Menutup sambungan telepon dengan Ratih temanku. Informasi darinya benar-benarmembuatku tak percaya. Awalnya aku menanyakan suamiku sering mengambil uang dari tabunganku. Tapi kenapa tak pernah ada laporan dari sms banking.
Alangkah terkejutnya saat aku mendengar jawabannya. Ternyata Mas Radit mempunyai rekening atas namanya sendiri. Dan itu sudah cukup lama. Kenapa aku sampai tidak tahu. Benar-benar penipu kelas kakap.
Apa yang harus kulakukan. Sebenarnya aku ingin memblokir rekeningnya, tapi menurut Ratih aku tak bisa melakukan itu. Bank pasti menolak. Kecuali kalau memang suamiku melakukan kejahatan yang berhubungan dengan rekeningnya. Dan itu juga perlu ada bukti yang kuat.
Memijit kepala yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku harus bisa mencari solusinya. Akan aku pikirkan nanti.
Saat ini aku punya prioritas yaitu mengetahui keberadaan suamiku. Dia sudah membuatku seperti wanita dungu yang begitu mudah dikadali oleh buaya murahan seperti dia. Dasar manusia tidak tahu terimakasih.
“Sudah siap, Neng.”
“Oke.” Aku tersentak. Ucapan Pak Karno membuyarkan lamunan.
Segera masuk ke dalam mobil box untuk melakukan perjalanan.
“Pak, usahakan jangan sampai Mas Radit atau siapapun mendatangi mobil box ini. Kalau sampai mereka mengetahui keberadaanku, bisa gagal semua rencana.”
“Siap, Neng.”
“Yang pengting pastikan keberadaan Mas Radit di sana. Hanya itu yang saya inginkan.”
“Siap.”
Selang dua puluh menit mobil tiba di depan rumah ibu mertuaku. Kuamati rumah yang berdiri kokoh dan megah. Rumah berlantai dua ini dibangun memakai uangku.
Kepala seperti mau meledak kala mengingat semuanya. Akan kubuat para parasit itu menangis darah.
“Mungkin kalian pikir aku wanita bodoh yang masih gampang dibohongi. Sekali aku mengetahuinya, tak ada ampun bagi kalian!” melengkungkn sudut bibirku dengan sempurna.
Pak Karno sengaja memarkir mobil di luar pagar supaya keberadaanku tak diketahui. Kadir juga setengah berlari dan menyerahkan kunci mobil kepadaku.
“Kadir, kamu bawa ponsel?” tanyaku berbisik. Aku hanya sedikit membuka kaca mobil
“Bawa, Bu.”
“Tolong kamu video keadaan rumah. Ambil gambar yang kira-kira saya perlukan. Terutama percakapan ibu dan Mas Radit kalau bisa.”
“Baik, Bu!”
Karno dan Kadir mulai mengerjakan tugasnya. Mereka mengeluarkan beberapa kantong plastik berisi daging.
“Kenapa gak mencet bel? masuk aja mobilnya!”
Aku dikejutkan oleh suara yang sangat dikenal. Penipu itu. Ternyata benar, dia tidak pergi kemana-mana. Sial, kenapa aku tak menyadari kalau ada yang membuka pintu gerbang.
Astaga, dia menuju kemari. Bagaimana kalau sampai aku ketahuan. Dan bagaimana kalau Mas Radit melihat mobilku yang terparkir tak jauh dari mobil box ini.
Keringat dingin mulai bercucuran. Aku begini bukan karena ketakutan. Bahkan ingin sekali keluar dari persembunyian dan menampar wajahnya. Tapi ini bukan saat yang tepat.
Dia bahkan sedang berjalan menuju kemari. “Ya Alloh, bagaimana aku bisa menghindar. Tolong hamba.”
Aku menurunkan kaki perlahan untuk mengurangi ketinggianku agar tak terlihat dari luar.. Semoga saja Mas Radit tidak menemukanku.
Aku memejamkan mata saat mendengar suara Mas Radit yang tak jauh dariku. Banyak hal yang ditanyakan kepada Karno termasuk juga tentang diriku. Dia bertanya apa aku datang ke toko. Pak Karno berbohong dengan menjawab tidak. Dari obrolan keduanya sepertinya pak Karno mengalihkan suamiku supaya masuk saja ke dalam.
“Kamu biasa deh Karno mobilnya gak dimatikan dulu. Nanti boros bensinnya!”
Astaga, sepertinya Mas Radit sedang berjalan kemari dan berniat untuk mematikan mesin mobil. Aduh bagaimana ini. Habislah aku. Gagal semua rencana. Aku menepuk kening perlahan. Pasrah dengan semua yang terjadi.
Mas Radit sudah berada di dekat pintu mobil. Hanya dengan hitungan detik, dia pasti akan mengetahui kalau istrinya ada di sini. Aku hanya bisa pasrah dan siap menghadapinya. Biarlah kalau memang harus seperti ini. Aku mulai menghitung mundur. Tiga ... dua ...sa ....”
‘Jangan dimatikan, Pak!” teriak pak karno berusaha menghentikan Mas Radit. Lelaki paruh baya itu menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil.
“Kenapa?!” tanya Mas Radit dengan nada tinggi. Dia bukan orang bodoh yang dengan mudah bisa diperdaya. Seharusnya pak karno bersikap biasa saja. Dengan sikapnya yang seperti itu terlihat sekali kalau sedang menyembunyikan sesuatu.
“Mesinnya sedang sedikit bermasalah. Takutnya kalau dimatikan nanti mogok, pak.”
“Halah, kau pasti menyembunyikan sesuatu di dalam sana!”
“Tidak, pak.”
“Minggir!”
“Mmm....”
“Minggir atau ....”
“Aduh .... “ terdengar teriakan suara Kadir. Entah apa yang terjadi aku tak bisa melihatnya.
“Hach dasar goblok! Dimana otak kalian! bisa-bisanya sampai jatuh! tidak becus kerja!” suara Mas Radit terdengar marah sekali. Dia memaki karno dan juga kadir dengan kata-katayang tidak pantas.
Astaghfirulloh hal’adzim, kotor sekali mulutnya. Hanya karena sedikit kesalahan teganya dia menyamakan para pekerja dengan binatang. Aku seperti tak mengenal suamiku. Mas Radit yang kukenal sangat lembut dan penyabar. Tak pernah aku mendengar dia memaki asisten di rumah kalau mereka salah. Tapi kini aku mendengarnya sendiri kalau mulutnya kotor seperti sampah.
Terdengar ada yang mengetuk kaca mobil pelan. Aku mengangkat wajah dan menerima kode dari Pak Karno supaya aku pergi. Aku tahu mungkin ini sudah jadi rencana mereka untuk menyelamatkan diriku.
Tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk segera menjauh. Lalu keluar dari mobil.
Sesaat aku melihat daging jatuh berceceran. Rupanya Kadir sengaja menjatuhkan kantong berisi daging untuk mengalihkan perhatian Mas Radit.
Terlihat ibu dan Nena berjalan menuju arah mereka. Aku harus segera pergi sebelum mereka menyadari keberadaanku.
Membuka pintu mobil dan duduk di dalamnya. Nafasku sangat sesak dan nyaris terputus. Sekian lama tidak pernah berlari hingga aku merasa sangat lelah.
Tak boleh berlama-lama di sini. Tujuanku kali ini adalah mencari rumah wanita yang akan di nikahi oleh si buaya darat. Dani tadi sudah mengirim alamat perempuan itu. Sepertinya tak jauh dari sini. Aku harus segera menuju ke sana.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai di titik tujuan. Bahkan aku tak perlu turun untuk bertanya. Tenda yang sangat megah sudah terpasang dan membuat mataku terbelalak. Rumah ini terlihat lebih menonjol dari yang lainnya. Modelnya tak beda jauh dengan rumah ibu mertuaku. Mungkinkah rumah ini juga dibangun dengan uangku.
“Shiitt!” aku memukul kemudi dengan kesal.
Ponselku menyala. Tiga pesan video masuk dari Kadir. Tak sabar untuk melihatnya.
Satu video terbuka dan membuatku murka. Obrolan Mas Radit, Nena dan ibu benar-benar membuatku marah dan ingin mencakar wajah mereka. Dalam percakapan itu aku menangkap kalau mereka akan menyingkirkan aku dan juga ibu. Sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.
“Haachh! Dasar iblis!” aku membanting ponsel dengan kesal. Dadaku naik turun menahan amarah. Sebelum mereka berhasil melenyapkan diri ini, aku bersumpah, akulah yang akan menghancurkan kehidupan mereka terlebih dahulu.
Berada lebih lama di sini tak ada guna. Hanya akan membuat diriku larut dalam amarah dan dendam. Lebih baik aku pulang ke rumah dan menceritakan semuanya kepada ibu. Dan yang lebih utama aku harus menyelamatkan brankas yang berisi surat-surat berharga, perhiasan dan juga sejumlah uang tunai dalam jumlah yang cukup besar. Semoga saja buku tabungan buaya itu ada di dalam sana. Sehingga aku bisa dengan mudah membuatnya miskin dan malu di hadapan keluarga barunya.
“Apa aku menolak waktu paman ... mencium bibirku?” aku menyapu bibir paman dengan jemariku, membuat paman memejamkan mata untuk menikmatinya.“Jawab paman?” tanyaku kembali masih dengan menyapu bibir sexynya dengan jemariku.“Tadi kau begitu berani. Kenapa sekarang diam? Hmm?” tanyaku kembali.“Aku ... aku .... ““Sst ... “ Aku menutup mulut paman dengan telunjukku. Menatap wajah tampan di hadapan membuatku tak tahan untuk tak menyentuh bibirnya. Tinggi badanku yang hanya sepundak paman, membuatku harus berjinjit untuk memberikan kecupan tipis pada bibirnya. Cup, satu kecupan sukses mendarat di bibir paman.Tak ada pergerakan. Kami saling diam dengan bibir saling menempel. Perlahan paman menjauhkan bibirnya dariku dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.“Ini rumah sakit. Kita tak boleh melakukan hal yang lebih.” Bisik paman dengan tersenyum. Aku merasakan harum
Wajah paman semakin dekat. Bahkan ujung hidung kami saling bersentuhan. Oh Tuhan, benarkah ini. Apa aku sedang tidak bermimpi. Pria yang sudah menggetarkan hatiku tengah menatapku penuh hasrat.Aku memejamkan mata menandakan dari sebuah kepasrahan. Aku dikejutkan oleh benda kenyal yang menyentuh bibirku membuat jantungku memacu kian cepat. Bibir paman menyapu dengan lembut hingga membuatku terbuai.Entah mendapat dorongan dari mana hingga membuatku membalasnya dengan lebih berani. Sejenak kami saling berpagut dalam balutan rindu.Sayangnya semua keindahan itu harus terhenti karena masuknya perawat yang membawa kursi roda untukku. Kami pun saling melepas pagutan dengan perasaan malu.“Sorry,” ucap paman lirih. Dia menjauh dariku sembari menghapus jejak pada bibirnya yang basah. Lalu menyugar rambutnya dan berdiri membelakangiku. Paman masuk ke dalam toilet. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku akan mencari tahu tentang hal itu.“M
Rasanya tubuh ini sudah sehat dan tak perlu obat apapun. Berdekatan dengan paman pasti lebih mujarab dari obat manapun.Tunggu, bukankah paman sedang marah kepadaku. Bagaimana kalau dia menolak untuk menjagaku. Atau dia mau tapi aku dicuekin. Aduuh bagaimana ini. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Put! Cepat telpon pamanmu suruh ke sini. Ibu harus berangkat sebentar lag biar bisa lihat jenazah budemu.”“Hah? Aku. Bu?” aku menunjuk ke arah diri sendiri.“Iya. Cepetan!”“Ibu saja! Nih hapenya!” aku menyerahkan ponsel kepada ibu. Tak mungkin aku duluan yang menghubungi paman.“Kamu aja! Cepetan. Ibu mau beres-beres dulu!”Duh Gusti, bagaimana ini. Ibu benar-benar tak mau mengerti perasaanku.“Cepat puuuttt!!”“Iya!”Aku mengusap layar dan membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nomor paman. Rasanya ragu untuk menyentuhnya. Ja
“Oke, Paman tahu. Tapi setidaknya kau masih punya rahim dan bisa hamil. Jangan pernah meremehkan sesuatu yang berhubungan dengan nyawa, Putri!”“Sudahlah, Paman. Aku tak butuh nasehatmu! Yang jelas aku akan memakai jasa pengacara yang hebat untuk memberikan hukuman berat kepada mereka!”“Tapi Put ... ““Tolong, keluar! Aku ingin sendiri!”“Put! Paman seperti tak mengenal dirimu lagi! Hanya karena dendam kau sampai kehiangan jati diri dan juga hati nuranimu! Paman seperti tak mengenalmu lagi!”‘Tolong keluar, Paman! Aku ingin sendiri!” teriakku dengan kesal. Tanpa terasa airmata mengalir deras pada pipiku.“Baiklah! Paman hanya ingin kau menjadi putri yang dulu, yang penuh dengan cinta, kasih sayang. Bukan putri yang memenuhi dadanya dengan api dendam!”“Keluar, Paman! Keluar!!” aku menutup telinga dan tak mau mendengar nasihat apapun dariny
“I ... Iya Mbak Yu. A-ada apa?” tanya Paman degan terbata. Aku tahu kalau dia masih merasa canggung dengan kejadian tadi.“Radit dan keluarganya sekarang di mana?!”“Mereka sudah di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.”“Baguslah! Kau harus menghukum mereka seberat-beratnya!” ucap Ibu sembari mengepalakn tangan. Rupanya beliau masih terbakar emosi.“Itu bukan kewenanganku Mbak. Nanti pengadilan yang akan menghakimi mereka!” jawab Paman.“Huuch pokoknya aku mau ketemu sama mereka dan bakal tak uwes-uwes mereka nanti!” ucap ibu dengan gemas. Jelas saja dia tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini.“Sudahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita fokus untuk pengobatan Putri. Mereka sudah ada yang mengurusi!”“Ya sudah. Mbak mau ngurus administrasi dulu. Kamu tolong tungguin Putri dulu, ya!”‘Iya, Mbak! Tapi gak bisa l
Dan tak lama kemudian terdengar suara Radit menjerit sangat keras. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Suara bag big bug tak ada hentinya disertai suara jeritan ibunya Radit. Sepertinya paman sedang memukuli Radit dengan brutal. Syukurlah, paman selalu datang tepat pada waktunya.‘Tangkap mereka semua!” Paman memerintah kepada anak buahnya.Sepertinya terdengar penolakan dari Radit dan ibunya. Bahkan aku mendengar suara Radit yang terus memanggil nama istrinya. Aku yakin wanita itu pasti terluka parah, hingga membuat Radit berteriak histeris.Kemudian, aku merasakan tubuhku sedikit terangkat. Rupanya paman menaruh kepalaku di atas pangkuannya.“Putri! Bangunlah!” Paman menepuk-nepuk pipiku. Dia pasti sangat khawatir. Sebenarnya aku masih sadar dan mendengar semua aktifitas di sekitar. Hanya saja aku merasa seperti tak bertenaga. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup.Aku berusaha tetap bertahan. Namun lamba