Share

Enam

MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6)

****

Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai.

"Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya.

Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika.

"Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan.

Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebuah kain hitam tergeletak di atas lantai, dekat dengan tempat tidur putrinya. Ia mengerutkan alis. Seingatnya, Antika tak pernah menyimpan kain atau pakaian berwarna hitam sebab ia tak suka warna yang gelap.

"Ayo, Bu. Sudah ditunggu Bapak." panggil Alfi yang menarik tangan Ibunya.

Darsinah berusaha melupakan kain tersebut, ia akan memeriksanya nanti setelah pulang dari rumah sakit. Yang terpenting untuk sekarang adalah keselamatan menantunya.

****

Suasana koridor ruang gawat darurat dipenuhi oleh keluarga besar Andaru dan juga Antika. Wajah lelah dan penuh harapan terlihat pada semua orang yang menunggu dengan cemas. Darsinah terus memeluk Muliani yang masih terisak.

"Dia akan baik-baik saja, Jeng. Teruslah berdoa, doa seorang Ibu akan menembus ke langit." lirih Darsinah menguatkan hati besannya.

Muliani mengangguk lemah, tak terbayangkan jika harus kehilangan Andaru. Luka hatinya masih basa karena baru saja ditinggalkan secara tiba-tiba oleh menantu kesayangannya.

"Saya tidak akan kuat, Jeng, kalau Andaru sampai pergi menyusul, Tika." ucap Muliani sendu.

Darsinah segera menggeleng, "Tidak akan. Andaru masih bersama kita semua. Dia tidak akan kemana-mana." sergahnya cepat.

Dua perempuan itu kembali menguatkan satu sama lain. Cukup kehilangan satu anak, ia tak mau kehilangan anak yang lain. Muliani yang lemas, hanya bisa pasrah. Ia terus berdoa agar Andaru bisa melewati masa kritisnya.

Seorang dokter yang menangani Andaru keluar dari ruangan, ia melepas masker yang menempel di wajahnya. Terlihat raut wajahnya begitu letih. Muliani dan Darsinah berdiri, tak butuh waktu lama dokter itu telah dikerumuni oleh pihak keluarga yang sudah menunggu.

"Bagaimana kondisi putra saya, Dok?" tanya Muliani.

Dokter itu tersenyum, "Alhamdulillah. Pasien baik-baik saja. Hanya ada sedikit cedera di bagian lehernya. Beruntung lekas dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan yang tepat."

Terdengar ucapan puji syukur, wajah Muliani dan Darsinah yang tegang perlahan mengendur.

"Menurut hasil pemeriksaan, pasien tergantung di udara sekitar satu menit. Itu sebabnya pasien tidak mengalami gejala kerusakan otak sebab kurangnya pasokan oksigen. Namun ...," dokter itu terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Namun apa, Dok?" tanya Darsinah tak sabar.

"Pasien sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri sebelum kejadian." lanjutnya.

Semua orang terperangah. Darsinah menutup mulut dengan tangan. Rahman yang sejak tadi hanya diam segera maju, ia menepuk bahu dokter itu dengan ekspresi tidak percaya.

"Jadi, menurut Pak Dokter menantu saya tidak berniat bunuh diri? Dia dibuat seolah-olah akan bunuh diri, begitu?" rahang lelaki itu mengeras.

Dokter itu mengangguk, "Bisa dibilang begitu, Pak. Saya sudah mengecek jika tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Tapi, untuk menunggu hasil yang lebih pasti, kita tunggu besok saja saat hasil visumnya sudah keluar." jelasnya panjang lebar.

Semua orang saling berpandangan. Darsinah mundur perlahan, ia terduduk di bangku dengan wajah pucat pasi.

Jika Andaru tidak berniat bunuh diri, lantas siapa orang yang ingin melenyapkan nyawa menantunya? Apakah orang itu sama dengan dalang dibalik kematian putrinya?

Beribu pertanyaan muncul dalam benak Darsinah. Semuanya menjadi lebih rumit.

"Ibu baik-baik saja?" Denok mendekati Ibunya. Tak tega melihat Darsinah yang tentu sangat terpukul.

Darsinah hanya diam, ia masih larut dengan pikirannya sendiri. Gadis yang usianya hanya terpaut dua tahun dibawah Antika itu memijat lengan Ibunya lembut. Cobaan untuk keluarganya begitu berat. Ia baru saja kehilangan kakak pertamanya, dan kini harus mendengar jika kakak iparnya mengalami kasus percobaan pembunuhan.

"Bu Darsinah, biar saya yang menjaga Andaru dan Ibu. Sebaiknya, Ibu pulang dan beristirahat."

Seorang perempuan berusia 30 tahun berjongkok didepan Darsinah. Dia adalah Widara, kakak perempuan Andaru.

"Bu Darsinah pasti sangat letih." lanjutnya yang diikuti anggukan Denok.

Darsinah menatap lekat, ia ingin menolak namun Denok segera menarik tangannya, "Mbak Widara benar, Bu. Ibu juga harus menjaga kesehatan."

Akhirnya Darsinah hanya bisa menurut. Ia pulang ke rumah setelah memastikan kondisi Andaru baik-baik saja, dan berpamitan pada besannya. Darsinah berjanji akan datang kembali keesokan pagi.

****

Kumandang azan subuh terdengar saat mobil memasuki pekarangan rumah. Beberapa orang yang tak ikut segera berdiri ketika melihat seluruh penumpang turun dari mobil. Mereka semua bernapas lega saat mengetahui Andaru baik-baik saja. Darsinah sendiri bergegas masuk ke dalam rumah, ia ingin memastikan kain hitam yang ada di kamar Antika.

"Mau kemana, Bu?" tanya Rahman melihat Darsinah yang akan masuk ke dalam kamar mendiang putri mereka.

"Ada yang harus Ibu pastikan, Pak. Tadi terlalu panik, sehingga Ibu tidak memperhatikan tali apa yang digunakan orang tersebut untuk menggantung tubuh menantu kita." jawabnya tegas.

Sepasang suami-istri itu segera masuk bersamaan. Seutas kain jarik hitam masih menggantung di tiang kayu plafon kamar Antika. Darsinah bergidik ngeri membayangkan Andaru yang tergantung di atas sana. Tak ada kursi atau tangga. Sungguh membingungkan, batin Darsinah. Bagaimana cara orang tersebut menggantung tubuh Andaru sedang jarak antara lantai dan jarik itu lumayan tinggi?

"Biarkan saja, Bu. Siapa tau Bu Muliani mau membawa kasus ini ke ranah hukum. Biar aparat berwajib yang memeriksa ruangan ini. Bapak takut ada sidik jari yang melekat disana. Ibu juga tidak mau, 'kan, secara tidak sengaja merusak barang bukti?" tahan Rahman ketika melihat Darsinah akan mendekati kain jarik itu.

Darsinah berhenti. Ia lantas menyapu ke segala penjuru kamar.

"Mana kain hitam tadi?" tanyanya.

Rahman menaikkan satu alisnya, "Kain apa, Bu?"

Darsinah berbalik, "Kain hitam yang ada di lantai, Pak. Sebelum berangkat Ibu sempat melihat ada kain hitam tergeletak di atas lantai. Ibu yakin itu bukan milik Tika, anak kita tidak menyukai warna gelap. Ibu juga tidak pernah menyimpan benda seperti itu, jarik ini juga." Darsinah menunjuk kain jarik yang seolah bergerak pelan di atas sana.

Rahman mengikuti arah telunjuk sang istri. "Tidak ada kain hitam, Bu. Apa mungkin Ibu salah lihat?"

Darsinah mengepalkan tangannya, ia benar-benar yakin jika melihat seonggok kain hitam sebelum menutup pintu.

"Sepertinya, siapapun yang ingin mencelakai Andaru ada hubungannya dengan kematian Antika. Jika dugaan Ibu benar, maka orangnya ada disekitar kita." ucapnya penuh amarah.

Rahman segera menangkup wajah istrinya, "Bu, hati-hati saat berbicara. Itu sama saja Ibu menuduh keluarga sendiri. Tidak baik berprasangka buruk apalagi kita tidak punya bukti apa-apa."

Darsinah memalingkan wajahnya, ia menatap Rahman lekat dengan sorot mata tajam. "Ibu tidak akan berhenti sampai menemukan siapa pembunuh Antika! Siapapun akan Ibu curigai, bahkan Bapak sekalipun!"

Rahman terkejut mendengar ucapan sang istri. Lelaki itu mundur satu langkah, wajahnya berubah menjadi pucat seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status