Tiga tahun yang lalu.
Tok! Tok! Tok!
Penghuni Kontrakkan yang baru datang dua hari yang lalu itu saling pandang.
Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Le*, tolong dibuka pintunya!" perintah Kyai Sholeh pada Umar, putranya yang baru berumur 18 tahun.
"Nggeh, Abi," jawab Umar.
Remaja yang baru pulang dari pesantren itu berdiri menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
Ia membuka hordeng jendela kaca ruang tamu, tapi tidak terlihat siapapun di sana."Abi, tidak ada siapa-siapa di luar!" teriak Umar sedikit keras, agar yang di ruang keluarga terdengar.
"Ya, sudah kalau begitu. Tidak usah dibuka!" jawab Abinya.
Baru saja Umar hendak meninggalkan ruang tamu, terdengar lagi ketukkan pintu yang semakin nyaring.
"Buka saja, Le!" seru Abinya.
"Nggeh!" jawab Umar, seraya membalikkan tubuh kembali ke arah pintu.
Cklek!
"Wussss!" hembusan angin malam menerpa wajah remaja yang lulus pesantren Aliyah itu.
Dingin, itu yang dia rasakan. Bulu tengkuknya meremang sedikit menggigil.
Ia mengamati setiap sudut teras dan halaman, tapi tidak menemukan seorangpun pelaku ketukan pintu. Satu hal lagi matanya melihat jelas gembok pagar terkunci. Jadi bagaimana bisa ada yang mengetuk pintu?
Umar kemudian menutup pintu.
"Tidak ada siapa-siapa, Bi. Bahkan pagarnya masih terkunci!" kata Umar memberi tahu.
"Astaghfirullah!" ucap Abi dan Umi serempak. Mata mereka berdua melihat ke arah Umar dengan mata membeliak terkejut. Remaja itu bingung apa yang salah dengannya.
"Ada apa, Bi?" tanya Umar.
"Jangan menoleh!" teriak Abi.
"Umi! Baca ayat kursi dan semua ayat Al-Qur'an yang dihafal!" Abi memerintahkan istrinya yang tengah mengandung 8 bulan.
"Umar! baca juga ayat kursi dan mu'awidatain! Lanjutkan kemudian dengan surat-surat yang kamu hafal, jangan berhenti membaca sampai Abi suruh menyudahinya!" suruh Abi pada Umar.
Segera anak remaja itu melantunkan ayat-ayat Allah serempak dengan bacaan Umi. Sedang Abi berlari ke arah dapur sementara mulutnya juga tidak henti melafalkan Al-Qur'an yang ia hafal di luar kepala. Mahluk hitam seperti jelaga dengan mata merah membara mulai gelisah, ia tidak mampu menyentuh Umar apalagi merasukinya, begitupun pada wanita hamil di ruangan ini. Semua orang dalam rumah ini masing-masing memiliki benteng yang kuat memagari raga. Ia mulai melampiaskan kemarahannya dengan benda yang ada di dalam ruangan. Figura dan jam dinding hancur dilibasnya dengan hembusan badai angin yang muncul dari mulutnya.
Umi dan Umar berpegangan pada besi penyangga tangga, agar tidak mudah terpelanting oleh badai ciptaan makhluk penjaga rumah ini.
Sempat terhenti bacaan mereka manakala Umi nyaris terjerembab. Kesempatan itu digunakan oleh sosok hitam mendekati Umar untuk menancapkan cakarnya ke punggung anak remaja yang sedang membungkuk untuk menolong Uminya yang terduduk.
Detik-detik genting itu hampir saja tidak terelakkan. Tiba-tiba Abi muncul dengan sebilah parang di belakang sang makhluk hitam.
"Bismillah wabikalimatillahi romaytu! Allahu Akbar!" Parang Abi melukai punggung makhluk legam. Lolongan pilu melengking keluar dari mulutnya. Abi mundur lima langkah.
Spontan ia membalikkan badan ke arah Kyai Sholeh, matanya semakin melotot merah, kemarahannya berapi-api, ia tidak peduli dengan rasa sakit dan panas membakar tubuhnya, dia melompat maju untuk membalasnya. Ketika sosoknya siap menerkam di udara.
"Bismillah! wa maa romayta idz romayta walakinnallaha roma! Hasbiyallahu wani'mal wakil. Ni'mal maulaa wani'mal Wakil!" Teriakan Kyai Sholeh diiringi tebasan parang mampu menyabet kaki kanan makhluk hitam itu.
"Aaargh! Auuum! ngik!" Seketika ambruklah ia, mengerang kesakitan, tubuh legamnya berubah asap pekat mengecil mencari lubang udara tapi tak menemukannya. Terus berputar-putar di plafon mencari jalan keluar.
Bagi makhluk itu selain luka bacok yang menimpanya, udara rumah ini terlalu panas memanggang tubuhnya akibat dari lantunan ayat-ayat suci yang tidak berhenti dibaca.
Abi atau disebut juga Kyai Sholeh membukakan pintu. Ia memahami gerakan makhluk itu yang terus berusaha membenturkan diri ke atap-atap.
"Keluarlah! dan jangan pernah kembali!" perintahnya.
"Aku akan kembali untuk balas dendam!" suara seperti radio rusak menggema sebelum asap terlihat meninggalkan ruangan.
Asap pekat itu keluar melalui pintu lenyap di antara dedaunan dan ranting pohon belimbing depan rumah tempat selama ini dia bersemayam mengintai siapapun di sekitar situ.
"Umi tidak apa-apa?" tanya Abi pada ibu tiri Umar. Ya, wanita yang tengah mengandung itu adalah istri kedua dari Kyai Sholeh yang baru dua tahun lalu dia nikahi setelah lama menduda.
"Sepertinya tidak apa-apa," jawab Umi tersenyum, agar suaminya tidak khawatir.
"Umar sebelum tidur jangan lupa wudhu dan baca ayat kursi serta mu'awidtain lalu do'a tidur supaya jin tadi tidak mengganggumu dalam mimpi!" kata Abi pada putranya.
"Nggeh, Abi," jawab Umar sopan, lalu menaiki tangga, hanya dirinya yang tidur di atas. Umi dan Abi tidur di lantai kamar bawah yang tidak terdapat dipan jatinya. Karena dipan itu kurang luas buat berdua.
Sementara itu si makhluk gaib tengah mengerang kesakitan lantaran luka di bagian punggung dan kakinya. Luka kaki akan menimbulkan cacat selama sisa umurnya hingga nanti datangnya kiamat.
Selama beberapa waktu ke depan mustahil baginya mengusir lewat kekerasan. Namun untuk masuk ke alam bawah sadar para penghuni rumah yang ia jaga ini juga mustahil, jika tiap malam menjelang tidur mereka membentengi diri dengan wudhu dan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an.
Dari pohon belimbing inilah sepasang matanya mengintai apa yang dilakukan para penghuni kontrakkan. Siap siaga mencuri kesempatan.
Jika ketiga orang itu sulit dicelakai, maka makhluk jelaga itu mengincar anak yang dikandung istri Kyai Sholeh. Ia menunggu kelahiran sang bayi.
________
note:
Le* asal kata dari tole sebutan untuk anak laki-laki suku jawa.Satu bulan telah lewat tanpa ada gangguan dari makhluk jelaga. Meskipun begitu keluarga Kyai Sholeh masih senatiasa rutin membaca Al Qur'an. Hingga suatu hari yang dinanti sang mkhluk tiba. Jam 05.00 setelah subuh. "Abi, perut Umi sakit!" Umi memegangi perutnya, sambil meringis menahan rasa mulas yang datang dan pergi dalam waktu berdekatan. Abi menghentikan bacaan Al-Qur'an kala mendengar rintihan istrinya. "Mungkin sudah waktunya melahirkan," pikir Abi. Ia bergegas menghampiri istrinya. "Abi antar ke bidan sekarang ya? Tunggu di sini," kata Kyai Sholeh. Ketika hendak berdiri, istrinya menahan tangan kanannya, wajahnya meringis menahan rasa sakit luar biasa. "Abi, bolehkan Umi tinggal sementara 3 bulan pasca melahirkan di rumah orang tua Umi?" mohonnya. Abi tidak ja
"Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. "Iya, Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi.
Lima belas tahun yang lalu di rumah itu. Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya. Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati. "Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali. "Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang men
"Jadi bagaimana, Nduk? Keputusan ada di tanganmu." Akhirnya Ketua paguyuban melaksanakan terapan pada Ningrum. Gadis sinden itu menarik nafas dalam-dalam, lama ia terpekur. "Jika saya mengedepankan ego, maka nasib paguyuban akan selamanya berpindah-pindah tempat. Bukankah sejak dulu kita punya mimpi untuk menetap di satu daerah. Sekarang harapan itu ada di depan kita. Jadi untuk kepentingan kita bersama, saya harus rela berkorban. Akan saya tahu pengorbanan saya tidak sia-sia. " Keputusan inilah yang membuat Ningrum di malam berikutny
"Ayo, Bapak antar anakmu berobat pakai motor. Dipannya nanti biar Bapak mampir ke rumah Pak Sasongko. Kemasilah pakaianmu dan milik anakmu! Kita tinggal sementara di rumah Bapak," ucapnya. Larasati segera mengemasi pakaian mereka berdua. Pak Mangun menggendong cucu kesayangan di punggung menuruni tangga, diikuti oleh anak perempuannya. "Bilang pada Agung, aku bawa pulang anak dan cucuku. Pesanku padanya sampaikan jika kacang sudah lupa dengan kulitnya maka bersiaplah menerimakarmanya," ucap laki-laki berambut putih itu kepada Ningrum saat berpapasan, wanita itu hanya diam saja tidak tahu bagaimana harus bersikap. "Seandainya karma itu benar ada, lalu karma apa yang dulu kujalani bersama rombongan harus berpindah-pindah tempat, sering kali kami menahan lapar manakala penduduk mulai jenuh dengan pementasan l
Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.  
Sejak kejadian sore yang memalukan tadi, Ningrum segera masuk kamar. Rasanya tidak ingin dirinya terlihat Larasati lagi, ia ingin lenyap sementara waktu sampai dilupakan oleh orang yang menyaksikan peristiwa jatuhnya. Di dalam kamar baru dengan dipan yang baru pula, ia berbaring menatap langit-langit kamar rumah ini. Teringat dibenaknya pertemuan di kebun teh dengan Kusuma satu minggu setelah pesta pernikahannya. Saat semua saudara sepaguyuban mulai bekerja di lahan teh miliknya. Mereka berdua duduk di pondok darurat yang sengaja dibangun di tiap hektar lahan, guna istirahat sejenak melepas lelah.***Waktu itu. "Adik Ningrum, maafkan pertanyaan Akang sebelumnya. Apakah kau bahagia bersamanya?" tanya Kusuma, matanya menatap gadis yang selalu menghiasi mimpi-mimpi akan masa depan yang ingin ia lalui. Menjalin rumah tangga, melalui
Peristiwa pagi tadi membuat Ki Lurah tidak nyaman berada di kediamannya sendiri. Ia merasa sedang dimusuhi kedua istrinya. "Punya dua istri, tapi seperti tidak punya sama sekali, membuat kepalaku pusing saja." Ia menggerutu sambil menikmati secangkir kopi di bawah pohon belimbing, duduk di bangku panjang yang biasa dipakai oleh Larasati. Untungnya, meskipun Ningrum tidak bersikap seperti biasa, ia tetap mau meninggalkan secangkir kopi panas untuknya di dapur. Walaupun tidak menemani suaminya berbincang-bincang sebagai teman ngopi layaknya hari-hari sebelum kejadian pagi tadi. "Permisi, Tuan!" seorang laki-laki berperawakan tegap muncul di depan pagar rumahnya. Ki Lurah menoleh. "Sarto, ada apa?" tanyanya. "Ini, Tuan. Mau menyerahkan laporan penjualan daun teh," jawabnya. &