Share

Bab 4

Penulis: Mami ice bear
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-12 15:09:05

"Ibu?" gumamku, kala terlebih dahulu mengintip dari jendela, siapa yang datang. 

Ku putar handle kunci dua kali dan membuka pintu. 

Ibu mertua menatap tajam padaku yang baru saja membuka pintu, "Kenapa pintunya dikunci?"

Aku mengela nafas perlahan. Jika dulu aku akan gemetar saat mendapat tatapan tajam dan pertanyaan sinis ibu mertua. Namun sekarang tidak lagi, "Gak apa-apa kok,Bu! Aku cuma gak mau ada orang main nyelonong ke dalam rumah. Aku juga butuh privasi."

"Heleh! Privasi.. Privasi.. Tai kucing!" sentak Bu Jubaedah, mertuaku.

"Katakan! Apa yang kau lalukan di dalam, huh?!" tanya wanita itu, lagi.

"Aku" Telunjukku mengacung, menunjuk diriku sendiri.

"Aku gak ngapain kok. Cuma lagi duduk santai aja!" jawabku santai. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh ibu mertua setelah ini. 

Benar saja, mu lihat mata ibu mertua melotot sempurna. Menandakan jika setelah ini akan ada  rentetan kalimat yang meledak. 

"Apa kau bilang? Lagi santai? Gak punya otak kamu, hah?!" Telunjuk ibu mertua terulur dan menunjuk tepat di dahi samping ku. 

Dengan cepat ku genggam jari telunjuk itu dan ku turunkan. "Jangan pernah berani melakukan hal bodoh itu lagi, Bu! Atau kau akan menyesal!"

Ibu mertua terdiam, namun terlihat dari ekspresi wajahnya, menyiratkan jika wanita paruh baya itu terkejut dengan aksi yang ku lakukan. 

Sedetik kemudian, tiba-tiba ekspresinya berubah dan terlihat tenang. "Apa yang kau katakan pada Yogi?"

Alisku bertaut, memikirkan apa yang dimaksudkan oleh ibu mertua. "Apa yang ku katakan?"

Sret! 

Ibu mertua mencengkram lenganku dan membawa ku masuk ke dalam rumah lalu menghempaskannya begitu saja. 

"Kamu itu dijadiiin istri sama Yogi, ya buat ngurusin Yogi. Bukan malah nyuruh-nyuruh si Yogi!" tekan ibu mertua. 

Aku sedikit tersentak kaget, namun kemudian aku mencoba terlihat santai. "Oh jadi Mas Yogi ngadu ceritanya?"

"Mau sampai kapan anak Ibu itu bersembunyi di ketek anda, ibu mertua?" cibirku dengan nada mengejek. 

Deru nafas ibu mertua terdengar berat, rongga dadanya naik turun. "Dasar Mantu kurang ajar!"

Grep! 

"Jangan pernah berani menampar ku, Bu! Atau kau akan tau akibatnya!" Dengan cepat ku cekal tangan Bu Jubaedah yang beberapa inchi lagi mendarat di pipiku. 

"Aww!" pekikku kemudian. 

Ku letakkan tangan ibu mertua di rambutku, dan sengaja membuatnya seperti beliau tengah menarik rambutku. "Lepaskan Devi, Bu. Devi mohon.."

"Heh! Lepaskan tanganmu itu!" teriak ibu mertua. 

Brak! 

"Aw.."

"Yaa Allah Devi.."

Suara pekikan suamiku terdengar, tepat saat aku menjatuhkan diri di lantai. 

Dengan mata berkaca ku tatap wajah Mas Yogi dengan raut wajah sendu. "Mas.."

"Ibu ini apa-apaan sih?!" cecar Mas Yogi yang kini sudah duduk jongkok di sampingku. 

Dengan telaten Mas Yogi menolong ku untuk bangkit dan duduk di sofa ruang tengah. Usai memastikan aku baik-baik saja. Kini Mas Yogi berdiri menghadap ibunya. "Apa salah Devi, Bu? Kenapa ibu sampai tega-"

"Ini tak seperti kamu liat Yogi," sela ibu mertua cepat. Tangannya bergerak menyentuh lengan Mas Yogi namun berkali-kali ditepis dengan keras. 

"Lalu, seperti apa?" tanya Mas Yogi dingin. 

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudah jangan seperti itu. Mungkin Ibu-" ucapku lembut, sengaja seolah menerima perlakuan Bu Jubaedah. Padahal.. 

"Nggak! Ibu sudah keterlalun, Devi! Dia sampai main tangan sama kamu. Dan aku sebagai suamimu tak akan pernah terima." Dengan cepat Mas Yogi membantah. 

Aku sudah bisa menebak itu. Sebenarnya Mas Yogi sangat menyayangi aku, begitu juga sebaliknya. Namun, entah sejak kapan suamiku itu menjadi sangat menyebalkan. 

Mas Yogi langsung menarik nafas panjang, "Ibu, aku tau kalo Ibu tak menyukai Devi. Tapi apa tak bisa, jika Ibu jangan sampai menyakiti Istriku? Bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawabku."

Bu Jubaedah tampak marah, "Maksudmu, kau lebih percaya sama Devi  daripada Ibu begitu? Durhaka kamu Yogi!"

Mas Yogi tampak menggeleng lembut, "Bagaimana aku tak percaya dan memihak pada Devi, Bu? Sedangkan itu semua sudah jelas dan terjadi tepat di depan mataku!"

Melihat wajah lembut anaknya, Bu Jubaedah tidak bisa marah lagi. Aku tahu pasti jika ini adalah akal-akalan ibu mertua. Ia akan menggunakan cara agar Mas Yogi berat kepadanya, dengan bertumpu pada kasih sayang Mas Yogi pada beliau. Dasar nenek lampir! 

"Terserah kamu saja, Yogi. Kamu gak percaya sama Ibu, Ibu terima kok. Sepertinya akan lebih baik kalo Ibu pulang."

Aku hanya bisa mengamati ibu mertua yang pergi dengan wajah sendu. Sedangkan Mas Yogi menatap ibunya dengan perasaan sedikit merasa bersalah. Namun, aku tahu jika Mas Yogi hanya akan percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. 

Malam ini, ketika aku bersama suami dan kedua jagoan kecilku, tengah menikmati makan malam bersama, tiba-tiba pintu rumah terbuka tanpa permisi. Aku memutuskan menyudahi makanku dan beranjak, untuk melihat siapa yang masuk. Hingga tampak Mba Yessi masuk dari arah ruang tamu. Ia datang dengan mata merah.

"Kalian pikir kalian bisa berbuat semena-nena pada Ibu dirumah ini, huh?!" teriak mba Yessi dengan wajah merah karena marah. 

Aku dan Mas Yogi hanya saling pandang. Kami tak bisa berkata banyak, sebab ada Rayyan dan Roni, tak baik bagi mereka jika sampai menonton adegan kekerasan. 

"Rayyan, bisa tolong bawa adek ke kamar? Ajak adek dengerin musik ya," ucapku lembut. Rayyan yang sudah berusia 10 tahun, tentu sudah paham dengan apa yang terjadi. Anak sulungku itu mengangguk dan menggandeng adiknya, kemudian berjalan masuk ke kamar mereka. 

"Ada apa mba?" Kini Mas Yogi sudah bisa dengan bebas berbicara, setelah anak kami masuk ke kamar. Aku dan Mas Yogi sudah berdiri berhadapan dengan mba Yessi, anak sulung Bu Jubaedah, mertuaku. 

"Ada apa kau bilang? Harusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu, Yogi?" cecarnya tak sabaran. 

Alis Mas Yogi mengernyit, ia masih belum paham dengan apa yang terjadi. 

"Bisa-bisanya kamu malah lebih belain Devi dibanding Ibu. Apa hati mu buta? Tak bisa melihat siapa yang benar dan siapa yang penipu? Atau kau ingin menjadi anak durhaka, iya?!" Dengan tangan bertengger di pinggang, kakak dari suamiku itu tampak menatap adik kandungnya dengan amarah yang menggebu. 

"Anak laki-laki sampai kapanpun akan menjadi anak ibunya! Sedangkan istri adalah orang lain yang lain yang kau pungut! Asal kau tahu itu!" teriak mba Yessi kemudian. Jari telunjuknya mengacung tegak, tepat di depan wajahku. 

"Dan kamu Devi!" ucapnya kemudian, "Bisa-bisanya kamu hasut adikku agar membelamu. Dasar Adik Ipar tak tau diri!"

"Aku? Hasut Mas Yogi? Apa gak salah Mba?" Aku tak terima begitu saja akan tuduhan yang dilayangkan Mba Yessi. Hingga aku pun membantah tuduhan tersebut, dengan cara cantik. Dengan nada tegas dan penuh penekanan, aku kembali melanjutkan, "Bukankah kalian yang menghasut Mas Yogi, agar dia hanya memberiku nafkah dua puluh ribu sehari?"

"Hei! Jangan fitnah kamu, ya!" Jari telunjuk mba Yessi kini semakin mengacung tepat menempel di wajahku. 

Dengan kasar ku tepis jari kakak ipar. "Aku tak pernah memfitnah siapapun! Asal Mba tau itu!"

"Buktinya, Ibu sampai nangis-nangis karena ulah kalian!" mba Yessi sepertinya sama sekali tak berniat menurunkan nada bicaranya. 

"Heleh! Ngadunya cuma omong kosong, doang!" cibirku dengan wajah mengejek. 

"Heh! Terserah kau saja Wanita Udik! Lagipula, aku dan Ibuku lebih berhak atas uang Yogi, bukan kau! Karna kami adalah keluarga Yogi, bukan kau, Wanita Udik yang Yogi pungut dan dijadikan istri oleh adikku!"

"Jadi seperti ini, kelakuan kalian?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status