Maia menyelonjorkan tubuh. Debur ombak makin intens menyeruak masuk kedalam sepatunya.
“Halusinasi, detak jantung yang bertambah cepat, tekanan darah meninggi hingga rusaknya pembuluh darah otak. Secara bersamaan timbul dampak psikologis atas dirinya. Halusinasi. Neni mengalami perubahan perilaku menjadi buruk. Hal itu terus terjadi sampai kemudian ia hypertemia.”
“Dan …. tewas?” Dimas mencoba menebak yang lantas dijawab dengan anggukan kecil.
Maia menarik nafas. Nampak sekali ia berusaha meredam emosi kesedihan. Dimas merengkuh pundaknya. Mencoba memberi semangat.
Sampai sebuah pikiran melintas di benak Dimas.
“Tapi maaf, bagaimana mungkin StavoGroup memproduksi obat-obatan seperti itu? Ia bergerak di bidang bio-micro elektronik. Semua orang mengetahuinya.”
“Obat itu hanya bisnis sampingan.” Maia menatap Dimas tanpa kedip.
“Setelah peristiwa di mall barusan, sepertinya bukan hanya mereka. Polisi juga pasti akan mencarimu. Itu dugaanku.”“Kurasa tidak.”“Kenapa?”“Dua orang itu bukan hanya jago secara otot. Otak mereka pun cukup cerdas untuk mematikan seluruh CCTV di seluruh interior dan exterior gedung, sebelum memulai aksi pembunuhan atas diriku. Jadi untuk soal yang satu itu, aku aman. Musuhku hanya tetap dari para anak buah Nikolai yang dendam padaku.”“Dendam? Menurutku motifnya tidak sesederhana itu.” Dimas menggeleng mantap. “Kurasa Nikolai belum mati dan ia mencarimu.”Kini Maia yang ganti menggeleng kepala. “Tak mungkin.““Kau tidak memantau perkembangan berita selanjutnya? Mayatnya tidak ditemukan, Maia!““Namun aku yakin ia tewas,” kata Maia bersikukuh. “Seluruh
Di antara kerumunan dan keriuhan sekitar lokasi, seorang pria lain muncul. Mengenakan jaket kulit coklat yang buram termakan waktu, ia hanya melihat-lihat keadaan di sekitar tempat tersebut. Wajah Kaukasian yang ia miliki tidak dapat tertutupi panjang rambut, kumis dan cambangnya yang jauh dari rapi. Kendati tidak banyak bertanya, ia dapat mendengar dari ucapan-ucapan orang sekelilingnya tentang apa yang terjadi.“Penyerangan bersenjata. Gila! Bagaimana bisa terjadi?“ terdengar seseorang berkomentar.Pria itu melirik. Dengan ujung matanya ia menangkap pembicaraan antara dua orang polisi yang berdiri tidak jauh dari posisinya.“Entahlah.““Sudah kau dapatkan data mengenai pelakunya?““Belum. Dua orang pelakunya tak sadarkan diri. Dalam hari ini mungkin baru bisa ku dapatkan.““Siapa sebetulnya yang mereka tuju?““Entah.““Kau tidak mendapatkan informasi sama sekali? Ayolah, kau setengah jam tiba disini lebih cepat dari aku!““Kau tidak akan percaya kalau kukatakan bahwa pelakunya adala
Menghadapi ajal yang sudah pasti menjemput, apa yang perlu dilakukan seorang manusia dalam keadaan seperti itu? Ketika detik waktu menjadi begitu berarti, Dimas hanya ingin bersama wanita itu dan pekerjaan yang ia miliki memungkinkan itu terjadi karena ia bisa melakukan pekerjaan secara daring. Tak inginnya ia jauh dari Maia mungkin memberi kesan cengeng, rapuh. Tapi Dimas tak peduli karena Maia sudah bukan lagi menjadi orang lain bagi dirinya. Bagi hidupnya. Ia membutuhkan dan sangat mendambakan wanita itu. Pun puterinya. Kegalauan yang sama, yang mungkin lebih berat, dialami oleh Maia. Mencoba bersikap wajar dan seolah tak ada apa-apa, ia melanjutkan hidup. Bagi Maia, waktu yang tersisa ia ingin perlakukan dengan sebaik mungkin. Terputus dari kehidupan masa lalu, hanya ada segelintir orang di dunia ini yang begitu menaruh harap dan cinta padanya. Hanya pada merekalah ia kini berfokus dan mendedikasikan hidupnya. Ia pun pada akhirnyaa luluh terhadap Dimas. Atas pria yang tetap me
“Kamu suka gaunku?” tanya Maia sambil terus membaca. Dimas gelagapan. Ia tak menyangka bahwa dalam serius membaca ternyata Maia tahu apa yang Dimas lakukan ketika menatapi dirinya. Tak mau terlihat bahwa ia terciduk, ia buru-buru membantah. “Aku tidak melihati gaunmu.” “Jangan bohong.” “Aku melihati pemandangan alam. Wajahmu.” “Alasan.” “Hei, aku pria normal.” Maia tertawa kecil. “Sudah lama aku tidak mendengar joke-joke seperti itu.” “Ketika aku mengatakan bahwa aku melihati pemandangan alam yakni wajahmu, itu serius. Dan ketika aku mengatakan aku pria normal, itu jelas bukan joke.” “Apa yang kamu mau tunjukan dengan koran ini?” tanya Maia sambil mengembalikan koran ke tangan Dimas. “Aku ingin menikmati waktu bersamamu.” Maia tidak segera menjawab. Ia sudah menduga itu jadi alasan mengapa Dimas mendatangi unitnya. “Boleh?”
“Kembali ke soal tadi,” Dimas menyambung sambil mulai mengunyah cake pesanannya. “Aku mengkhawatirkanmu, dan aku ingin berbagi beban hidupmu untuk kita hadapi bersama. Kenapa harus menanggung masalahmu seorang diri?” “Kamu tahu itu berbahaya.” “Karena aku tidak bisa bela diri?” “Bukan itu.” “Tidak bisa menembak?” “Bukan.” “Lantas?” “Karena.... kamu... kamu kan tidak pernah dilatih secara militer.” “Tentu saja aku pernah.” “Kapan?” “Saat sekolah aku ikut Pramuka.” Maia tersedak. Dalam tawa, ia dengan gemas memukul pundak Dimas yang dengan cekatan ditangkis Dimas. Mobil yang Dimas kendarai mulai melambat seiring tibanya mereka di bagian jalan yang padat. “Kau tahu Dimas, dalam keadaan gemas aku bisa memukul lebih keras.” “Pukullah.” “Aku tidak mungkin memukulmu. Kamu tahu itu.” “Kenapa tidak mungkin memukulk
Si pengojek yang ditanyai hanya menatap Maia dengan terpana dan mulut terbuka. Mungkin pikirnya, mimpi apa dia semalam sehingga mendapat calon penumpang secantik ini. Dengan rambut sebahu, celana jins denim yang dipadu kemeja long sleeve biru kotak-kotak Maia memang terlihat macho tanpa menghilangkan sedikit pun kefemininan dirinya.“Aku pinjam. Nggak sampe satu jam.”Si pengojek tersadar dari rasa terpana. “Mbak, aku pinjemin gratis juga gapapa koq. Mau aku anterin? Hehe...”‘Nggak usah,” Maia melesakkan semua uang di tangannya ke dalam kantong jaket yang dikenakan orang itu.Orang itu masih tergagap ketika dengan ragu turun dari jok motor yang diduduki. Ia baru mengucap lagi beberapa kata ketika Maia duduk di atas motor dan menghentak pedal dengan keras. Suara bising dari knalpot racing yang terpasang membuat ucapan orang itu jadi tak terdengar.Deti
Kata-kata yang ia lontarkan memang sangat standar. Tapi ada hal yang membuat Dimas penasaran. Orang itu adalah seorang berpangkat tinggi. Kombes alias Komisaris Besar Nicko namanya. Dimas agak heran karena jika kasus yang melibatkan calon isterinya sampai melibatkan seorang berpangkat tinggi seperti itu, tidakkah berarti apa yang dihadapi adalah kasus yang serius?Ini membuat Dimas lantas menceritakan lebih banyak. Menurutnya masih ada satu penjahat lagi yang tersisa. Dimas tidak merasa perlu untuk menyebutkan bahwa orang itu memburu seseorang dan orang itu adalah kekasihnya. Alasannya, jika itu disampaikan akan membuat urusan lebih panjang. Polisi jadi akan mengetahui bahwa ada korelasi antara penjahat tadi dengan dirinya.Diam tentang keberadaan Maia sepertinya menjadi jalan terbaik untuk saat ini.*Kejar-kejaran memang tengah terjadi antara Maia dengan si penjahat pert
Ia berusaha meraih senjata yang ada dalam ras ransel. Namun itu jelas tidak mudah karena ia berada dalam sebuah modul yang bergerak, tidak imbang, tidak konstan. Saat ia baru saja hendak meraih senjata, Maia yang melihat melalui kaca spion akan melakukan manuver sedemikian rupa yang membuat ia mau tak mau harus memegang setang dengan kedua tangan yang otomatis menunda usahanya mempersenjatai diri.Maia benar-benar pandai memanfaatkan situasi. Ia tidak pernah lagi membawa motor melaju dalam ruang terbuka. Ia tahu tindakan itu akan membuat lawannya akan meraih senjata dari dalam tas dan jika itu terjadi, dengan cepat ia akan melumpuhkan Maia. Saat itu melihat sebuah gedung bertingkat yang masih setengah jadi di balik rerimbuhan pohon, ia lantas memacu motornya menuju ke tempat itu. Ia harus menjalankan motor dengan zig-zag melewati pembatas jalan, rambu-rambu, onggokan kerikil dan aneka material, sampai kemudian tiba di kompleks perkantoran tadi.