MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (5)
****Andaru terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan matanya. Jam dinding menunjukkan jika pagi masih lama. Tubuhnya sakit, matanya terasa bengkak.“Tika?” lirihnya.Tak ada sosok Antika, tangan-tangan dengan kuku tajam yang menggelepar di atas lantai kamar, atau genangan darah. Jendela pun masih dalam keadaan tertutup rapat.“Apa tadi aku bermimpi?” tanya Andaru bermonolog.Ia akan berbalik untuk naik ke tempat tidur saat matanya menangkap sosok putih berdiri tegak dihadapannya. Andaru terkejut hingga kembali terduduk.“A-astaga, Bu. Ibu mengagetkanku.” Ucap Andaru merasa lega saat mengetahui jika yang berdiri dihadapannya adalah Darsinah yang tengah menggunakan mukena putih.“Apa yang kamu lihat?” tanya Darsinah dengan wajah datar.Lelaki itu menggeleng, ia meremas piyama istrinya. “Ti-tidak ada, Bu.” jawabnya.Darsinah masih mematung dihadapan anak menantunya, “Katakan saja apa yang kamu ketahui, Ru. Itu akan membantu Ibu mencaritahu siapa pembunuh Antika.” Gumamnya.“Aku bermimpi di datangi oleh, Tika, Bu. Dia menangis dan meminta tolong. Saya benar-benar merasa gagal sebagai suami sebab tidak bisa melindunginya.” Lelaki itu menunduk, air matanya kembali mengalir.Darsinah bergeming.“Maka dari itu sebagai bukti cintamu pada Tika, bantu Ibu mencaritahu siapa dalang dibalik kematiannya. Apa sebenarnya yang orang itu inginkan sehingga tega melenyapkan Antika dengan cara tak manusiawi seperti itu.”Andaru menelan ludah. Ia kini memperhatikan Darsinah yang berjalan menuju kamar mandi. Kebetulan, kamar ini memiliki kamar mandi pribadi. Mungkin, Ibunya ingin salat di dalam kamar Antika, pikirnya. Setelah pintu tertutup, Andaru menguatkan diri untuk bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia menyeka air mata dengan piyama istrinya.Apa benar Antika terkena ilmu hitam? Jika iya, siapa orang tersebut? Mungkinkah ia mengenalnya?Pikiran Andaru carut-marut, ia menyugar rambutnya kasar. Sekitar lima menit menunggu, Darsinah tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi. Sebuah perasaan tak nyaman menyelinap ketika Andaru melirik ke arah pintu kamar. Kunci dengan gantungan boneka hello kitty berukuran mini masih tergantung pada lubangnya. Bukankah dirinya mengunci pintu sebelum pamit untuk tidur?Keringat membasahi wajah dan punggung lelaki itu, kalau begitu bagaimana cara Ibu mertuanya masuk sementara kamar dikunci dari dalam? Meski memiliki kunci serep, pintu itu tak akan terbuka sebab Andaru sengaja tak mencabut kuncinya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, lelaki itu berjalan mendekati kamar mandi. Terdengar suara gumaman mirip orang yang sedang bersenandung dari dalam sana.Suara itu tak begitu jelas, sehingga Andaru memutuskan untuk menempelkan daun telinga pada pintu kamar mandi.Hening.Tak ada suara sama sekali. Ia menyeka keringat yang mulai menetes dari dahi. Setelah yakin jika Ibu mertuanya tidak mungkin ada di dalam kamar mandi, ia nekat membuka pintu dengan satu gerakan cepat. Benar saja, kamar mandi itu kosong. Tak ada sosok Darsinah di dalam.“Ada apa ini, Ya Allah?” tanya Andaru.Ia berbalik, dan kembali dikejutkan dengan sosok yang tengah menggunakan jubah hitam di pojok ruangan. Ia tak bisa melihat wajah dibalik jubah itu sebab kepalanya ditutup oleh sebuah tudung dengan warna senada. Tangannya memegang wadah berisi dupa berbau wangi. Andaru mengerutkan alis, bukankah itu mirip sosok orang yang ada di belakang Antika tadi?“Hey, siapa kamu?” seru Andaru.Sosok itu tampaknya menyadari Andaru, namun bukannya takut ia justru mendekat. Aroma dupa yang menyengat memenuhi indra penciumannya. Ia mencoba mencubit diri sendiri, memastikan jika apa yang tengah dialaminya bukanlah mimpi semata.Sakit!Ini bukan mimpi. Andaru akan maju menghampiri sosok itu, namun kakinya terasa berat untuk melangkah. Lagi-lagi, ia hanya bisa diam sampai sosok dengan jubah dan tudung itu berhenti tepat dihadapannya. Sosok itu mengulurkan sebuah wadah yang mengepulkan asap tipis, gerakannya seolah meminta agar Andaru melihat apa isi yang ada di dalamnya.Awalnya lelaki itu ragu, namun ucapan Darsinah tentang Antika yang meninggal secara tidak wajar segera terlintas. Apa mungkin, ini ada hubungannya dengan kematian istrinya?Andaru cepat-cepat melihat apa yang ada di dalam wadah, namun ia begitu terkejut saat mendapati sepotong daging yang berdenyut-denyut di dalam sana. Sosok berjubah itu seperti tertawa, namun ia tak mengeluarkan suara sama sekali. Lelaki yang telah dikuasai emosi itu mengepalkan tinju. Jika sosok dihadapannya adalah dalang dibalik kematian Antika, maka ia benar-benar tidak akan memberi ampun.Dengan seluruh sisa kekuatan yang ia miliki, Andaru mencoba bergerak. Ia menerjang sosok itu dan menarik kuat tudung yang menutupi bagian kepalanya. Namun, tak ada siapapun. Tudung beserta jubah itu jatuh ke atas lantai. Terdengar suara tawa yang keras, Andaru berputar mencari dari mana asal suara tawa itu, namun ia tak menemukan apapun atau siapapun.“Keluar kau sialan! Lawan aku!” pekiknya histeris.Sebuah kekuatan tak kasat mata terasa menabrak Andaru hingga ia hampir terjatuh. Punggungnya membentur pintu kamar mandi. Ia sempat menoleh ke belakang saat tubuhnya limbung. Sesuatu lantas terasa mencengkeram lehernya, membuatnya tak bisa bernapas. Pelan tapi pasti, lelaki itu bisa merasakan jika kakinya tak lagi menapak lantai. Ia ... melayang!Andaru berusaha melawan, namun perlawanannya sia-sia karena ia tak bisa melihat apapun yang kini tengah mencekik lehernya. Pandangannya mulai kabur seiring berkurangnya pasokan oksigen yang bisa ia hirup. Lehernya terasa sangat sakit. Kegelapan kini menyelimutinya.Tok! Tok! Tok!Dalam gelap yang pekat Andaru bisa mendengar suara ketukan pintu. Disusul dengan suara orang yang memanggil namanya berulang kali.“Dobrak saja!” teriak seseorang.Tak lama, Andaru bisa mendengar suara keributan.“ALLAHU AKBAR!”Suara-suara berisik itu bersahut-sahutan, orang-orang menyebut nama Allah dan namanya bergantian, sedang hal yang terakhir Andaru ingat adalah sensasi pelukan dan tarikan kuat pada tubuhnya.****Darsinah tak bisa tidur sama sekali, murrotal yang terdengar melalui telepon genggam miliknya tidak bisa membuat hatinya merasa tenang. Kehilangan Antika menjadi pukulan telak yang hampir berhasil merenggut kewarasannya.“Tidurlah walau hanya satu jam, Bu.” Rahman mengelus pundak Darsinah.Lelaki itu duduk di atas karpet beludru. Darsinah hanya diam, ia melirik dua anaknya yang lain. Denok dan Alfi memilih tidur di dalam kamarnya. Ada rasa bersalah dalam hati Darsinah melihat dua anaknya yang terlelap dengan mata yang membengkak. Mereka pasti juga sangat kehilangan, apalagi Antika begitu menyayangi adik-adiknya.“Tika pasti merasa kesepian, Pak. Ibu ingin menemaninya.” Ucapan itu meluncur bebas dari mulut Darsinah.Rahman mengangkat alis, “Bu, Istigfar. Jangan mengucapkan hal seperti itu. Tika pasti sedih jika melihat Ibu begini.” Lirihnya.Rahman juga kehilangan. Antika adalah putri yang selalu ia banggakan. Ia tak pernah membandingkan ketiga buah hatinya, namun Antika memiliki tempat khusus dalam hatinya.“Kita semua kehilangan, tapi kita tidak boleh membuat jalan Antika menjadi semakin berat dengan cara menyesali kepergiannya, Bu.” kali ini Rahman membelai puncak kepala Darsinah. Rambutnya yang mulai ditumbuhi uban itu tampak kusut.“Siapa yang sudah membuat Antika begitu, Pak? Apa yang sudah Antika kita lakukan sehingga ada orang yang tak menyukainya?” tanya Darsinah terisak.Rahman tak bisa menjawab, karena sebagai Ayah Antika, ia juga bertanya-tanya. Siapa yang sudah menyakiti putrinya dengan cara sekejam itu?“Sebaiknya kita salat malam saja, Bu. Siapa tau dengan begitu hati Ibu akan sedikit lebih lapang. Apapun yang terjadi, kita harus mengikhlaskan, Tika.” Usul Rahman.Darsinah menghapus air matanya, ia lalu bangkit dan berjalan keluar dari kamar. Rahman mengikuti sang istri. Perempuan yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu berdiri mematung di depan kamar Antika.“Mau apa, Bu? Di dalam ada Ndaru. Biarkan dia menghabiskan malam di dalam kamar Tika. Dia juga punya hak.” Ucap Rahman ragu.“Ibu mau pakai mukena Tika, Pak. Tolong bangunkan Ndaru.”Rahman tak tega melihat ekspresi kesedihan Darsinah, ia akhirnya menuruti ucapan istrinya dan mulai mengetuk pintu kamar. Tak ada sahutan, namun telinganya bisa mendengar jika sepertinya ada yang tengah berbicara di dalam kamar. Apa Andaru tidak sendirian?“Pintunya dikunci, Bu.” gumam Rahman.Darsinah melirik ke arah kursi plastik yang berada tak jauh dari mereka. Ia berinisiatif untuk mengintip dari celah ventilasi. Dengan berhati-hati ia meletakkan kursi di depan pintu.“Coba intip, Pak.” pinta Darsinah.Rahman mengucapkan Bismillah, lalu pelan-pelan menaiki kursi. Setelah dirasa aman, ia mulai mengintip. Kamar Antika dalam keadaan remang-remang sehingga agak sulit melihat dengan jelas. Ia mulai bergerak untuk melihat sisi yang lain.Mata lelaki itu melotot ketika melihat sesuatu yang tidak mengerikan. Menantunya itu tengah tergantung tepat di depan kamar mandi. Matanya terpejam dengan lidah terjulur keluar, tubuhnya persis menghadap ke arah ventilasi!MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (6) ****Rahman merengkuh tubuh menantunya dengan cepat setelah menggunting kain hitam yang melilit bagian lehernya, lelaki itu panik bukan kepalang. Ruangan tersebut menjadi riuh karena keluarga yang masih terjaga penasaran dengan kondisi Andaru. Muliani histeris melihat tubuh putranya yang sudah dibaringkan ke atas lantai."Masih bernapas, cepat hidupkan mobil!" pekik Rahman yang baru saja mengecek Andaru dengan cara memeriksa urat nadi dan menempelkan telinga pada bagian dada kirinya. Jantungnya masih berdetak meskipun terdengar begitu pelan. Semua kembali panik, beberapa anggota keluarga berusaha menggotong tubuh Andaru, Darsinah sendiri hanya bisa mendoakan agar menantunya baik-baik saja. Ia sadar, jika memang bukan dirinya saja yang kehilangan Antika. "Cepat bawa ke rumah sakit!" pekik seseorang yang tak ia perhatikan. Adik-adik Antika turut serta mengantar kakak iparnya. Darsinah menutup pintu kamar, namun sejurus matanya terpaku melihat sebu
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (7) ****"Bu! Cukup!"Suara bariton Rahman memecah keheningan. Darsinah sendiri terkejut mendapat bentakan dari suaminya. Seketika wajah Rahman berubah menjadi merah, napasnya memburu. Denok dan Alfi yang mungkin baru akan menunaikan ibadah salat subuh berlarian menghampiri orang tua mereka. "Hentikan semua ini, Bu! Bapak tau sekali, kalau Ibu sangat kehilangan. Bapak juga sama, Bu! Tika itu anak Bapak, darah daging yang Bapak besarkan sepenuh hati. Mana mungkin Ibu bisa menuduh Bapak yang telah melenyapkan anak sendiri?" suara lelaki itu bergetar, ia mengepalkan tinjunya kuat. "Kalau selama ini Ibu berpikir jika Bapak abai pada anak-anak, Ibu salah besar! Ibu tau sendiri, Bapak jarang di rumah karena pekerjaan Bapak. Bapak mati-matian mencari uang demi kalian semua, agar Ibu dan anak-anak hidup sejahtera. Tidak kekurangan sama sekali. Ibu juga tau kalau Bapak tak pandai menunjukkan rasa kasih secara terang-terangan, tapi itu bukan berarti Bapak tida
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (8) ***Alfi memperhatikan Rahman, lelaki kesayangannya itu baru selesai mengambil wudu. Wajahnya terlihat sangat letih, kantung matanya menghitam sebab kurang beristirahat. "Bapak mau minum kopi? Setelah salat, Alfi buatkan." tawar pemuda berusia 17 tahun itu. Rahman menatap anak lelaki satu-satunya itu penuh kasih. Ia berusaha tersenyum meski perasaannya masih dipenuhi kekecewaan atas ucapan Darsinah tadi. "Memang sudah bisa bikin kopi sendiri?" godanya. Alfi menggaruk belakang telinga, "Ya, bisa, Pak. Tapi jangan harap seenak buatan Ibu, Mbak Tika, atau Mbak Denok." ia terkekeh pelan. Rahman mengusap puncak kepala Alfi, ia tau betul jika putra bungsunya hanya berusaha mendinginkan suasana. Wajah Alfi tampan, ia begitu mirip dengan Antika. Hanya berbeda bentuk hidungnya saja, sebab ia memiliki hidung yang persis dengan Darsinah "Boleh. Bapak mau. Ayo kita salat, Le." ajaknya. Alfi bergeming. Rahman yang sudah berjalan duluan berhenti dan meno
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (9) ****Seperti remaja pada umumnya, Alfi sendiri memiliki emosi yang meledak-ledak. Ia refleks akan memu-kul sosok yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. Sayang, pukulannya itu tembus hingga tubuh Alfi justru jatuh menghantam lantai. Ia mengaduh, dan mulai mengumpat sosok tersebut. "Fi? Kamu ngapain?"Suara lembut Antika mengejutkan Alfi. Kakak pertamanya itu, kini berdiri di depan kamarnya dengan raut wajah heran. Alfi segera bangkit, ia mengedarkan pandangan mencari sosok mengerikan yang tadi mengagetkannya. Antika berjalan mendekati adik bungsunya. "Cari apa?" tanyanya lagi. Pemuda itu mengambil jarak, takut jika itu adalah sosok yang sama, namun sekarang menyerupai Antika. Antika yang melihat tingkah adiknya yang terasa aneh itu berusaha mendekat. "Kamu, ini kenapa?" "Ini Mbak Tika, kan?" bukannya menjawab, pemuda itu justru balik bertanya. Antika terkekeh pelan, ia menjauhi Alfi dan membuka pintu kulkas. Tangannya mengambil sebotol a
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (10) ****Jam menunjukkan setengah lima sore saat Alfi masuk dengan tergesa, ia mencari sosok Antika yang tak ada dimana-mana. Alfi lantas nekat membuka pintu kamar kakak pertamanya. Pintu tidak terkunci, Alfi mengintip dam segera bernapas lega saat melihat Antika tengah duduk di atas sajadah. Ia baru akan melangkah masuk saat sosok Antika yang ada di tengah kamar berdiri dengan gerakan yang patah-patah. Mukena yang ia kenakan juga terlihat aneh karena berwarna hitam. "Mbak Tika?" panggil Alfi. "Hm," jawab sosok itu dengan suara serak. Alfi bisa segera tau jika itu bukanlah kakaknya. Ia akan lari, namun kakinya terasa berat. Seolah ada yang menahannya untuk tetap berdiri disitu. Sosok di dalam kamar mulai menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Tangannya terangkat, lantas kakinya menghentak ke lantai. Bau busuk menyeruak, Alfi melotot karena aroma itu benar-benar terasa menyiksa indra penciumannya. Tangannya masih memegang gagang pintu. Ia tak
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (11) ****Andaru hanya menatap lurus ke depan, sedang disebelahnya Muliani duduk sambil membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sejak siuman, lelaki itu tak bicara sama sekali. "Kuatkan imanmu, Le. Kamu jangan pernah berpikiran untuk meng-habisi nyawamu sendiri. Kasihanilah Ibumu ini, Nak," ucap Muliani setelah menyelesaikan bacaannya. Ia meletakkan Al-Qur’an di atas tangan Andaru. Lelaki itu bergeming. "Wida, Ibu mau membeli sarapan. Siapa tau adikmu nggak akan suka makanan dari rumah sakit. Temani dia, ya?" pinta Muliani. Widara beringsut dari tempat tidur yang kosong, dalam ruangan kelas tiga itu tak ada pasien lain selain adiknya. "Ibu duduk saja, biar Wida yang pergi.""Tidak usah. Ibu ingin menghirup udara segar. Temani Andaru." sergahnya. Widara hanya mengangguk, ia duduk di kursi yang tadi ditempati oleh sang Ibu. Sepeninggal Muliani, kedua kakak-beradik itu sama-sama terdiam. Andaru masih setia menatap tembok putih polos yang ada dihadapann
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (12) ****"Assalamualaikum, Denok Pramudita?"Suara Umi Fatimah terdengar hingga ke ruang tengah. Denok yang kini telah dikelilingi beberapa wanita terus menggeram. Tubuhnya kaku terlilit oleh mukena yang begitu sulit untuk dilepaskan. Seolah menyatu dengan kulitnya.Beruntung seseorang lekas menemui Ustaz Saleh saat Darsinah panik dan meminta pertolongan. Kamar di dobrak oleh keponakan Darsinah. Semua terkejut melihat Denok dalam keadaan seperti itu di atas kasur. Awalnya mereka mencoba merobek kain dengan cara mengguntingnya, namun Denok menjerit histeris dan darah mengalir dari bekas guntingan kain yang terbuka sedikit. Ustaz Saleh juga mengajak Ibunya. Mereka sudah mendengar kabar kematian Antika, bahkan datang untuk mendoakannya. Denok tak menjawab salam Umi Fatimah, ia terus melotot menatap ke arah langit-langit rumah. Umi Fatimah berusaha menenangkan Darsinah yang sejak tadi hanya bisa menangis. Perempuan itu takut jika harus kehilangan anak u
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (13) ****Denok terdiam memandangi langit kamarnya, sesekali ia menoleh pada dua perempuan yang ada disebelahnya. Tini dan Nur, masing-masing adalah istri dari saudara Darsinah. Tubuhnya terasa menggigil meskipun sudah diselimuti beberapa lapis kain sarung. "Kamu masih dingin, Nok?" tanya Tini, khawatir. Denok mengangguk pelan. Tini meminta agar Nur pergi mengambil apapun yang bisa digunakan untuk menyelimuti gadis itu. Darsinah sendiri sejak tadi belum kembali dari ruang tengah. Katanya, mereka akan merundingkan permasalahan yang muncul sejak Antika meninggal dunia. "Kamu tadi kenapa, Nduk?" Tini menatap Denok lekat. Ia sesekali mengurut lengan keponakannya lembut. Denok berusaha mengingat, namun yang bisa ia tangkap hanyalah kejadian saat sepasang kaki itu melayang dan berusaha masuk ke dalam mulutnya. Ia bergidik ngeri membayangkan aroma busuk saat telapak kaki itu ada di depan matanya. "Kami semua takut sekali, Nduk. Apalagi, Mbakmu baru saja