Share

Bab 3

Penulis: Mami ice bear
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-12 15:08:33

"Devi!" Kali ini suara Mas Yogi makin keras. Bahkan ia sampai menyudahi sarapan paginya dan berlalu bangkit mendekat ke arahku. 

Sret! 

Lengan kanan ku dicekal kuat oleh Mas Yogi, membuat ku meringis ngilu dibuatnya. "Kalo suami lagi ngomong itu didengerin! Bukan malah ditinggal pergi!"

"Sshh, sakit Mas!" keluhku merintih seraya meronta. Ku genggam tangan Mas Yogi yang masih mencekal lengan kananku. 

Mataku menatap nanar laki-laki yang selama ini bahkan tak pernah sama sekali berlaku kasar padaku. Meski tingkahnya sungguh sangat menyebalkan. 

"Ma-maaf, Dev. Mas gak sengaja.." lirihnya menyesal. Terlihat jelas tatapan matanya yang berkaca. 

Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengurai sesak atas perlakuan suamiku pagi ini. "Ini sudah siang, Mas! Aku harus mengantar anak-anak ke sekolah!" Aku mencoba menjelaskan mengapa terlihat ingin menghindar. Berharap jika Mas Yogi mengerti. 

"Kamu cukup jawab aja Devi. Kamu beneran masak cuma segitu?" Kini Mas Yogi mulai menurunkan nada bicaranya. 

Tanpa kami sadari, ada sepasang mata yang mengintip apa yang terjadi di dapur, yang hanya dibatasi lemari bufet setengah badan. 

"Bukankah sudah ku katakan sejak tadi, Mas. Aku hanya memasak untuk empat porsi." Kembali ku jelaskan apa yang sudah ku katakan sejak tadi. 

"Tapi kan, biasanya-"

"Biasanya apa, Mas? Biasanya Ibu dan Kakakmu serta Ponakan tersayangmu mu itu ikut numpang sarapan disini, begitu?" Sengaja ku potong kalimat Mas Yogi. 

Mata Mas Yogi mendelik sempurna, aku tahu jika ia tak akan suka dengan apa yang ku katakan. Sebab ia bahkan lebih memilih aku dan anakku kelaparan hanya demi menuruti permintaan Mba Yesi yang mengidam martabak. 

"Ibu dan Kakakmu itu orang dewasa, mereka juga bisa masak. Lalu kenapa mereka gak masak sendiri?" protesku. 

Memang benar, setiap pagi selama sebelas tahun, keluarga benalu itu selalu menumpang sarapan di rumahku. Tentu saja itu memangkas uang jatah belanja yang diberikan Mas Yogi setiap harinya. 

"Mana sempet Devi! Yesi ngurus si Bella tiap pagi!" Bukan suara Mas Yogi yang ku dengar melainkan  ibu mertuaku. Namun kemudian dengan cepat ku jawab, "Lalu apa bedanya dengan ku, Bu? Anakku bahkan dua. Belum lagi mengurus Mas Yogi, yang hanya perkara mandi lupa bawa handuk atau sabun saja, teriak-teriak sampai satu RT aja denger!"

"Devi!" Mas Yogi rupanya tak terima dengan apa yang ku katakan. "Apa Mas? Aku hanya mengatakan kebenaran sesuai dengan kenyataan!"

"Lagi pula, jika aku hanya memasak untuk keluarga kecil kita. Aku rasa uang jatah harian darimu yang minimalis itu pasti bakal cukup," ucapku kemudian. 

Bu Jubaidah segera bangkit dan mendekat ke arah kami. "Apa kau ingin itung-itungan, hah?! Kau tau biaya untuk membesarkan dan menyekolahkan Yogi itu lebih dari apa yang kamu sebutkan itu! Kamu itu harusnya merasa beruntung, terlahir sebagai gadis kampung yang naik pangkat karena diperistri oleh Yogi! Ini bukannya bersyukur malah durhaka sama suami dan mertua. Kau menikmati hasil jerih payah anakku, dan aku tak mempersoalkan. Padahal seharusnya akulah yang-"

"Bersyukur kata Ibu? Aku beruntung begitu? Heh! Kalo saja bulan bisa ngomong, dia pasti bakal bersaksi. Jika disini, aku itu lebih mirip pembantu dibandingkan seorang istri!" Ku langkahkan kaki dengan kesal, meninggalkan ibu dan anak itu. Huh, bersyukur konon! 

***

"Aku berangkat dulu ya, Dev!" ucap Mas Yogi usai mengelap motor sport kebanggaannya. 

Motor yang dibeli hasil dari menjual kebun milik orang tuaku di kampung. 

"Iya, Mas.." Aku yang tengah menyiram beberapa tanaman cabai di kebun mini depan rumah segera beranjak. 

Ku cium punggung tangan lelaki halalku, kemudian aku menyadongkan tangan tepat di depannya. Membuat alisnya seketika bertaut. "Apa?"

"Beras, sabun, dan minyak di rumah habis!" ujarku tanpa jeda. 

"Ck! Giliran begini, gercep banget kamu!" keluhnya namun tetap saja tangannya bergerak mengambil dompet di saku belakangnya. "Nih!"

Mataku mendelik saat tau lembaran hijau yang disodorkan oleh suamiku. "Duit segini dapet apaan mas?"

"Dapet lah itu, jangan boros-boros Devi. Kita harus nabung untuk masa depan!" kelit Mas Yogi. 

Sret! Plak! 

Ku tarik tangan kanan suami ku dan meletakkan kembali lembaran uang dua puluh ribu itu ke atas telapak tangannya. "Kalo memang cukup, maka buktikan!"

Dengan wajah bingung, Mas Yogi kembali melayangkan pertanyaan, "Hah? Gimana maksudnya?" 

"Saat istirahat siang nanti, Mas mampir belanja ke warung dan beli tiga barang yang aku sebutkan tadi!" titah ku dengan tegas. 

"Kamu itu gimana sih, Dev? Biasanya juga cukup kok. Kenapa sekarang kamu protes?"

"Itu kan biasa, tapi kali ini luar biasa. Kamu beli itu, atau besok, kamu gak akan makan! Karna beras di rumah bener-bener habis!" Tanpa menunggu jawaban Mas Yogi, aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih termangu kebingungan. 

Jika dulu uang dua puluh ribu, ku cukupkan untuk sehari, bahkan aku dan anak-anak rela makan hanya dengan sayur bening berlaukkan kerupuk. Itu semua demi agar Mas Yogi bisa makan ayam. Tapi tidak untuk sekarang, aku tak mau lagi kau bodohi, Mas! 

"Hallo. Oh tentu saja boleh, kenapa tidak? Baiklah saya tunggu ya.." Ku akhiri panggilan telpon masuk di ponselku. Tak ku dengar suara deru motor Mas Yogi, itu artinya laki-laki itu sudah pergi. Ahh, ingin sekali aku melihat ekspresi wajahnya saat pergi membeli barang yang ku mau dengan uang dua puluh ribu itu. Rasakan kau, Mas!

Dengan senyum tipis aku memasukan ponsel itu kedalam saku daster. "Bersiaplah menemui Devi versi baru, Mas!"

"Devi.. Devi.. Keluar kau!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status