal yang sangat terkenal, juga sangat terkenal suka bagiin sampel dan memakai jasa endorse seleb pemula yang memerlukan dukungan.Aku menjauh dari Adel, karena gak mau ribut, masih pagi."Pasti iPhone bekas kan?" Tiba-tiba aku menoleh pada Adel. Lalu, menatap ponsel yang kini kupegang. Mungkin