Share

12. DI MANA MAKAM AISHA?

Hidup adalah sebuah proses.

Proses belajar bertahan pada sesuatu setelah saling mengenal, berinteraksi, beradaptasi dan menerima kondisi.

Itulah yang telah Samudra lalui selama kurun waktu 5 tahun terakhir.

Sebuah proses panjang yang penuh drama dan spionase. Sebuah perjalanan menemukan jati diri dan arti kehidupan secara bersamaan. Perjuangan dan pengorbanan yang tak bisa diukur oleh apapun yang ada di dunia ini.

Dulu, Samudra tidak tahu apapun tentang agamanya sendiri. Dia terlalu sibuk dengan urusan dunia.

Sibuk berfoya-foya, mabuk-mabukkan, balapan liar, bermain perempuan, bahkan sampai pernah menjadi seorang pengkonsumsi barang haram, jenis ganja.

Segala jenis dosa itu melekat kuat dalam diri seorang Samudra Atlanta, hingga membuatnya lupa daratan.

Uang dan kekuasaan membuatnya khilaf dan tenggelam dalam jurang kesesatan.

Semua orang tunduk padanya. Menghormatinya. Tak ada yang berani melawannya karena kekuasaan yang dimiliki keluarganya.

Hingga suatu hari, Allah mempertemukannya dengan seorang wanita.

Seorang wanita yang dengan sangat berani menceramahi Samudra di muka umum. Dengan lantangnya dia bicara di hadapan Samudra saat lelaki itu hendak memberi pelajaran pada seorang lelaki tua yang telah menyerempet mobilnya hingga membuat mobil itu lecet.

*

"Maaf jika saya ikut campur. Anda sudah keterlaluan! Kekerasan bukan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah. Saya percaya anda ini orang berpendidikan, jadi tidak seharusnya anda main hakim sendiri. Apa anda tidak punya hati nurani sehingga tega memperlakukan orang setua ini dengan kasar? Anda juga punya orang tuakan? Jika orang tua anda diperlakukan seperti ini oleh orang lain, apakah anda akan terima? Sesungguhnya memaafkan itu lebih mulia ketimbang anda menuruti hawa nafsu anda, amarah anda! Saya tahu anda orang kaya, jadi saya pikir anda tidak akan jatuh miskin jika mobil anda mengalami kerusakan yang bahkan hanya seujung jari kuku saja. Tapi, jika anda tetap merasa dirugikan, saya yang akan membayar uang ganti rugi kerusakan mobil anda! Sekarang tolong, lepaskan Bapak itu!"

*

Itulah sepenggal ingatan tentang bagaimana cara Allah mempertemukan dua insan yang tadinya tidak saling mengenal lalu kemudian jatuh cinta dan menikah.

Pertemuan yang begitu membekas dan sulit dilupakan. Karena melalui pertemuan itulah semuanya bermula.

Aisha Dewi Maharani.

Dia wanita yang sangat cantik, baik, berbudi pekerti luhur, lemah lembut, sopan santun, ramah, sabar, dan sholehah.

Berkat Aisha, Samudra mampu terbebas dari lembah hitam kehidupannya yang terlampau bebas. Aisha telah mengajari Samudra begitu banyak hal yang tak pernah Samudra ketahui sebelumnya.

Berkat Aisha, Samudra mampu meraih indahnya hidayah sang ilahi.

Berkat Aisha, Samudra tahu bagaimana caranya shalat. Dari Aisha, Samudra paham arti semua bacaan-bacaan shalat. Dari Aisha, Samudra di ajarkan membaca, memahami dan menghafal Alquran secara bertahap.

Aisha adalah seorang Hafidzah. Dia adalah seorang guru yang kebetulan mengajarkan pengajian kepada anak-anak yatim-piatu, dhuafa dan buta huruf di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan tanpa Aisha meminta bayaran.

Sebuah momen tak terduga terjadi saat tiba-tiba Samudra tersentuh untuk menjadikan Aisha labuhan terakhir hatinya.

Pendamping halal hidupnya.

Istrinya.

*

"Dalam islam, seorang laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dilarang berdekatan tanpa adanya mahram yang mendampingi, apalagi duduk berdua di dalam ruangan yang tertutup. Bisa menimbulkan fitnah nanti. Jadi maaf sekali lagi, bukannya saya tidak sopan kepada seorang tamu, tapi ini sudah malam dan kamu datang sendirian, jadi kalau memang ada yang ingin di bicarakan di sini saja, jangan di dalam, karena kebetulan, Orang tua saya sedang tidak di rumah," ucap Aisha mencoba memberi pengertian pada Samudra yang saat itu ngotot supaya di izinkan masuk ke dalam rumah petakan sederhana yang ditempati Aisha bersama orang tuanya.

"Emangnya orang tua lo kemana?" tanya Samudra saat itu.

Aisha masih terus menunduk. Dia tidak berani menatap Samudra. Laki-laki yang beberapa hari ini nyaris mengacaukan pikirannya. Mengikis imannya. Dan kedatangan Samudra malam ini cukup membuat Aisha terkejut, sekaligus senang.

"Kedua orang tua saya bekerja dari sore hingga malam hari. Mereka berjualan nasi goreng di pinggir jalan, di dekat lampu merah," jawab Aisha apa adanya.

"Berapa pendapatannya perbulan?" Tanya Samudra lagi.

"Tidak menentu. Jika sedang ramai bisa menyisihkam uang untuk membayar kontrakan dan cicilan hutang saja itu termasuk besar. Tapi kalau sedang sepi, paling hanya balik modal dan menutupi kebutuhan sehari-hari saja," jawab Aisha apa adanya.

"Terus kenapa lo nggak coba kerja bantu mereka? Kalau lo mau, lo bisa kerja jadi asisten pribadi gue, mau?"

Aisha tersenyum. Kepala gadis berhijab itu menggeleng. "Bapak tidak mengizinkan saya bekerja di luar selain mengajarkan anak-anak mengaji di masjid,"

"Memangnya kenapa?"

"Saya tidak tahu alasannya. Sebab, setiap kali saya meminta izin untuk melamar pekerjaan di luar, Bapak pasti selalu melarang dan saya tidak mau melawan perintah Bapak,"

"Ngajar ngaji dibayar berapa?"

"Tidak dibayar, gratis. Bapak yang menyuruh saya untuk memberikan ilmu yang saya miliki agar bermanfaat untuk orang lain, terlebih sebagian besar warga di sini malas jika di suruh mengaji, gratis saja malas, apalagi dimintai bayaran. Bapak bilang, jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka bersedekahlah dengan ilmu yang baik dan bermanfaat. Niscaya itu akan menjadi amal jariyah bagimu di akhirat kelak,"

Lagi, hati Samudra tersentuh mendengar ucapan demi ucapan Aisha yang menurutnya sangat ajaib.

"Kemarin, lo bilang Bapak lo sempet sakit, udah lama nggak jualan, kalau begitu darimana kalian bisa makan?" Samudra masih terus melanjutkan interogasinya.

"Hampir setiap hari, saya dan Bapak puasa Mas," jawab Aisha.

Kerutan di kening Samudra tampak menjelas. Samudra dibuat tercengang oleh jawaban Aisha, kali ini.

"Puasa? Terus untuk sahur dan buka kalian makan apa kalau tidak punya uang?"

Aisha tersenyum pahit. "Allah tidak pernah meninggalkan kami, Mas. Meski tidak setiap hari, pasti ada saja tetangga yang mengantar makanan ke sini,"

"Terus kalau nggak ada? Kalian nggak makan gitu?"

"Makan kok, Mas,"

"Makan apa? Makan angin?"

Aisha menggeleng disertai sebuah lekukan kecil di sudut bibirnya yang tertarik ke atas, wanita itu tersenyum.

Dan senyuman Aisha kala itu seolah mampu menggetarkan hati Samudra. Membangkitkan naluri lain dalam jiwanya sebagai seorang lelaki.

"Dzikir, Mas. Itu makanan saya sejak kecil bersama Bapak," jawab Aisha setelahnya.

Dan detik itu juga Samudra merasa, pelupuk matanya kian menghangat mendengar jawaban Aisha. Sampai akhirnya Samudra tak ingin berpikir dua kali untuk melontarkan kalimat ajaib yang memang hadir dari lubuk hatinya yang terdalam.

"Jadi istri gue, Aisha? Gue yang bakal kasih lo makan setelah kita menikah,"

Sayangnya, rencana tak sesuai harapan.

Niat mulia Samudra pada akhirnya terhalang restu Adipati.

Dan Aisha, memilih untuk mundur perlahan dari kehidupan Samudra sejak saat itu.

Hingga suatu ketika, Ayahanda Aisha meninggal.

Dan sejak itulah, kehidupan Aisha berubah seratus delapan puluh derajat bersama sang ibu tiri yang hendak menjual tubuhnya demi uang!

*

Samudra masih memandang langit sambil duduk menekuk lutut di tepi pelabuhan.

Menatap senja yang merona indah di atas sana.

Aisha, sedang apa kamu di sana?

Apa kamu merindukan aku?

Gumam Samudra membatin.

Samudra merasakan sepasang netranya memanas diiringi genangan air yang memenuhi kedua kelopak matanya.

Lagi dan lagi, pada akhirnya dia hanya bisa menangisi takdir.

Menangisi betapa lemahnya dia tanpa Aisha di sisinya. Betapa bodohnya dia sebagai seorang lelaki dan seorang kepala rumah tangga.

Menangisi betapa jahatnya takdir yang telah memisahkan dirinya dengan Aisha begitu cepat.

Astaghfirullah Al-adzim...

Kembali Samudra beristighfar meski hanya dalam hati saat lagi dan lagi dia harus menyalahkan takdir atas apa yang terjadi padanya. Pada hidupnya.

Bahkan setelah hampir empat tahun berlalu pasca kematian Aisha, tak sama sekali dia bisa melupakan sosok Aisha. Walau kini dia tak lagi bisa melihat raga istrinya, namun Aisha tetap hidup di dalam hati Samudra.

"Sam! Dipanggil Pak Riswan, ada barang datang katanya,"

Sebuah teriakan yang terdengar dari belakang menghancurkan lamunan Samudra.

Setelah menyeka air mata yang terlanjur meleleh di pipi, lelaki itu pun beranjak dari tepi pelabuhan untuk kembali bekerja.

Seandainya saja mengakhiri hidup itu tidak dilarang agama, mungkin Samudra sudah lebih memilih untuk menyusul Aisha ketimbang hidup dalam kehampaan dan nestapa di dunia.

Sesungguhnya, raganya memang hidup, tapi hatinya sudah lama mati.

Mati bersama kepergian Aisha yang masih menyisakan beribu tanda tanya dan misteri.

Bahkan anehnya, sampai detik ini, Samudra sendiri masih belum mengetahui di mana letak makam Aisha, sang istrinya tercintanya.

*****

Penasarankah?

Kuy di Vote dan koment ya...

Salam Herofah...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status