LOGINJean merasakan sensasi tercabik dari realitas, tubuhnya terpelintir dalam pusaran energi yang membutakan. Dia menggenggam erat tangan Selvia, tidak peduli betapun sakitnya rasanya. Kemudian, tibalah benturan keras. Tulang-tulangnya bergetar saat dia mendarat di atas permukaan yang lembap dan berlumut. Udara yang dia hirup menusuk paru-parunya—dingin, lembap, dan beraroma pinus serta tanah basah.Dia membuka matanya, berkedip mencoba menyesuaikan penglihatan. Cahaya bulan purnama menyaring melalui kanopi pohon-pohon tinggi dan gelap, menciptakan bayangan-bayangan yang menari-nari di tanah. Langit di atasnya terasa asing, hitam pekat dengan konstelasi bintang yang tidak dikenalnya. Ini bukan Sulawesi. Kehangatan malam tropis telah digantikan oleh hawa dingin Transylvania yang merembes hingga ke tulang."Via?" suaranya serak. Dia memutar badan, tubuhnya pegal. Selvia terbaring tak jauh darinya, wajahnya pucat dan bernafas tersengal-sengal. Luka di lengan dan bahunya masih mengucurkan dar
"Kita semua mempertaruhkan segalanya," balas Jean, fokusnya masih pada jalan di depan.Mereka terus bergerak, meninggalkan suara pertarungan di belakang. Cahaya bulan semakin memudar, digantikan oleh cahaya jingga samar dari ufuk timur. Hutan mulai terang sedikit, dan Jean bisa melihat jalan setapak yang jelas di depan mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka akhirnya mencapai pinggir hutan. Di depan mereka terbentang jalan raya, masih sepi di pagi buta. Lampu-lampu jalan menyala, menerangi aspal yang masih basah oleh embun pagi. Di kejauhan, lampu-lampu kota Makassar sudah terlihat, seperti permata yang berkilauan.Jean berhenti sejenak, menarik napas dalam. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku. Basah, tapi masih berfungsi. Dia membuka aplikasi ojek online, jarinya gemetar mengetik lokasi mereka."Kita akan pergi ke terminal?" tanya Selvia, suaranya masih lemah.Jean mengangguk. "Ya. Kita harus mengambil
Jean berdiri di antara pepohonan, tangannya erat menyangga tubuh Selvia yang lemah. Dia bisa merasakan hangatnya darah Selvia merembes melalui pakaiannya, membasahi lengan bajunya. Bau besi darah itu bercampur dengan aroma tanah basah dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tua dan berdebu seperti logam yang sudah lama terpendam. Dari arah Radu, bau itu semakin kuat, menusuk hidungnya.Tiga sosok pemburu serigala itu masih berdiri beberapa meter di depan mereka, mata kuning mereka menyala dalam cahaya bulan purnama yang mulai memudar. Bulan itu tergantung rendah di langit, cahaya peraknya mulai disaingi oleh cahaya keemasan samar dari ufuk timur. Fajar akan segera tiba."Serang!" geram pemimpin pemburu itu, suaranya serak dan penuh ancaman.Mereka bergerak serentak. Jean hampir tidak bisa mengikuti gerakan mereka. Tubuh mereka seperti blur, melesat maju dengan cakar-cakar teracung langsung ke arah Radu. Udara di sekitar mereka bergemuruh, seolah hutan kecil ini sendiri berguncang menghada
Jean menelan ludah, rasanya tenggorokannya kering seperti kapas. Peluhnya membasahi punggung dan pelipisnya, menempelkan kain kaus yang tipis pada kulitnya. Dia masih berjongkok, tubuhnya melindungi Selvia yang mendesah kesakitan di pelukannya. Darah dari lengan Selvia masih merembes, menghangatkan kulit Jean yang dingin. Tiga pemburu serigala itu masih berdiri mengitari mereka, mata kuning mereka bersinar tajam dalam cahaya bulan purnama yang menembus rindangnya hutan kecil di pinggir Makassar ini. Aroma tanah basah dan daun yang layu memenuhi hidungnya, bercampur dengan bau amis darah Selvia.Lalu, pria tua itu muncul.Tidak ada suara langkah kaki. Hanya hembusan angin tiba-tiba yang lebih kencang dari sebelumnya, membawa aroma aneh, seperti embun pagi yang bercampur dengan logam tua. Udara berubah, menjadi lebih berat, lebih dingin. Pria itu berdiri tegak di antara pepohonan, persis di belakang barisan para pemburu. Rambutnya yang putih seperti kapas dikepang rapi. Pakaiannya adala
Bab 17Jean terduduk lemas di atas tanah berumput. Napasnya masih tersengal, keluar dalam gumpalan-gumpalan putih di udara malam yang dingin. Seluruh tubuhnya gemetar, otot-ototnya berdenyut-denyut lelah seperti baru saja dipaksa lari maraton. Keringat dingin membasahi keningnya dan membuat bajunya lengket di punggung. Dia menatap kosong ke arah kegelapan hutan tempat Selvia menghilang. Suara lolongan dan benturan keras masih terdengar dari dalam, membuat dadanya sesak oleh campuran rasa takut dan bersalah.“Selvia…” gumamnya, suaranya serak dan hampir tak terdengar. “Kenapa kau pergi sendirian?”Dia memaksakan diri untuk menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Aroma tanah basah dan daun membusuk memenuhi indra penciumannya, aroma khas hutan Sulawesi setelah hujan. Di kejauhan, lampu-lampu kota Makassar berkelap-kelip samar, mengingatkannya pada kehidupan normal, kehidupan yang sekarang terasa sangat jauh. Kehidupan di kamar kosnya
"Jean, jangan bergerak!"Suara Selvia datang dari belakangnya. Jean mendengar getaran kecil dalam suara itu. Selvia mendekat dengan langkah hati-hati, daun kering berderak di bawah sepatunya.Jean merasakan sesuatu yang liar bergerak dalam darahnya. Dorongan aneh yang membuatnya ingin berlari ke dalam hutan, mendekati sosok serigala itu. Tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi keningnya."Selvia," gumamnya, suaranya serak. "Aku... aku nggak bisa nahan..."Selvia sekarang berdiri di sampingnya. Tangannya yang dingin menyentuh lengan Jean. "Dengarkan aku, Jean. Kau lebih kuat dari ini. Tarik napas dalam-dalam."Sosok serigala itu mengeluarkan geraman rendah. Suaranya bergema di antara pohon-pohon, membuat bulu kuduk Jean berdiri. Beberapa ekor burung malam terbang meninggalkan dahan mereka."Mereka pemburu dari kerajaan aku," bisik Selvia, matanya tidak lepas dari sosok itu. "Mereka ingin aku kembali. Tapi sekarang... mereka juga mengincar kamu karena terpapar aura aku."Jean memej







