Menghabiskan waktu di Mall Of IndonesiaSetelah selesai menjalani sesi wawancara di SPAD Corp, Mikha, Aisya, dan Fauzan bersama-sama meninggalkan gedung perusahaan itu. Seorang staf mengingatkan mereka sebelum pergi."Terima kasih telah mengikuti proses wawancara. Hasilnya akan diumumkan satu minggu dari sekarang melalui email atau telepon. Mohon menunggu kabar dari kami," ucap staf tersebut dengan ramah.Ketiganya mengangguk dan berjalan keluar dengan perasaan bercampur aduk. Di luar gedung, Aisyah mencoba mengusulkan ide untuk menghabiskan waktu."Daripada pulang langsung, bagaimana kalau kita nongkrong dulu? Aku butuh banget ngilangin stres," tutur Aisyah sambil mengibaskan rambutnya.Fauzan mengangguk setuju. "Setuju banget. Kita ke Mall of Indonesia aja. Di sana ada bioskop, kafe, dan butik, jadi kita bisa sekalian cuci mata."Mikha, meskipun masih merasa gugup memikirkan hasil wawancara, akhirnya mengiyakan. "Baiklah, kita pergi sekarang."Sesampainya di Mall of Indonesia, keti
Kesempatan kerja di SPAD Corp,Pagi itu, matahari belum sepenuhnya meninggi ketika Mikha, Aisya, dan Fauzan tiba di depan gedung megah SPAD Corp, Jakarta Pusat. Mereka bertiga adalah fresh graduate yang baru saja menyelesaikan kuliah dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar ini.Lobi SPAD Corp pagi itu penuh sesak. Para pelamar dengan berbagai latar belakang tampak memenuhi ruangan yang didesain modern dan elegan. Mikha memandangi sekelilingnya, merasakan rasa gugup yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya."Aisya, banyak banget orang di sini. Aku jadi makin deg-degan," ucap Mikha sambil memegang tasnya erat."Tenang aja, Mik. Kita kan sudah melakukan persiapan yang baik. Fokus aja sama kemampuanmu," jawab Aisya sambil menepuk pundak Mikha untuk memberinya semangat."Iya, benar kata Aisya," tambah Fauzan. "Kalau kita percaya diri, pasti ada peluang dan kita bisa diterima sebagai karyawan di perusahaan raksasa ini."Namun, ucapan teman-temannya tak cukup untuk mengus
Beberapa tahun kemudian,Pagi itu, suasana di sebuah kampus ternama di kawasan Jakarta Selatan sangatlah meriah. Bendera berkibar di seluruh penjuru, balon-balon berwarna cerah melayang-layang di udara, dan para wisudawan tampak elegan dalam balutan toga dan topi wisuda mereka. Salah satu di antara mereka adalah Mikha Clarissa, seorang gadis muda berusia dua puluh dua tahun yang hari ini akan menjadi salah satu lulusan terbaik dengan predikat cumlaude.Di sebuah ruangan di belakang aula utama, Mikha sedang berdiri di depan cermin, merapikan topi toganya. Bunda Nadia, ibunya, berdiri di sampingnya dengan senyum bangga yang tak pernah lepas dari wajahnya."Bunda, bagaimana? Topinya sudah benar?" tanya Mikha sedikit gugup."Sudah, Nak. Kamu kelihatan cantik sekali. Nenek Jenar pasti akan sangat bangga melihatmu hari ini," jawab Bunda Nadia sambil menepuk pundak Mikha dengan lembut."Terima kasih, Bunda. Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar," ucap Mikha sambil menarik napas dalam-d
Setelah berkunjung ke makam Paula, sang putri tercinta. Kondisi Nyonya Dela perlahan-lahan mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Rasa kehilangan yang menyelimuti dirinya sedikit demi sedikit berkurang, sehingga dapat memberikan secercah harapan bagi keluarganya. Namun, seperti awan yang hanya menutupi matahari sementara, kecerahan itu pun begitu cepat berlalu. Depresi yang dialami Nyonya Dela kembali, dengan kekuatan yang lebih dahsyat, menghempaskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan yang lebih dalam daripada sebelumnya.Di sebuah pagi yang tenang, di ruang tamu rumah mereka yang beraroma bunga lavender, Tuan Amos dan putranya, Samuel, berdiskusi dengan cemas mengenai keadaan Nyonya Dela."Papi, apa yang harus kita lakukan? Mami tampaknya semakin terpuruk," tanya Samuel dengan nada khawatir.Tuan Amos menghela napas panjang, wajahnya tampak lelah dengan kerutan yang semakin jelas di dahi. "Papi tidak tahu, Samuel. Kita telah mencoba segalanya. Konseling, terapi obat, bahkan ku
Karena kondisi sang istri yang tak kunjung pulih, Tuan Amos dan Samuel, putranya, telah memutuskan jika hari ini adalah hari yang tepat membawa Nyonya Dela, untuk berziarah ke makam Paula di Sandiego Hills Memorial Park. Paula adalah putri kesayangan Keluarga Anderson, yang telah berpulang beberapa waktu yang lalu, dan mereka berharap bahwa kunjungan ini akan membantu Nyonya Dela untuk dapat menerima kenyataan bahwa Paula kini telah tenang di sisi Tuhan.Pagi itu, mentari menyinari bumi dengan lembut, menghangatkan udara dengan sinarnya yang cerah. Tuan Amos mengenakan kemeja putih bersih dan celana panjang hitam, sementara Samuel mengenakan pakaian serupa, tanda duka mereka yang mendalam. Mereka berdua berdiri di depan pintu, menunggu Nyonya Dela yang sedang bersiap-siap di dalam kamar."Nyonya sudah siap, Tuan," ucap salah seorang perawat sambil berjalan keluar dari kamar Nyonya Dela."Terima kasih, Perawat Yuni," jawab Tuan Amos sambil mengangguk. Sang ayah lalu menoleh ke arah p
Di sebuah rumah megah bergaya klasik di salah satu kawasan Jakarta Selatan, suasana sepi dan muram terasa sangat kontras dengan kemegahannya. Di dalam rumah tersebut, Nyonya Dela Anderson, seorang wanita yang dulunya dikenal cerdas, sukses, dan selalu tampil modis, kini malah duduk di kursi roda. Wajahnya yang dulu selalu ceria dan bersemangat, kini terlihat pucat dan tak bercahaya. Matanya yang biasanya memancarkan keuletan dan kepercayaan diri, kini tampak kosong dan dipenuhi kesedihan yang mendalam.Nyonya Dela belum sepenuhnya pulih dari depresi berat yang dirinya alami setelah kematian putri tercintanya, Paula. Kehilangan yang begitu mendalam ini merenggut hampir semua kebahagiaan dalam hidupnya. Dari seorang wanita yang dulu selalu menjadi pusat perhatian di berbagai acara sosial, kini Nyonya Dela malah menghabiskan hari-harinya dalam keheningan dan kesedihan.Di sisi lain, Tuan Amos Anderson, suaminya, berusaha keras untuk tetap tegar di hadapan keluarganya. Dia selalu berada