Pagi itu sebelum matahari muncul di ufuk timur, suasana masih terasa dingin dan sunyi. Pangeran Lucius Damien, sang pangeran muda yang berani dan berdedikasi, bersiap-siap untuk berangkat bertugas di garda depan. Lucius, yang baru saja selesai berdoa di dalam kamar, mengenakan seragam tempur hitam keemasannya dengan cekatan. Dia mengambil pedang Templar dari dinding dan memasukkannya ke sarungnya. Rambut cokelat panjangnya yang tergerai lepas, digelung ke belakang dengan tali kulit sederhana. Wajah tampan dan penuh tekad memancarkan sinar keyakinan yang tak tergoyahkan. Mata birunya yang tajam memancarkan keberanian dan ketegasan, serta semangat yang tak pernah padam. Kaki tegapnya melangkah mantap, setiap gerakan menunjukkan kesiapan dan kegigihan. Dia berjalan menuju pintu, tatapannya menatap jauh ke depan. Suasana pagi yang hening dan dingin tidak mempengaruhi tekadnya. Angin pagi yang berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang segar. Lucius menarik napas dalam
"Ya, Pangeran," jawab Kapten Aurelius, menunduk dengan hormat. Dia memberikan isyarat kepada para prajurit lainnya dan mereka mulai merapatkan formasi, mengecek senjata dan perisai mereka, serta mempersiapkan strategi. *** Di tengah kesibukan tersebut, Lucius melangkah menuju puncak bukit kecil yang menghadap ke medan pertempuran yang akan segera mereka hadapi. Angin berhembus kencang, menerbangkan rambut hitamnya. Mata birunya tajam, memandang lurus ke horizon. Dia memegang pedang peninggalan ayahnya dengan erat, merasakan beratnya di tangannya. Ini bukan hanya pedang, tapi simbol keberanian dan dedikasinya terhadap kerajaan dan rakyatnya. Ini adalah peninggalan dari seorang raja, seorang ayah, yang juga pernah berdiri di garda depan seperti ini, melawan ancaman yang mengancam kerajaan mereka. Matahari mulai naik, menerangi langit dengan cahaya emasnya. Cahaya itu menyinari wajah Lucius, memberikan semburat emas pada rambut hitam dan seragamnya. Dia tampak gagah dan berani, siap u
Malam sebelum Pangeran Lucius pergi,Adelais semakin tidak mampu menahan hatinya untuk bertemu lagi tetapi ia ingat bahwa Lucius mengatakan"Aku akan melindungi kau dan keluargamu, tapi tidak cinta kita..."Adelais memandang bayangan Pangeran Lucius di balik tirai jendela kamarnya, hatinya berdenyut-denyut dalam kerinduan. Matanya berkaca-kaca saat dia membayangkan keberangkatan pangeran di pagi hari. Ia ingin berlari, memeluknya, mengatakan betapa dalam cintanya. Namun kata-kata Lucius masih membekas dalam ingatannya, "Aku akan melindungi kau dan keluargamu, tapi tidak cinta kita..."Adelais menutup matanya, berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Dia mencoba untuk memahami alasan di balik kata-kata Lucius. Mungkin dia takut bahwa cinta mereka akan menjadi sasaran bagi musuh-musuhnya, atau mungkin dia merasa bahwa kewajibannya sebagai pangeran tidak memungkinkan dia untuk membagi hatinya antara tugas dan cinta.Namun semua alasan tersebut tidak mengurangi rasa sakit dalam hatinya. Ti
Adelais tampak kelelahan. Dia sudah tidak sanggup untuk berjalan lebih jauh lagi. Dia melihat sosok pria yang memiliki selera baju yang tinggi sedang mendekatinya dan mengatakan,"Adelais...". Seketika pria itu menciumnya di saat Adelais kehilangan kesadarannya.Adelais tampak kelelahan setelah melarikan diri dari kejaran para pembelot Templar. Namun Zaberisk merasakan aroma darah suci menggunggah hasrat vampirnya yang selama ini sudah bangkit sejak 300 tahun lalu."Adelais, beristirahatlah," Zaberisk berbicara dengan suara rendah yang menggema dari lorong bawah tanah yang gelap. Walaupun ia seorang vampir, dia tidak pernah melupakan etika dan rasa manusianya.Adelais menoleh, wajah pucatnya terbalut rasa takut dan penat. "Saya tidak bisa, Zaberisk. Jika mereka menemukan kita..."Zaberisk menghentikannya dengan satu tangan di bibirnya. "Kita akan baik-baik saja. Anda perlu istirahat. Saya akan menjaga."Dia menarik gadis itu ke pelukannya, mengatur napasnya yang terengah-engah dengan i
Ferrandus, yang duduk di kepala meja panjang, melihat para pembelot Templar yang berbaris di samping-sampingnya. Ada rasa tegang namun diimbangi dengan tekad yang kuat pada wajah setiap orang yang ada di ruangan itu. "Ferrandus, kita sudah tidak bisa lagi menunda ini," kata salah seorang dari mereka, seorang laki-laki berambut abu-abu bernama Bertrand. "Saya tahu, Bertrand," jawab Ferrandus, meraih sebuah peta besar Kerajaan Celeste yang terbentang di atas meja. "Kita harus masuk ke Celeste secepatnya. Tapi kita perlu memastikan setiap langkah yang kita ambil adalah yang terbaik." "Lalu apa rencanamu, Ferrandus?" tanya seorang wanita berjubah ungu bernama Isolde. "Rencana pertama, kita memerlukan seorang dalam. Seseorang yang sudah berada di dalam kerajaan dan bisa kita percayai," Ferrandus menjelaskan, menunjuk pada bagian dalam peta dengan jarinya. "Bagaimana kita bisa menemukan orang seperti itu?" tanya Bertrand skeptis, menggaruk jenggotnya. "Ada beberapa kontak yang bisa kit
"Aku akan memasuki istana sebagai pelayan. Dan kalian bisa melakukan pendekatan pada Raja Edmund Celeste. Dia hanyalah seorang pria tua-" sambil menjilati sepanjang gigi, Vivienne memberikan pengaruh kuat vampir yang baru saja diterimanya dari Tuan Muda Nocturnus. *** Vivienne, dengan wajah yang dipenuhi keberanian dan semangat, terus menjelaskan rencananya. Kamar yang dipenuhi teman-temannya hening mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Mereka semua tahu, dia akan mengambil risiko yang sangat besar. "Jangan lupa," kata Vivienne sambil mengangkat jarinya, "kita harus hati-hati. Raja Edmund mungkin tua, tapi dia cerdik. Dia tidak akan menjadi raja jika dia mudah ditipu. Dan dia tentu saja tahu tentang kita, kaum vampir." Sebuah bisikan gelisah menyebar di antara teman-temannya. Tapi tidak ada yang menyangkal atau menentang. Mereka semua tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mereka mempengaruhi kerajaan dan membantu kaum mereka. "Saya berharap kalian semua memahami
Elizabeth mendengar bahwa utusan Templar menemui Ayahandanya untuk melakukan pernikahan. Elizabeth merasa cemas dan bingung mendengar berita tersebut. Kedatangan utusan Templar mengindikasikan sesuatu yang besar, dan pengaturan pernikahan oleh Ayahandanya pasti melibatkan alasan politik atau strategis. Elizabeth bertanya-tanya siapa pasangan yang telah dipilih Ayahandanya untuknya. Apakah dia seorang ksatria Templar? Atau mungkin dia anggota keluarga kerajaan lainnya yang memiliki hubungan dengan Templar? Dia merasa tidak nyaman dengan gagasan pernikahan yang diatur, tetapi dia juga tahu bahwa sebagai seorang putri, dia mungkin harus menyerah pada keinginan Ayahandanya untuk kebaikan kerajaan. Namun, Elizabeth juga berpikir bahwa dia mungkin bisa menggunakan situasi ini untuk keuntungannya. Jika suaminya adalah seorang ksatria Templar atau memiliki hubungan erat dengan mereka, dia bisa memanfaatkan posisi itu untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan pengaruh dalam politik dan
Para pendengar, yang berjumlah sekitar dua lusin, memandang Vivienne dengan campuran rasa takjub dan takut. Mereka adalah sekelompok manusia dan vampir, yang semuanya berkumpul dengan tujuan yang sama: merubah dunia mereka. Ada cahaya di mata mereka, cahaya yang ditempa oleh ketakutan dan harapan, yang membuat Vivienne merasa bersemangat dan berani. Vivienne adalah seorang vampir baru, dicap oleh Tuan Muda Nocturnus sendiri, seorang pemimpin kuat dalam dunia vampir. Dengan pengaruhnya, ia yakin bahwa dia dapat membawa perubahan yang sangat dibutuhkan. Vivienne pernah menjadi pelayan pribadi Raja di istana Celeste, tempat dia diperlakukan tidak lebih baik daripada budak. Namun, sekarang, dengan memori Adelais yang telah dipindahkan oleh Zaberisk, dia memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan baru ini. Setelah beberapa detik menatap pendengar, Vivienne bergerak. Dengan langkah pasti dan percaya diri, dia memasuki istana, siap untuk melaksanakan r