Abigail tahu sebenarnya itulah yang dia inginkan untuk terjadi, melihat Noah Zimmerman jatuh cinta kepadanya. Melihat cara Noah memperlakukannya, sepertinya tujuan itu akan menjadi kenyataan. Tapi masalahnya, Abigail mulai merasakan hal yang sama, dia merasakan percikan aneh itu di hatinya setiap kali Noah berada di dekatnya dan itu tidak boleh terjadi. Perasaan itu hanya akan menghalanginya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, membalaskan dendam orang tuanya."Hei, Aby! Abigail!" panggil Noah membangunkannya dari pemikiran panjangnya. "Ya?" dia berbalik karena terkejut. "Jadi yang mana? Kau sudah menemukan koper yang kau inginkan?" tanya Noah sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya, dia baru saja selesai berbicara dengan ayahnya. Abigail mengangguk, “Ya, yang itu!” Dia mengarahkan jarinya ke sebuah koper hitam yang harganya tidak terlalu mahal, setidaknya seseorang yang bekerja sebagai sekretaris seperti dia masih mampu membelinya. Yah, walaupun sebenar
Ponsel Noah berdering tepat sebelum mereka naik ke pesawat, panggilan dari ibunya. Dia mengabaikan panggilan itu dan langsung menuju tempat duduknya, Abigail menelan ludah dengan gugup, jika Laura memaksa putranya untuk memecatnya, maka dia harus mencari cara lain untuk masuk ke rumah mereka untuk mendapatkan bukti.“Duduklah di sini,” kata Noah sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Abigail memasang wajah kesal dan menjatuhkan diri di atas kursi tersebut."Kenapa kau memasang wajah seperti itu?" goda Noah sambil memasang sabuk pengamannya.Abigail hanya menghela nafas panjang, dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Orang-orang pasti akan mengira mereka sedang menjalin hubungan bahkan sebelum dia bisa membuktikan dirinya memiliki kemampuan bisnis. Dia membutuhkan pengakuan itu untuk mengesankan orang tua Noah dan kesempatan itu mungkin tidak lagi sama setelah ciuman Noah yang mendarat tiba-tiba dibibirnya tadi."Ada apa?” tanya Noah.Abigail menoleh ke arahnya, mengira Noah sedan
"Apa maksudmu sakit?" tanya Abigail sambil melotot heran. Maria menghela nafas panjang, "Dia menderita kanker, kanker payudara, stadium 3," ucapnya ragu-ragu.Abigail merasa dunia berputar terlalu cepat sehingga dia bisa merasakannya, keringat dingin mengalir dari belakang leher hingga ke punggungnya."Ya Tuhan, tunggu sebentar," kata Abigail sambil membungkuk dengan mata tertutup rapat membuat Maria menatapnya dengan cemas."Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Maria dengan lembut. Abigail menegakkan punggungnya dan mengangguk, "Ya, aku hanya, kau tahu aku masih berusaha memprosesnya..." ucapnya sambil menatap kosong ke arah rumput hijau di sekitar koridor.Maria mendekat, dan menepuk punggungnya dengan lembut, "Mau pergi menemuinya?""Iya, tentu! Kurasa karena itulah aku ada di sini, untuk menemuinya," dia tercekat kemudian berjalan berdampingan dengan Maria menuju ruangan tempat ibunya dirawat selama ini."Helena, lihat siapa yang datang!" ucap Maria enteng sambil memasukkan PIN unt
Abigail menahan nafasnya, dan menatap Zach dengan mata melotot, dia benar-benar tidak menyangka Zach akan menanyakan pertanyaan itu. Tiba-tiba dia mendengar Noah menghela nafas panjang, "Entah dari mana kamu mendengar rumor itu, tapi aku bisa memastikan kalau itu tidak benar, aku sudah memastikannya," ucapnya terdengar tidak yakin.Abigail mendengus, menyebabkan Noah menoleh ke arahnya dengan heran. "Maaf, ada sesuatu di hidungku," ucapnya sambil mengusap hidungnya beberapa kali. Seharusnya dia bisa lebih menahan diri, bagaimana jika Noah curiga?"Bagaimana kau bisa begitu yakin padahal aku yakin saat itu kau pasti hanyalah seorang remaja yang tidak mengerti apa-apa tentang bisnis," ucap Zach mencoba mematahkan argumen Noah. Abigail menyipitkan mata, bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan Zach di kepalanya.Noah mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu di dalamnya lalu segera menunjukkan layar ponselnya kepada Zach.“Orang itu adalah Direktur Teknik yang meninggal dan orang di s
"Kau sudah siap?" tanya Noah melalui interkom. “Ya beri aku waktu lima menit aku akan segera keluar,” kata Abigail cepat. “Oke, aku akan menunggu di lobi,” ucap Noah kemudian mengakhiri panggilannya. Dengan tergesa-gesa, Abigail memasangkan anting di telinganya dan mengikat rambutnya menjadi messy bun yang menawan. Tepat lima menit kemudian stiletto miliknya bergema di lorong hotel, melangkah dengan cepat.Di ruang tunggu Lobby, Abigail bisa melihat Noah yang sedang duduk menunggu sambil menatap ponselnya. Seolah digerakkan oleh kekuatan tak terlihat, Noah tiba-tiba mendongak dan matanya bertemu dengan mata Abigail yang sedang menatapnya dengan saksama. Noah langsung terpesona seketika, kecantikan Abigail benar-benar membuatnya gugup hingga ia tak bisa memahami perasaannya sendiri."Shall we?" kata Abigail, berhenti tepat di depan Noah."Ya, ayo pergi!" ucap Noah seraya bangkit berdiri, mereka berjalan berdampingan menuju lobi hotel. Saat Noah menerima kunci dari Vallet, Abigail m
Abigail turun dari apartemennya dengan sedikit gugup, meski sudah mempersiapkan segala sesuatunya sejak lama, tetap saja menjadi bahan gosip orang-orang di kantor akan sulit baginya. Stiletto miliknya bergerak lincah melintasi trotoar, ia baru berjalan beberapa langkah ketika kemunculan seseorang secara tiba-tiba mengagetkannya. Dia mendongak dan menemukan Calvin berdiri di depannya dengan ekspresi aneh."Calvin? Selamat pagi!" ucap Abigail sambil tersenyum kaku, dia tahu kalau menyapa mungkin bukan tindakan yang pantas karena Calvin pasti sedang sangat kesal saat itu. "Kau dan Noah Zimmerman?" dia bertanya, suaranya tercekat di tenggorokan. Abigail tidak berkata apa-apa, dia hanya menatapnya sambil menggigit bibir. "Bukankah aku sudah memberitahumu tentang adik perempuanku? Bagaimana bisa kau..." ucap Calvin, matanya terlihat begitu terluka.Abigail menarik napas dalam-dalam lalu mengusap hidungnya dua kali, "Calv, aku sarankan kau meminta adikmu untuk mengatakan yang sebenarnya," u
“Terima kasih,” ucap Abigail saat seorang pramusaji meletakkan segelas teh Chamomile di hadapannya. Dia menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyesapnya perlahan. Di depannya, Donna menunggu dengan sabar sambil mengunyah makanan pembukanya. “Semua terjadi begitu saja, aku tidak merencanakan apa-apa, Noah lah yang memulai semuanya,” ucap Abigail menjelaskan kepada Donna yang terus menanyakan awal mula hubungannya dengan Noah. "Begitukah? Jadi sudah sejauh mana hubungan kalian?" tanya Donna, salah satu alisnya terangkat. Bayangan tentang apa yang telah dia lakukan dengan Noah terlintas di kepala Abigail, hubungan seksual mereka di Penthouse, di pesawat… “Kami masih dalam tahap awal, maksudku aku dan dia, kami punya ketertarikan satu sama lain tapi kami belum sejauh itu, orang-orang bereaksi berlebihan,” bohongnya. Donna memicingkan matanya, "Kau mencintainya?" Abigail hampir tersedak roti yang dia makan, dan dia terbatuk-batuk dengan keras, itu pertanyaan yang sangat bagus, karena d
Apa yang terjadi di kamar mandi kantor selamanya akan menjadi rahasia antara Noah dan Abigai. Abigail berdehem dengan gugup, dia membetulkan blusnya dan menyeka bibirnya, kalau-kalau lipstiknya berantakan. Tiba-tiba Noah memeluknya dari belakang, “Luar biasa, kau luar biasa,” ucapnya tulus, matanya menatapnya melalui pantulan cermin. Abigail hanya bisa tersenyum lebar, dia sangat senang mendengar kata-kata itu.'Kalian berdua akan menderita patah hati yang akut setelah kalian berpisah! Berhentilah bereaksi berlebihan seperti ini!' dengung Bee dari dalam kepalanya. Ekspresi Abigail tiba-tiba berubah membuat Noah mengerutkan kening, "Apa yang terjadi? Apa semuanya baik-baik saja?" dia bertanya dengan penuh perhatian."Permisi, Tuan Zimmerman? Anda di dalam sana?"Abigail dan Noah saling berpandangan dengan heran. Itu suara Martha! "Bagaimana?" tanya Abigail tak terdengar. Noah menelan ludah, “Tetap di sini,” jawabnya pelan. "Aku di sini!" teriak Noah dari dalam kamar mandi. Dia mela