"Aku juga enggak begitu ngerti, Nay. Tapi biasanya seperti itu. Kalau enggak----"
"Kalau enggak apa? Jangan setengah-setengah ahh ngomongnya. Bikin penasaran!" rengek Nayla.
"Iya iya. Kalau enggak ya memang kamu yang harus mengakhiri perjanjian yang mengikat di tusuk konde ini."
"Ahh ... makin pusing aku sama penjelasan kamu!" Nayla menekuk wajahnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Angel yang melihat Nayla ngambek, malah menertawakannya.
"Enggak lucu!!"
"Eh ... tapi bisa saja, Nay, tusuk konde itu enggak bisa dibuang karena ingin kamu yang mengakhirinya."
"Kenapa harus aku?"
"Ya mungkin kamu salah satu orang spesial."
Tak ada jawaban dari Nayla atas kalimat Angel barusan. Ia hanya menggela napasnya dengan tatap mata lurus ke depan.
"Atau mungkin karena kamu cucu dari Kakek kamu yang bikin perjanjian?"
"Tapi kan yang bikin perjanjian Kakek sama Kusumawardhani, kenapa harus aku yang menga
Di detik yang sama, Angel merasa merinding saat gadis itu duduk di ruang tamu sendirian. Padahal pintu rumah sengaja ia buka lebar."Kok merinding sih aku ya?"Angel yang duduk di dalam beranjak pindah dan duduk di teras menunggu kedatangan Nayla dan Nek Sami."Di dalam merinding, di luar dingin. Nayla kapan pulang sih ya?" ucapnya pada dirinya sendiri.Dari kejauhan dia melihat sosok Nayla dan Nek Sami yang berjalan santai menuju rumah. Seketika raut wajahnya berubah menjadi senang dan lega."Kok di depan, Ngel?""Hehehe, aku takut tadi di dalam. Tapi Bu Ningrum aman kok. Enggak terjadi apa-apa.""Syukurlah."Mereka bertiga duduk bersama di teras. Sambil menunggu kedatangan Pak Soleh. Suara adzan isya mulai terdengar. Suasana desa semakin sepi. Hanya terlihat satu dua orang yang lewat."Nenek sholat dulu ya.""Iya Nek."Sami berjalan masuk ke dalam. Tiba-tiba Sami berteriak ke
"Benar, Mbah. Pemilik tusuk konde ini sudah mengikat perjanjian dengan sintren. Dan memasukkan sintren ke dalam benda ini. Dan -----" Kalimat Soleh menggantung. Tampak raut wajah Soleh yang kebingungan untuk menjelaskan pada mereka bertiga."Kenapa, Pak?" tanya Nayla penasaran. Sorot matanya semakin tajam menatap Soleh.Terdengar Soleh menghela napasnya panjang sebelum menjawab."Yang memasukkan sintren ini adalah Pak Darto.""Kakek?" Suara Nayla sedikit meninggi karena terkejut.Begitu juga Sami yang semakin membulatkan matanya."Iya. Atas kemauan pemilik tusuk konde ini, Pak Darto memasukkan sintren ke dalamnya. Namun, pemilik tusuk konde ini ada dendam dengan Pak Darto.""Haaaaaahhh?" Serempak mereka bertiga terkejut saat mendengarnya."Dendam apa, Pak?"Soleh menarik napasnya dalam-dalam, lalu ia memejamkan kembali kedua matanya. Ia juga terkadang menggeleng pelan. Hingga Soleh terbatuk.
"Kok bisa berubah hitam gitu, Pak?""Iya, Mbah. Ini menandakan kalau di dalam tubuh Bu Ningrum ada aura hitam yang menguasai jasadnya. Kita harus segera mengembalikan jiwa Bu Ningrum. Sebelum hal lebih buruk terjadi.""Hal lebih buruk apa, Pak?"Soleh terdiam sejenak untuk menghembuskan napasnya. Kemudian ia melirik ke Bu Ningrum yang masih terpejam."Jiwanya bisa susah untuk kembali atau bahkan jiwa Bu Ningrum bisa tersesat di alam makhluk halus."Nayla kaget dengan menutup mulutnya. Sementara Mbah Sami mulai tak kuat menahan air matanya yang akan keluar. Wanita tua itu pun menangis di sebelah Ningrum.Nayla mendekati Nek Sami dan memeluknya. Melihat Nek Sami yang menangis, Nayla juga ikut menangis."Sering-seringlah untuk membacakan doa atau mengaji di samping Bu Ningrum. Agar aura hitam tak semakin mengendalikannya. Dan gelas minum ini sudah saya beri bunga yang sudah saya doakan. Minumkan airnya pada Bu Ningrum sedikit demi
Motor matic itu mulai berjalan meninggalkan rumah. Tampak Angel yang sedang duduk di jok belakang motor. Tak lama mereka telah tiba di gapura desa.Saat menengok ke arah kanan, sudah terlihat seorang laki-laki dengan gaya trendi dan memakai motor moge berwarna hijau mendekati mereka."Aldo, maaf kita kesiangan bangunnya.""Enggak apa-apa, Mbak Nayla." Aldo seraya melepas helmnya."Kamu tunggu di sini udah lama?" tanya Angel berbasa-basi.Aldo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Memperlihatkan lesung pipinya yang menambah ketampanan lelaki itu."Mana alamatnya, Mbak?"Nayla mencari secarik kertas yang ia simpan di tas selempang."Ini. Aku tahunya cuma daerahnya. Tapi rumahnya enggak tahu."Sesaat Aldo membaca yang tertulis di kertas yang sedikit lusuh itu. Kemudian ia mendongakkan kepalanya menatap ke arah Nayla dan Angel bergantian."Aku tahu, Mbak. Kalau kita lewat jalan raya agak jauh dan pasti
"Ayo, Yuk, kita ngobrol di teras sambil duduk," ajak Sami pada Yuk Siti.Perempuan bertubuh gendut itu menganggukan kepala. Ia mengikuti langkah Sami yang menuju ke teras."Silahkan duduk, Yuk. Saya ambilkan minum dulu.""Jangan, Mbah. Enggak usah repot-repot. Saya cuma mau menceritakan apa yang saya lihat kemarin."Sami pun duduk dan mulai menatap tajam wajah Yuk Siti yang serius. Hingga manik mata mereka saling bertemu."Memangnya apa yang Yuk Siti lihat?""Malam itu, saya dan suami melihat seseorang yang berdiri di atas genteng rumah Mbah Sami. Kelihatannya seperti perempuan. Tapi dari penampilannya dia memakai kebaya dan jarik, seperti sinden.""Haahh? Masa, Yuk?""Beneran, Mbah."Sami terdiam sejenak. Begitu juga Yuk Siti. Ia menatap ke lantai rumah."Sepertinya dia itu dedemit, Mbah!" seru Siti kembali melihat ke Mbah Sami."Kok bisa sampean bilang begitu?" tanya Sami sedikit kaget."Soal
"Malam yang dianggap sakral itu adalah malam satu suro. Biasanya yang lahir di malam itu akan jadi incaran dukun-dukun penganut ilmu hitam. Dan kamu menjadi incaran sintren di tusuk konde ini. " tambah Mbah Waci.Sontak semua yang mendengar menjadi terkejut. Tak terkecuali Nayla yang sangat kaget dengan perkataan Mbah Sami. Ia melirik ke arah Angel. Kemudian kembali menatap ke Mbah Waci."Terus apa yang harus saya lakukan, Mbah?"Hingga angin kencang bertiup tiba-tiba. Padahal sebelumnya cuaca sangat cerah. Dengan cepat langit mulai mendung. Awan hitam nampak bergulung-gulung."Kita lanjutkan di dalam. Sepertinya mau hujan. Motor kalian masukan ke halaman saja. Masih banyak yang harus kamu tahu tentang tusuk konde ini. Tusuk konde ini sangat haus darah. Dia juga butuh tumbal. Karena ikatan pengasihan yang diikat oleh pemilik dengan iblis."Akhirnya mereka pun beranjak. Aldo memasukkan motor miliknya dan juga milik Nayla. Sementara Angel dan N
Rasti diam, ia melihat ke arah Nayla, Angel dan Aldo yang juga tengah menatapnya."Ras, tolong bantu aku ya." Nayla menyatukan kedua telapak tangannya memohon pada Rasti."Baiklah! Aku akan membantu kalian.""Terimakasih, Ras. Terimakasih banyak."Tiba-tiba suara petir menyambar. Langit semakin gelap. Angin pun bertiup semakin kencang. Saat Aldo akan berdiri untuk menutup pintu, pergelangan tangannya langsung ditarik oleh Waci. Hingga ia pun kembali duduk."Jangan! Ada dia di depan pintu!"Mendengar perkataan Mbah Waci semuanya langsung menoleh ke arah pintu depan. Di penglihatan Nayla, Angel dan Aldo mereka tak melihat siapa pun. Tetapi di mata Rasti dan Mbah Waci, sosok sinden berkebaya merah itu tengah berdiri di depan pintu. Senyumnya yang menyeringai menunjukkan deretan giginya yang berwarna kuning. Serta darah terus mengucur dari luka-luka yang menganga."Tapi enggak ada siapa-siapa, Mbah," kata Angel."Pejamk
"Oh ... tapi makasih banyak ya, Ras. Kamu sudah sangat membantu aku."Ketika itu terdengar Mbah Waci menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Seraya ia mulai membuka kedua matanya."Nak Nayla, duduklah di hadapanku dan berikan telapak tanganmu," ujar Mbah Waci yang membuat Nayla bingung. Dia menoleh ke Rasti, Angel dan Aldo. Melihat Rasti mengangguk, Nayla pun pindah, duduk di depan Mbah Waci dan mengulurkan tangan kanannya sesuai dengan perintah wanita itu.Mbah Waci membuka salah satu peniti yang terpasang di bajunya. Kemudian wanita itu sengaja menusukkan ujung peniti yang tajam pada jari telunjuknya.Ia pun melakukan hal yang sama pada jari telunjuk Nayla. Sehingga darah segar keluar akibat tusukan peniti."Aaahh!" pekik Nayla kesakitan.Mbah Waci mengambil bunga-bunga yang dipetik tadi. Ia mengoleskan darahnya pada setiap kelopak bunga."Oleskan darah kamu pada setiap kelopaknya." Perintah Mbah Waci dengan