Share

6. Cerita Versi Bu Minten

Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.

Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.

“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.

“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”

“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”

“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”

Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.

“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.

Kreeekkkkk.

Reina membuka jendela kamar Nenek Iroh.

“Emmmm emmm emmm emmm.” Gerutu Nenek Iroh tidak terdengar jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang semenjak nenek di rasuki iblis seminggu yang lalu, nenek menjadi tidak bisa apa-apa,hanya terbaring di kasur atau hanya sekedar duduk bersandar di kursi.Tidak bisa berbicara dan beraktivitas seperti dahulu.

“Kenapa, Nek?” Reina meghampiri nenek, berharap bisa mendengar suara nenek lebih jelas.

“Eeeee ... eeee ... eeee.” Hanya itu yang keluar dari mulut nenek, telunjuknya mengarah ke jendela.

Reina segera menutup kembali jendela itu. “Udah, Nek. Kenapa Nenek nggak mau jendelanya di buka? Kan biar ada udara segar masuk.”

Pyaaaaaarrrrrrrrrrr.

Tangan Nenek Iroh menyampar gelas berisi teh itu. Wajahnya terlihat marah, seperti tidak suka dengan keberadaan Reina di situ. Reina lari terbirit keluar dari kamar nenek.

“Hah ... hah ... hah” suara kasar nafas Reina.

“Kenapa, Rei? Kok kamu ngos-ngosan gitu?”

“Nenek, Ma.”kata Reina bersandar di tembok, tangannya memegang dadanya yang bergerak naik turun akibat nafasnya yang tidak beraturan.

Bu Mirna langsung berlari ke kamar Nenek Iroh. Kebetulan Pak Arya baru keluar dari kamarnya melihat Bu Mirna berlari, ia segera menyusulnya.

“Kenapa, Bu? Ada apa?” Bu Mirna memegang tangan Nenek Iroh yang masih bergetar menunjuk ke arah pintu kamar.

Reina yang mengintip di balik tembok samping pintu kamar itu pun di minta Pak Arya untuk segera pergi menjauh.

“Reina udah Arya suruh pergi kok, Bu.”

Akhirnya nenek kembali tenang. Pak Arya dan Bu Mirna saling menatap, Bu Mirna mengerutkan dahinya, seperti bertanya ada apa. Pak Arya pun hanya bisa menaikan kedua bahunya, tanda dia tidak tahu apa-apa. 

“Sini Arya suapin ya, Bu. Ibu harus makan, biar lekas sehat.” Bujuk Pak Arya, dia membantu Nenek Iroh untuk duduk dan menyuapinya. 

Sementara Bu Mirna sibuk menyisir rambut putih Nenek Iroh dan menyanggulnya agar terlihat rapi.

***

Kemal menghampiri Reina. Dia memeluk Reina, sepertinya masih trauma dengan kejadian tadi malam.

“Kak, apa keluarga kita bakalan baik-baik aja?” tanya Kemal dengan polosnya.

“Kok kamu tanyanya gitu sih. Ya pasti baik-baik aja lah. Orang nggak ada apa-apa kok.”

“Kamu tenang aja, Kakak bakal jagain kamu. Mama Papa juga pasti jagain Kemal sama Nenek kok.” Imbuh Reina, dia mencoba meyakinkan Kemal.

Dahinya mengkerut, sedikit menggigit lembut bibir bawahnya sendiri, mencoba tetap tegar dan kuat, padahal dirinya sendiri tidak yakin dengan apa yang dia katakan kepada Kemal.

Tiba-tiba Reina melepaskan pelukannya dari Kemal. Perlahan dia berjalan ke arah pohon samping rumahnya.

“Perasaan tadi ada orang deh di sini, kok nggak ada. Siapa ya?” batin Reina, dia melihat sekitar tidak ada siapa-siapa.

“Nyari apa kak?”

“Eh, enggak kok. Bukan apa-apa. Masuk aja yuk.” Ajak Reina.

***

Bagas duduk di bawah pohon pinggir sawah. Dia terlihat melamun. Membayangkan saat pertemuan pertamanya dengan Reina. Mata belo, hidung sedikit mancung dan bibir kecilnya yang manis, kulitnya putih dan sosok Reina yang ceria membuat Bagas terpesona, jantungnya berdegup kencang saat bertemu dengan Reina. Membayangkan saja, Bagas sampai senyum-senyum sendiri.

“Gendeng apa gimana kamu, Le?” tanya Bu Minten, mengagetkan Bagas.

“Eh Ibu, engga lah. Masa anakmu ini gendeng to, Bu.” Jawab Bagas menggoda Bu Minten.

“Bu, Bagas boleh tau nggak sih, alasan Ibu melarang Bagas bergaul dengan gadis pindahan dari Jakarta itu?”

“Oh dari tadi kamu tu mikirin gadis itu to?”

“Enggak gitu lho, Bu.” Bagas tersipu malu.

“Gini lho, Le. Dulu warga desa kita di buat heboh karena Nenek Iroh menyidap penyakit langka. Semenjak itu warga desa takut tertular penyakit Nenek Iroh. Sampai akhirnya mereka mengusir Nenek Iroh dari desa ini. Tapi di gagalkan oleh Mbah Darmo, dukun sakti yang tinggalnya di tengah hutan itu lho. Dia menjamin bahwa penyakit Nenek Iroh tidak menular dan dia akan menyembuhkan Nenek Iroh.”

“Benar saja, Nenek Iroh sembuh. Tapi nggak di sengaja, suatu malam Pak Amir lewat rumah Nenek Iroh, waktu itu sumur di samping rumah Nenek Iroh masih seperti kebun, belum di kelilingi asbes sebagai penutup seperti sekarang. Pak Amir melihat Nenek Iroh meletakkan sesaji di atas sumur miliknya. Rumor Nenek melakukan ilmu hitam pun beredar. Semenjak itu Nenek Iroh tidak pernah keluar berbaur dengan warga. Dia juga menutup area sumur itu dengan asbes. Warga pun takut dengan kelakuan Nenek Iroh.” Imbuh Bu Minten.

“Oh jadi itu yang bikin warga juga menghindari keluarga Nenek Iroh?” tanya Bagas penasaran.

“Ya iyalah, Gas. Secara Bu Mirna tiba-tiba menjadi pengusaha kaya raya sampai sibuk dan tidak ada waktu buat pulang kampung. Mungkin waktu Nenek Iroh sakit itu karena nggak dapat tumbal. Nah sekarang keluarga Bu Mirna jadi bangkut kan, makanya mereka pindah kesini. Yakin Ibu mah, ” Celetuk Bu Minten.

“Hus ngawur Ibu tu. Kita belum tau pasti, jadi ndak berhak menghakimi begitu.”

“Iya sih, tapi kalau Ibu mah cari aman aja. Dari pada deket-deket mereka nanti malah kena sial!”

“Tapi kan ada Mbah Darmo, Bu. Ya nggak mungkin lah Nenek Iroh kaya gitu. Kalau beneran mah, Mbah Darmo pasti udah berpihak juga ke warga dan ikut mengusir Nenek Iroh.”

“Ah sudahlah. Ayo pulang aja, udah sore.” Bu Minten bangun dari duduknya dan beranjak pergi meninggalkan sawah.

“Aku harus kasih tahu Reina soal ini.” Kata Bagas dalam hati. Diapun menyusul Ibunya pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status